hingar-bingar segala sudut kota. warna-warni lampu di mana-mana. riuh terompet memekak telinga. ada pestapora rupanya. kata orang-orang, tahun baru telah tiba. sedang bagiku, tetaplah sama. sebab orang-orang itu masih terlihat sama di mataku. tak ada yang berubah dari tahun lalu. mungkin dengan tambahan uban di kepala. atau garis kerutan di lingkaran mata jadi pembeda.
biarlah, mereka berpesta dengan sukacita. sebab malam ini akan berlalu. seperti malam-malam lain, jarum jam tetap menunjuk angka-angka yang sama. meski kalender lama telah berganti baru, di sudut rumah yang masih sama dengan tahun lalu. dan memang hanya kalender yang berganti baru di rumah, yang masih saja biru.
biarlah, mereka berpesta dengan sukacita. sedang aku memilih menjalani malam dalam diam. seperti malam-malam lain, menyiapkan langkah untuk esok pagi. merajut mimpi yang tak kunjung basi. tentang rumah berpagar putih dengan rumput hijau dan ayunan di halaman depan. tentang rumah merah jambu, tanpa setitik biru di dalamnya.
(31 Desember 2010)
Hidup itu pilihan, bergantung pada isi kepala dan hati Anda dalam menjalaninya (Ririe Rengganis).
Jumat, 31 Desember 2010
di ladang sunyi
pernah suatu hari seorang petani
datang menebar benih-benih mimpi
di ladang milikku, yang telah lama sunyi.
dengan tekun ia kunjungi,
menyirami serupa embun di embun kala pagi
menyinari serupa mentari di siang hari
menghembus sejuk serupa angin senja hari
dengan tekun ia kunjungi,
hingga pada suatu pagi ia lupa diri
dan menebar garam di sebuah lubang pori,
yang pernah tertusuk ujung belati.
dan tanpa disadari,
bunga-bunga mimpi mulai mati.
satu demi satu, setiap pagi.
dan ladang milikku, kembali sunyi.
(26 Desember 2010)
datang menebar benih-benih mimpi
di ladang milikku, yang telah lama sunyi.
dengan tekun ia kunjungi,
menyirami serupa embun di embun kala pagi
menyinari serupa mentari di siang hari
menghembus sejuk serupa angin senja hari
dengan tekun ia kunjungi,
hingga pada suatu pagi ia lupa diri
dan menebar garam di sebuah lubang pori,
yang pernah tertusuk ujung belati.
dan tanpa disadari,
bunga-bunga mimpi mulai mati.
satu demi satu, setiap pagi.
dan ladang milikku, kembali sunyi.
(26 Desember 2010)
-senyum pembunuh-
bila kau pikir aku lemah,
itu pikiran yang salah.
teramat salah.
bila kau pikir aku dungu,
itu pikiran yang keliru.
teramat keliru.
sebab pada senyumku,
aku pun sanggup
menjelma pembunuhmu.
(24 Desember 2010)
itu pikiran yang salah.
teramat salah.
bila kau pikir aku dungu,
itu pikiran yang keliru.
teramat keliru.
sebab pada senyumku,
aku pun sanggup
menjelma pembunuhmu.
(24 Desember 2010)
-malin kundang-
menghapus lagi,
sebuah nama
dari sederet nama.
maafkan aku,
tak lagi menyebut namamu
pada puja malamku.
sebab di mataku,
kau adalah ular
pemakan rahim ibumu.
(24 Desember 2010)
sebuah nama
dari sederet nama.
maafkan aku,
tak lagi menyebut namamu
pada puja malamku.
sebab di mataku,
kau adalah ular
pemakan rahim ibumu.
(24 Desember 2010)
sepiring maki
lagi
dan lagi
terjadi.
pagi ini,
sepiring maki
singgah di beranda.
ah, biar saja …
sebab setiap hari, lima kali sehari
sepiring maki sebagai makanan hati.
menu wajib, tidak pernah diganti.
itu sebab hanya maki,
yang selalu terlontar
dari mulut-mulut berbisa.
(24 Desember 2010)
dan lagi
terjadi.
pagi ini,
sepiring maki
singgah di beranda.
ah, biar saja …
sebab setiap hari, lima kali sehari
sepiring maki sebagai makanan hati.
menu wajib, tidak pernah diganti.
itu sebab hanya maki,
yang selalu terlontar
dari mulut-mulut berbisa.
(24 Desember 2010)
dalam langkah-langkah kecil kakiku
hari ini, seluruh negeri sedang berpuisi. puisi-puisi tentang ibu sedang berlari di seluruh negeri. di layar televisi. di koran pagi. di siaran radio. di sepanjang jalan. di baliho-baliho iklan. juga di catatan-catatan facebook. ya, seluruh negeri sedang mempestakan ibu. mengenang jasa-jasa ibu. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi.
hari ini, aku melihat seluruh negeri sedang merayakan melankoli. ya, hanya melihat. sebab aku tak ingin terlibat. apalagi hanya untuk hari ini. mengenang jasa-jasa ibu hari ini. sedang esok melupakannya. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi hari ini. sedang esok menyumpahinya. mempestakan ibu hari ini. sedang esok meninggalkannya dalam sendiri. maaf, aku tidak ingin terbawa melankoli hari ini.
hari ini, aku memilih jauh dari pelukan ibu. melangkahkan kaki demi membangun mimpi. mimpi untuk memberi senyum pada ibu. memenuhi segala doa ibu dalam setiap nafasnya. membayar semua lelah karena mengandungku, meski aku tidak pernah mampu. membayar semua sakit karena melahirkanku, meski aku tidak akan sanggup. membayar semua tetes darah dan keringat karena membesarkanku, meski aku tidak pernah bisa melunasi.
hari ini, aku memilih berjalan dalam sepi. membangun mimpi untuk memberi senyum pada ibu, meski dengan caraku sendiri. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mulut meludahi punggungku. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mata menatapku hina. sebab aku terlahir sebagai perempuan di negeri ini. biarlah, sebab aku telah begitu tuli atas segala caci-maki atau sanjung puji. sebab hanya doa ibu yang terdengar sampai di telinga hati. dan langkah-langkah kecil kakiku yang selalu mengamini doa ibu setiap hari.
(22 Desember 2010)
hari ini, aku melihat seluruh negeri sedang merayakan melankoli. ya, hanya melihat. sebab aku tak ingin terlibat. apalagi hanya untuk hari ini. mengenang jasa-jasa ibu hari ini. sedang esok melupakannya. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi hari ini. sedang esok menyumpahinya. mempestakan ibu hari ini. sedang esok meninggalkannya dalam sendiri. maaf, aku tidak ingin terbawa melankoli hari ini.
hari ini, aku memilih jauh dari pelukan ibu. melangkahkan kaki demi membangun mimpi. mimpi untuk memberi senyum pada ibu. memenuhi segala doa ibu dalam setiap nafasnya. membayar semua lelah karena mengandungku, meski aku tidak pernah mampu. membayar semua sakit karena melahirkanku, meski aku tidak akan sanggup. membayar semua tetes darah dan keringat karena membesarkanku, meski aku tidak pernah bisa melunasi.
hari ini, aku memilih berjalan dalam sepi. membangun mimpi untuk memberi senyum pada ibu, meski dengan caraku sendiri. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mulut meludahi punggungku. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mata menatapku hina. sebab aku terlahir sebagai perempuan di negeri ini. biarlah, sebab aku telah begitu tuli atas segala caci-maki atau sanjung puji. sebab hanya doa ibu yang terdengar sampai di telinga hati. dan langkah-langkah kecil kakiku yang selalu mengamini doa ibu setiap hari.
(22 Desember 2010)
desember ketiga
roti tanpa ragi
tetes-tetes air suci
jadi doa untukku
dari tanganmu
(15 Desember 2010)
tetes-tetes air suci
jadi doa untukku
dari tanganmu
(15 Desember 2010)
pengantin mawar dan bunga ilalang
aku tak terlahir sebagai mawar,
berduri demi mencuri hatimu.
biarlah, sang mawar jadi pengantin
di jendela rumahmu.
sebab aku bangga terlahir
sebagai bunga ilalang,
yang selalu menari riang
bersama penghuni sabana
sebab aku bunga ilalang,
yang mengayun tenang
menebar spora cinta
bagi anak-anak semesta.
(11 Desember 2010)
berduri demi mencuri hatimu.
biarlah, sang mawar jadi pengantin
di jendela rumahmu.
sebab aku bangga terlahir
sebagai bunga ilalang,
yang selalu menari riang
bersama penghuni sabana
sebab aku bunga ilalang,
yang mengayun tenang
menebar spora cinta
bagi anak-anak semesta.
(11 Desember 2010)
waktu
(1)
melipat waktu
dalam lembar-lembar buku
sebagai jejak masa lalu.
(2)
biar saja terkubur
pada nisan-nisan batu
segala kisahmu.
(3)
di atasnya,
kuncup-kuncup bunga
menunggu mekar.
(8 Desember 2010)
melipat waktu
dalam lembar-lembar buku
sebagai jejak masa lalu.
(2)
biar saja terkubur
pada nisan-nisan batu
segala kisahmu.
(3)
di atasnya,
kuncup-kuncup bunga
menunggu mekar.
(8 Desember 2010)
pelajaran dari kupu-kupu
tak perlu mengejar waktu
sebab ia tak akan mampu kau kejar,
meski kau pelari hebat.
berjalan saja bersamanya
menikmati setiap langkah perjalanan
tanpa henti meski kau berdiri di persimpangan.
terus saja berjalan bersamanya
kelak kau akan bahagia bersamanya.
(7 Desember 2010)
sebab ia tak akan mampu kau kejar,
meski kau pelari hebat.
berjalan saja bersamanya
menikmati setiap langkah perjalanan
tanpa henti meski kau berdiri di persimpangan.
terus saja berjalan bersamanya
kelak kau akan bahagia bersamanya.
(7 Desember 2010)
Sebab Aku Masih Memiliki Impian, Meski Tanpamu
Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.
Ganang & Frida. Begitulah bunyi tulisan dengan tinta emas di atas sebuah kertas tebal berwarna merah marun. Sebuah undangan pernikahan. Baru saja sampai di tangan diantar seorang kurir tadi. Sedikit terkejut menerimanya, tetapi sudah ada pertanda sebelumnya. Beberapa pesan pendek memenuhi kotak pesan dalam telepon selularku seminggu lalu. Dari seorang perempuan bernama Frida. Perempuan yang akan dinikahi lelaki bernama Ganang. Lelaki yang pernah memberiku segenggam impian tentang membangun rumah harapan.
Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Setelah membaca undangan pernikahanmu. Bulan depan, tepat ketika aku harus memulai konsentrasi belajar di kampus biru. Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Sebab ia telah longsor bersama tetes-tetes airmata yang kian menderas dalam diam. Tanpa suara. Sebab ia telah dibongkar paksa tanpa pemberitahuan dari pemberinya.
***
Dingin masih menusuk tulang. Embun masih merangkai rayuan pada ujung-ujung daun di reranting pohon di depan kamar asrama. Tetangga kamar mungkin saja masih merangkai mimpi di peraduan, sedang aku masih terjaga di depan layar monitor. Ada banyak kertas yang harus dibereskan sebelum ayam jantan berkokok pagi ini. Tugas ini dan itu wajib diserahkan lengkap pada Ibu Dosen pagi ini. Tanpa alibi sedang patah hati.
Jemari tangan masih saja sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptop. Sementara mata masih sibuk mencari kata demi kata yang terselip di antara literatur-literatur bertumpuk di sisi lain meja. Setelah seluruh kata terangkai sempurna di atas kertas kerja, tiba saatnya untuk mengguyur tubuh. Mengguyur segala keluh tentang harapan yang luluh. Sedang di luar sana, sayup-sayup berkumandang azan Subuh.
***
Langkah kaki tergesa di atas trotoar sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Menunggu bus kota yang tak kunjung tiba. Ah, semoga tak terlambat, gumamku. Lima menit kemudian, sebuah bus kota berhenti di depan mata menyambut lambaian tanganku. Sepi. Hanya berdua dengan sopir bus yang memperlambat laju kendaraan. Bangku-bangku bus kota kosong. Lumayan, masih ada cukup waktu untuk menertawakan kebodohan diri di bus kota. Cukup sepuluh menit saja, sebelum bus berhenti di depan kampus.
Dan langkah kaki kembali tergesa. Menyusuri koridor gedung menuju ruang kuliah. Ah, untung belum terlambat, gumamku lagi. Masuk kelas bersama dengan Ibu Dosen yang membawa beberapa tas berisi buku-buku tebal bahan kuliah hari ini. Sementara melupakan ruang hati yang melompong akibat bualan omong kosong. Menyimak kuliah dengan seksama. Meluruskan kesalahpahaman hasil belajar semalam dalam diskusi bersama teman-teman di kelas. Menyenangkan. Pengetahuan baru yang kelak akan mengisi kekosongan-kekosongan di ruang kepala.
***
Hari-hari di kampus biru berjalan satu demi satu. Melupakan bilur-bilur biru yang sempat memenuhi ruang hati. Biar saja itu adalah salah satu bagian perjalanan menuju dewasa. Melupakan segala kelu, tetapi tidak melupakanmu. Bukan karena masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Bukan karena tidak bisa memaafkan kesalahanmu karena meninggalkanku tanpa pesan, kecuali pesan dari perempuanmu. Perempuan yang pernah menguji kesabaranku dengan pesan-pesan pendek yang memenuhi kotak pesan telepon selularku setiap pukul dua pagi. Pesan-pesan pendek yang serupa teror bagi kemanusiaanku. Perempuan yang kini mungkin telah menjadi ibu bagi anak-anakmu.
Bulan demi bulan hingga dua tahun berlalu. Aku masih di berdiri di sini. Di kampus biru. Di atas kedua kakiku. Merangkai kembali keping-keping mimpi yang sempat porak-poranda setelah pergimu. Dua tahun berlalu. Aku masih berdiri di sini. Di dunia baruku. Membangun mimpiku, meski tanpamu. Sebab di luar sana, masih ada begitu banyak hati yang menantiku ketika aku pulang. Masih banyak hati yang tulus mencintaiku di luar sana. Mencintai tanpa karena.
***
(2 Desember 2010)
Ganang & Frida. Begitulah bunyi tulisan dengan tinta emas di atas sebuah kertas tebal berwarna merah marun. Sebuah undangan pernikahan. Baru saja sampai di tangan diantar seorang kurir tadi. Sedikit terkejut menerimanya, tetapi sudah ada pertanda sebelumnya. Beberapa pesan pendek memenuhi kotak pesan dalam telepon selularku seminggu lalu. Dari seorang perempuan bernama Frida. Perempuan yang akan dinikahi lelaki bernama Ganang. Lelaki yang pernah memberiku segenggam impian tentang membangun rumah harapan.
Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Setelah membaca undangan pernikahanmu. Bulan depan, tepat ketika aku harus memulai konsentrasi belajar di kampus biru. Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Sebab ia telah longsor bersama tetes-tetes airmata yang kian menderas dalam diam. Tanpa suara. Sebab ia telah dibongkar paksa tanpa pemberitahuan dari pemberinya.
***
Dingin masih menusuk tulang. Embun masih merangkai rayuan pada ujung-ujung daun di reranting pohon di depan kamar asrama. Tetangga kamar mungkin saja masih merangkai mimpi di peraduan, sedang aku masih terjaga di depan layar monitor. Ada banyak kertas yang harus dibereskan sebelum ayam jantan berkokok pagi ini. Tugas ini dan itu wajib diserahkan lengkap pada Ibu Dosen pagi ini. Tanpa alibi sedang patah hati.
Jemari tangan masih saja sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptop. Sementara mata masih sibuk mencari kata demi kata yang terselip di antara literatur-literatur bertumpuk di sisi lain meja. Setelah seluruh kata terangkai sempurna di atas kertas kerja, tiba saatnya untuk mengguyur tubuh. Mengguyur segala keluh tentang harapan yang luluh. Sedang di luar sana, sayup-sayup berkumandang azan Subuh.
***
Langkah kaki tergesa di atas trotoar sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Menunggu bus kota yang tak kunjung tiba. Ah, semoga tak terlambat, gumamku. Lima menit kemudian, sebuah bus kota berhenti di depan mata menyambut lambaian tanganku. Sepi. Hanya berdua dengan sopir bus yang memperlambat laju kendaraan. Bangku-bangku bus kota kosong. Lumayan, masih ada cukup waktu untuk menertawakan kebodohan diri di bus kota. Cukup sepuluh menit saja, sebelum bus berhenti di depan kampus.
Dan langkah kaki kembali tergesa. Menyusuri koridor gedung menuju ruang kuliah. Ah, untung belum terlambat, gumamku lagi. Masuk kelas bersama dengan Ibu Dosen yang membawa beberapa tas berisi buku-buku tebal bahan kuliah hari ini. Sementara melupakan ruang hati yang melompong akibat bualan omong kosong. Menyimak kuliah dengan seksama. Meluruskan kesalahpahaman hasil belajar semalam dalam diskusi bersama teman-teman di kelas. Menyenangkan. Pengetahuan baru yang kelak akan mengisi kekosongan-kekosongan di ruang kepala.
***
Hari-hari di kampus biru berjalan satu demi satu. Melupakan bilur-bilur biru yang sempat memenuhi ruang hati. Biar saja itu adalah salah satu bagian perjalanan menuju dewasa. Melupakan segala kelu, tetapi tidak melupakanmu. Bukan karena masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Bukan karena tidak bisa memaafkan kesalahanmu karena meninggalkanku tanpa pesan, kecuali pesan dari perempuanmu. Perempuan yang pernah menguji kesabaranku dengan pesan-pesan pendek yang memenuhi kotak pesan telepon selularku setiap pukul dua pagi. Pesan-pesan pendek yang serupa teror bagi kemanusiaanku. Perempuan yang kini mungkin telah menjadi ibu bagi anak-anakmu.
Bulan demi bulan hingga dua tahun berlalu. Aku masih di berdiri di sini. Di kampus biru. Di atas kedua kakiku. Merangkai kembali keping-keping mimpi yang sempat porak-poranda setelah pergimu. Dua tahun berlalu. Aku masih berdiri di sini. Di dunia baruku. Membangun mimpiku, meski tanpamu. Sebab di luar sana, masih ada begitu banyak hati yang menantiku ketika aku pulang. Masih banyak hati yang tulus mencintaiku di luar sana. Mencintai tanpa karena.
***
(2 Desember 2010)
perempuan hujan
semalam hujan begitu mesra
mendekap kaca jendela
riuh sepasang kuda memekik di telinga
malam yang sempurna,
sembari menunggu hujan reda
di pelupuk mata
(2 Desember 2010)
mendekap kaca jendela
riuh sepasang kuda memekik di telinga
malam yang sempurna,
sembari menunggu hujan reda
di pelupuk mata
(2 Desember 2010)
perempuan mawar
kelopak-kelopak mawar
merebah di atas tanah basah
dalam istirah memerah
bersama tetes-tetes darah
(1 Desember 2010)
merebah di atas tanah basah
dalam istirah memerah
bersama tetes-tetes darah
(1 Desember 2010)
ruang ingatan
ada banyak cerita berlarian dalam ruang ingatan. tentang episode-episode biru dan kelabu di pelataran rindu. tentang episode-episode lila dan jingga di kebun bunga menjelang senja. kadang aku melipat cerita itu satu demi satu. dan menyimpannya dalam lembar-lembar ingatan. kadang aku mengajak mereka tertawa bersama di beranda, selepas senja. kadang aku meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. ketika malam telah memelukku diam-diam.
ah, terlalu susah meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. mereka berlarian. mereka berlompatan. saling berlomba unjuk diri. bahkan ketika malam telah memelukku diam-diam. mereka masih saja menjengukku. satu demi satu. episode biru bergandeng tangan dengan episode jingga. ah, mereka begitu mesra. hingga mata tak mampu terpejam. meski hitam telah bercumbu dengan malam.
sebentar pagi tiba, episode lila bercinta dengan episode kelabu. tersenyum dalam bayangan cermin. mengganggu pagi yang mungkin telah layu. sebab hujan telah lama tak menjenguk pagi. sebab hujan telah memilih berselingkuh dengan siang. ketika episode hijau datang diam-diam memagut sunyi langkah-langkah kaki. sebab telah lama mereka berjalan sendiri di antara debu-debu yang mencumbu ujung sepatu.
ketika senja kembali bercengkerama, mereka masih saja berlompatan. mereka masih saja berlarian. bahkan ketika busur melepaskan panah waktu, mereka masih setia menghuni ruang ingatan. bermain ayunan dan luncuran serupa anak-anak bermain di taman. anak-anak yang enggan menjadi dewasa. ah, biarlah mereka enggan menjadi dewasa. sebab mereka adalah tunas diri hari ini. terus tumbuh meski harus berpeluh-peluh mengejar mentari, yang juga tak lelah berlari. dari pagi hingga pagi menjenguk kembali. lagi dan lagi.
(30 November 2010)
ah, terlalu susah meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. mereka berlarian. mereka berlompatan. saling berlomba unjuk diri. bahkan ketika malam telah memelukku diam-diam. mereka masih saja menjengukku. satu demi satu. episode biru bergandeng tangan dengan episode jingga. ah, mereka begitu mesra. hingga mata tak mampu terpejam. meski hitam telah bercumbu dengan malam.
sebentar pagi tiba, episode lila bercinta dengan episode kelabu. tersenyum dalam bayangan cermin. mengganggu pagi yang mungkin telah layu. sebab hujan telah lama tak menjenguk pagi. sebab hujan telah memilih berselingkuh dengan siang. ketika episode hijau datang diam-diam memagut sunyi langkah-langkah kaki. sebab telah lama mereka berjalan sendiri di antara debu-debu yang mencumbu ujung sepatu.
ketika senja kembali bercengkerama, mereka masih saja berlompatan. mereka masih saja berlarian. bahkan ketika busur melepaskan panah waktu, mereka masih setia menghuni ruang ingatan. bermain ayunan dan luncuran serupa anak-anak bermain di taman. anak-anak yang enggan menjadi dewasa. ah, biarlah mereka enggan menjadi dewasa. sebab mereka adalah tunas diri hari ini. terus tumbuh meski harus berpeluh-peluh mengejar mentari, yang juga tak lelah berlari. dari pagi hingga pagi menjenguk kembali. lagi dan lagi.
(30 November 2010)
Kamis, 25 November 2010
hampa
memasuki ruang benak
: kosong
tak ada lukisan
tak ada catatan
pada dinding-dindingnya.
entah esok atau lusa,
lukisan dan catatan kembali
mengisi dinding-dindingnya.
entah esok atau lusa,
kisah dan percakapan kembali
mengisi jalinan-jalinan hari.
(23 November 2010)
: kosong
tak ada lukisan
tak ada catatan
pada dinding-dindingnya.
entah esok atau lusa,
lukisan dan catatan kembali
mengisi dinding-dindingnya.
entah esok atau lusa,
kisah dan percakapan kembali
mengisi jalinan-jalinan hari.
(23 November 2010)
Sabtu, 20 November 2010
elegi pagi
1
mulai belajar menghapus mimpi,
yang datang diam-diam menjelang pagi.
bukan karena takut mimpi itu tak akan terjadi
esok pagi atau suatu hari nanti.
belajar menghapus mimpi.
dan mulai melangkah kaki serta menjentik jemari.
sebelum mentari mengencani pagi.
: mimpi-mimpi itu tak perlu lagi datang diam-diam menjelang pagi.
sebab telah kubakar mimpi-mimpi itu dalam tungku api,
yang baranya dinyalakan dari serpihan-serpihan hati,
yang kau pecahkan kemarin pagi.
2
menghapus abu-abu dari ingatan masa lalu,
yang datang tiba-tiba pada bawah sadarku.
tentangmu, lelaki di simpang tugu.
membuang pahit empedu,
yang masih tertinggal pada pangkal lidahku.
tentangmu, kisah cinta biru.
ah, bukan pekerjaan mudah untukku
meski waktu tak pernah jemu
berjalan satu demi satu.
: tiba-tiba ingin mengadu kepala dengan batu.
hingga segala terlupa dalam amnesia tentangmu.
(20 November 2010)
mulai belajar menghapus mimpi,
yang datang diam-diam menjelang pagi.
bukan karena takut mimpi itu tak akan terjadi
esok pagi atau suatu hari nanti.
belajar menghapus mimpi.
dan mulai melangkah kaki serta menjentik jemari.
sebelum mentari mengencani pagi.
: mimpi-mimpi itu tak perlu lagi datang diam-diam menjelang pagi.
sebab telah kubakar mimpi-mimpi itu dalam tungku api,
yang baranya dinyalakan dari serpihan-serpihan hati,
yang kau pecahkan kemarin pagi.
2
menghapus abu-abu dari ingatan masa lalu,
yang datang tiba-tiba pada bawah sadarku.
tentangmu, lelaki di simpang tugu.
membuang pahit empedu,
yang masih tertinggal pada pangkal lidahku.
tentangmu, kisah cinta biru.
ah, bukan pekerjaan mudah untukku
meski waktu tak pernah jemu
berjalan satu demi satu.
: tiba-tiba ingin mengadu kepala dengan batu.
hingga segala terlupa dalam amnesia tentangmu.
(20 November 2010)
kisah anak-anak matahari
di rumah, ibu bekerja keras tanpa henti. sejak pagi hingga pagi menyapa kembali. demi sesuap nasi bagi kami, anak-anak matahari. ya, kami adalah anak-anak matahari. sebab kami sering terpanggang matahari di setiap perempatan jalan demi sesuap nasi sekadar penyambung hidup. terkadang orang-orang dalam mobil mengkilat yang banyak melintas di jalanan itu memanggil kami anak-anak trotoar. sebab kami selalu terlelap di atas trotoar-trotoar bila malam telah datang memeluk hari.
di rumah, ibu bekerja keras tanpa henti. menjual apa saja demi penyambung hidup kami. menjual tanah-tanah makam kami. menggadai tanah-tanah warisan bagi anak-cucu kami. tanah-tanah yang tak mungkin kembali pada kami. bahkan ibu harus menjual diri. ibu harus menelan segala caci-maki dari tetangga yang tak tahu diri. seringkali ibu harus membiarkan tubuhnya diinjak kaki-kaki mereka, penjual nurani. semua dilakukan ibu demi kami, anak-anak matahari.
di rumah, ayah tak peduli pada kami. ayah tak pernah peduli meski ibu harus menjual diri demi kami, anak-anak matahari. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus mengorek sampah demi sesuap nasi. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus saling injak demi bisa berdiri tegak hari ini. ya, ayah memang tak pernah peduli kami. meski kami hampir mati karena kekurangan gizi. meski kami hampir mati karena membela kehormatan diri.
di rumah, ayah memang tak peduli pada kami. bagi kami, ayah tak punya nurani. ya, kami memang harus bersikap kurang ajar hari ini. dan kami tak akan minta maaf atas sikap kurang ajar kami. sebab telah begitu lama ayah tak pernah peduli pada kami. ayah tak pernah memberi perlindungan pada kami, anak-anak matahari. dan ayah telah sengaja membiarkan saudara-saudara kami disiksa dan dibunuh tetangga. ayah tak punya nyali untuk memberi pembelaan pada kami. sedang selama ini kami telah memberi segenap jiwa raga kami untuk menjaga nama baikmu, ayah. lantas masihkah kami, anak-anak yang masih tersisa harus tetap memanggilmu ayah? mungkin lebih baik bila kami menjadi durhaka bagimu, ayah. dan esok pagi, kami akan mengadakan kudeta padamu, ayah.
(19 November 2010)
di rumah, ibu bekerja keras tanpa henti. menjual apa saja demi penyambung hidup kami. menjual tanah-tanah makam kami. menggadai tanah-tanah warisan bagi anak-cucu kami. tanah-tanah yang tak mungkin kembali pada kami. bahkan ibu harus menjual diri. ibu harus menelan segala caci-maki dari tetangga yang tak tahu diri. seringkali ibu harus membiarkan tubuhnya diinjak kaki-kaki mereka, penjual nurani. semua dilakukan ibu demi kami, anak-anak matahari.
di rumah, ayah tak peduli pada kami. ayah tak pernah peduli meski ibu harus menjual diri demi kami, anak-anak matahari. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus mengorek sampah demi sesuap nasi. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus saling injak demi bisa berdiri tegak hari ini. ya, ayah memang tak pernah peduli kami. meski kami hampir mati karena kekurangan gizi. meski kami hampir mati karena membela kehormatan diri.
di rumah, ayah memang tak peduli pada kami. bagi kami, ayah tak punya nurani. ya, kami memang harus bersikap kurang ajar hari ini. dan kami tak akan minta maaf atas sikap kurang ajar kami. sebab telah begitu lama ayah tak pernah peduli pada kami. ayah tak pernah memberi perlindungan pada kami, anak-anak matahari. dan ayah telah sengaja membiarkan saudara-saudara kami disiksa dan dibunuh tetangga. ayah tak punya nyali untuk memberi pembelaan pada kami. sedang selama ini kami telah memberi segenap jiwa raga kami untuk menjaga nama baikmu, ayah. lantas masihkah kami, anak-anak yang masih tersisa harus tetap memanggilmu ayah? mungkin lebih baik bila kami menjadi durhaka bagimu, ayah. dan esok pagi, kami akan mengadakan kudeta padamu, ayah.
(19 November 2010)
menjelang senja di pelataran
tak perlu mengobral kata cinta, bila itu hanya jadi pemerah bibir semata.
belajarlah dari semesta tentang cinta, maka cinta akan abadi dalam jiwa.
tak akan sirna dalam hitungan masa, ia ada dalam setiap hembus nafas serupa doa.
serupa jingga mencintai senja, ia setia. serupa hitam mencintai malam, ia setia.
serupa embun mencintai pagi, ia setia. serupa duri mencintai mawar, ia setia.
sebab cinta tanpa setia adalah sia-sia. dan sia-sia saja bila tetap bertahan untuknya.
(18 November 2010)
belajarlah dari semesta tentang cinta, maka cinta akan abadi dalam jiwa.
tak akan sirna dalam hitungan masa, ia ada dalam setiap hembus nafas serupa doa.
serupa jingga mencintai senja, ia setia. serupa hitam mencintai malam, ia setia.
serupa embun mencintai pagi, ia setia. serupa duri mencintai mawar, ia setia.
sebab cinta tanpa setia adalah sia-sia. dan sia-sia saja bila tetap bertahan untuknya.
(18 November 2010)
izinkan saya istirah
: untuk kalian, yang enggan berubah
terlalu banyak angka harus diingat. dari nomor-nomor selular tanpa nama, yang diam-diam memenuhi kotak pesan. terlalu banyak aksara harus dibaca. pada lembar-lembar kertas tugas, yang kadang sama serupa tanda malas membaca. terlalu banyak rasa harus dijaga. dalam palung terdalam, yang tak mudah terbaca mata. terlalu banyak simpul harus diurai. dalam perjalanan hidup, yang kadang tak terduga hingga harus mengelus dada.
terlalu banyak. terlalu banyak. terlalu banyak. kejutan yang kalian berikan pada saya. hingga saya hilang kata. kejutan dari kalian benar-benar mengejutkan. kejutan dari kalian, remaja belia yang masih gemar hura-hura. dari kalian, remaja belia yang tak pandai menghargai masa muda.
ah, sepertinya kalian lupa lirik lagu yang pernah diajarkan semasa kanak-kanak dulu. kalian lupa pesan orangtua. kalian lupa menghormati guru. kalian lupa menyayangi teman. kalian lupa, sebab kalian merasa telah dewasa. sekadar merasa dewasa. sebab dewasa bukan sekadar masalah usia, melainkan matang jiwa dan pikiran. sebab dewasa bukan sekadar keberanian semata, melainkan tanggung jawab di atasnya.
ah, saya menyerah. benar-benar menyerah. pada segala tingkah kalian. sebab ruang hati saya telah menjelma remah di ujung jari kalian. juga di ujung lidah kalian. selanjutnya, terserah kalian saja.
izinkan saya istirah. sebab saya tak ingin berserapah atas segala tingkah kalian. sebab saya ingin tetap berada di jalan doa. mengalir bersama cinta dan sayang lewat setiap pesan, yang tak pernah kalian dengar. izinkan saya istirah. sebab saya sungguh lelah menuntun kalian. sedang kalian enggan tetirah, enggan berpindah meski selangkah. izinkan saya istirah. sebab saya benar-benar menyerah.
(13 November 2010)
terlalu banyak angka harus diingat. dari nomor-nomor selular tanpa nama, yang diam-diam memenuhi kotak pesan. terlalu banyak aksara harus dibaca. pada lembar-lembar kertas tugas, yang kadang sama serupa tanda malas membaca. terlalu banyak rasa harus dijaga. dalam palung terdalam, yang tak mudah terbaca mata. terlalu banyak simpul harus diurai. dalam perjalanan hidup, yang kadang tak terduga hingga harus mengelus dada.
terlalu banyak. terlalu banyak. terlalu banyak. kejutan yang kalian berikan pada saya. hingga saya hilang kata. kejutan dari kalian benar-benar mengejutkan. kejutan dari kalian, remaja belia yang masih gemar hura-hura. dari kalian, remaja belia yang tak pandai menghargai masa muda.
ah, sepertinya kalian lupa lirik lagu yang pernah diajarkan semasa kanak-kanak dulu. kalian lupa pesan orangtua. kalian lupa menghormati guru. kalian lupa menyayangi teman. kalian lupa, sebab kalian merasa telah dewasa. sekadar merasa dewasa. sebab dewasa bukan sekadar masalah usia, melainkan matang jiwa dan pikiran. sebab dewasa bukan sekadar keberanian semata, melainkan tanggung jawab di atasnya.
ah, saya menyerah. benar-benar menyerah. pada segala tingkah kalian. sebab ruang hati saya telah menjelma remah di ujung jari kalian. juga di ujung lidah kalian. selanjutnya, terserah kalian saja.
izinkan saya istirah. sebab saya tak ingin berserapah atas segala tingkah kalian. sebab saya ingin tetap berada di jalan doa. mengalir bersama cinta dan sayang lewat setiap pesan, yang tak pernah kalian dengar. izinkan saya istirah. sebab saya sungguh lelah menuntun kalian. sedang kalian enggan tetirah, enggan berpindah meski selangkah. izinkan saya istirah. sebab saya benar-benar menyerah.
(13 November 2010)
Selembar Daun
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Bersama perempuan-perempuan daun lain, aku diajari memberi makan pohon besar tempatku tinggal. Aku diajari menerima kunjungan embun setiap pagi. Aku diajari melahirkan bunga-bunga semerbak bila musim semi menyapa. Aku diajari melahirkan buah-buah bila musim tiba. Aku diajari melahirkan pucuk-pucuk daun muda. Aku diajari menjadi legawa bila telah tiba waktu luruh dan kembali ke tanah.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku menjadi bijak memahami segala gerak. “Bergeraklah selaras dengan angin bila ia menggoyang tubuhmu. Sehingga angin tak akan mampu mematahkan kakimu,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak menjadi congkak dalam bertindak. “Berhembuslah dengan rendah hati dan santun di atas pohon ini. Sehingga kelak bila tiba waktumu luruh, maka kau akan luruh dengan anggun,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak mencela dalam setiap kata. “Berkatalah seperlunya dengan mulutmu. Sebab mulutmu akan lebih berguna untuk mencecap embun pagi dan menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi,” begitu Daun Tua lain pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Mencecap embun dan kabut adalah tugasku setiap pagi tiba. Bukan sekadar membuang kata dan suara bila angin mencumbu pohon besar ini. Menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi adalah tugasku. Bukan sekadar membuang gerah dengan segala sampah tak berguna.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Sebelum waktuku memanggil, aku ingin terus belajar memberi dan bukan meminta kembali. Aku ingin hidupku tetap punya arti, meski aku terlahir sebagai selembar daun di atas pohon besar ini. Aku ingin hidupku tetap punya arti, hingga kelak aku luruh dan meremah. Kembali ke tanah. Sendiri.
(16 November 2010)
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku menjadi bijak memahami segala gerak. “Bergeraklah selaras dengan angin bila ia menggoyang tubuhmu. Sehingga angin tak akan mampu mematahkan kakimu,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak menjadi congkak dalam bertindak. “Berhembuslah dengan rendah hati dan santun di atas pohon ini. Sehingga kelak bila tiba waktumu luruh, maka kau akan luruh dengan anggun,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak mencela dalam setiap kata. “Berkatalah seperlunya dengan mulutmu. Sebab mulutmu akan lebih berguna untuk mencecap embun pagi dan menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi,” begitu Daun Tua lain pernah berpesan padaku.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Mencecap embun dan kabut adalah tugasku setiap pagi tiba. Bukan sekadar membuang kata dan suara bila angin mencumbu pohon besar ini. Menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi adalah tugasku. Bukan sekadar membuang gerah dengan segala sampah tak berguna.
Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Sebelum waktuku memanggil, aku ingin terus belajar memberi dan bukan meminta kembali. Aku ingin hidupku tetap punya arti, meski aku terlahir sebagai selembar daun di atas pohon besar ini. Aku ingin hidupku tetap punya arti, hingga kelak aku luruh dan meremah. Kembali ke tanah. Sendiri.
(16 November 2010)
Sabtu, 13 November 2010
di jari manis kita
: untukmu, untuk kita.
rajutan cinta sederhana
melingkari sukma
mengikat jiwa
: selamanya
(12 November 2010)
rajutan cinta sederhana
melingkari sukma
mengikat jiwa
: selamanya
(12 November 2010)
perempuan yang menikahi malam
pagi ini, terlalu banyak janji teringkari. tentang cerita yang ingin kau bagi. tentang tuan puteri yang telah mencuri hatimu. tuan puteri yang pipinya semerah ceri. tuan puteri yang kulitnya seputih padi. tuan puteri yang diam-diam datang dan menghuni palung dalam dirimu. tuan puteri yang kemudian melahirkan peri-peri kecil dari rahim putihnya.
ah, lagi-lagi tentang janji. tentang janji-janji teringkari, yang mungkin akan hilang dalam hembus angin semalam. dan kau tak perlu lagi berjalan untuk menebusnya. sebab aku sudah teramat lelah menunggu bulan menjadi hitam semalam. dan aku terus berjalan mengarungi malam hingga pagi menjemput kembali. pun mengingatkan aku pada janji-janji yang teringkari kemarin pagi.
dan aku terus melangkah. sendiri saja. serupa air sungai, sendiri mengarung riam. meski senja menghadang diam-diam hingga malam memeluk di ujung sana. sebab malam adalah kekasih sejati bagi penyendiri sepertiku. sebab malam tak pernah ingkar janji sepertimu. sebab malam adalah setubuhku dalam sukma. sebab malam adalah nyawa bagiku bila pagi tiba.
(10 November 2010)
ah, lagi-lagi tentang janji. tentang janji-janji teringkari, yang mungkin akan hilang dalam hembus angin semalam. dan kau tak perlu lagi berjalan untuk menebusnya. sebab aku sudah teramat lelah menunggu bulan menjadi hitam semalam. dan aku terus berjalan mengarungi malam hingga pagi menjemput kembali. pun mengingatkan aku pada janji-janji yang teringkari kemarin pagi.
dan aku terus melangkah. sendiri saja. serupa air sungai, sendiri mengarung riam. meski senja menghadang diam-diam hingga malam memeluk di ujung sana. sebab malam adalah kekasih sejati bagi penyendiri sepertiku. sebab malam tak pernah ingkar janji sepertimu. sebab malam adalah setubuhku dalam sukma. sebab malam adalah nyawa bagiku bila pagi tiba.
(10 November 2010)
sepenggal cerita di beranda
(1)
meski malam telah menua,
masih terlihat sang kunang-kunang terbang
melayang-layang di antara rimbun ilalang
mencari pasangan jiwa yang hilang
ditelan penguasa malam bermata jalang.
(2)
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
bercerita tentang rona merah muda, yang tempias pada kedua pipinya.
pun bercerita tentang lebam kelabu, yang masih tersisa pada rusuk kirinya.
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
dan memintaku terbang bersamanya.
(3)
sayang, aku tak ingin terbang
apalagi bersama sang kunang-kunang.
sebab sepasang sayapku pernah hilang
ditebas kunang-kunang betina
dengan api lilin yang masih menyala.
(10 November 2010)
meski malam telah menua,
masih terlihat sang kunang-kunang terbang
melayang-layang di antara rimbun ilalang
mencari pasangan jiwa yang hilang
ditelan penguasa malam bermata jalang.
(2)
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
bercerita tentang rona merah muda, yang tempias pada kedua pipinya.
pun bercerita tentang lebam kelabu, yang masih tersisa pada rusuk kirinya.
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
dan memintaku terbang bersamanya.
(3)
sayang, aku tak ingin terbang
apalagi bersama sang kunang-kunang.
sebab sepasang sayapku pernah hilang
ditebas kunang-kunang betina
dengan api lilin yang masih menyala.
(10 November 2010)
doa di simpang jalan
: untuk mereka, yang terhambur dari punggung Merapi
masih saja tubuh yang satu,
berdiri di simpang jalan yang sama.
menunggu sebuah kabar,
yang mungkin terbawa burung layang-layang
ketika kembali ke sarang bersama petang.
tentang kau dan kotamu, yang masih saja abu-abu.
tentang kau dan kotamu, yang tak pernah lepas dari nafasku.
nafas yang selalu melafalkan doa
: segala abu-abu segera berlalu darimu dan kotamu.
(10 November 2010)
masih saja tubuh yang satu,
berdiri di simpang jalan yang sama.
menunggu sebuah kabar,
yang mungkin terbawa burung layang-layang
ketika kembali ke sarang bersama petang.
tentang kau dan kotamu, yang masih saja abu-abu.
tentang kau dan kotamu, yang tak pernah lepas dari nafasku.
nafas yang selalu melafalkan doa
: segala abu-abu segera berlalu darimu dan kotamu.
(10 November 2010)
Esok Pagi, Semoga...
: untuk mereka, yang terhambur dari punggung Merapi
menebar rindu pada abu,
yang masih setia luruh pada rambutmu.
menebar cinta pada hujan,
yang masih setia menghapus airmata.
menebar harap pada lanskap,
yang masih setia menunggu jawab
pada cerah mentari kembali
bersama pelangi mewarna bumi.
(10 November 2010)
menebar rindu pada abu,
yang masih setia luruh pada rambutmu.
menebar cinta pada hujan,
yang masih setia menghapus airmata.
menebar harap pada lanskap,
yang masih setia menunggu jawab
pada cerah mentari kembali
bersama pelangi mewarna bumi.
(10 November 2010)
Jumat, 12 November 2010
Doa Kemarin
Tuhan memang tak pernah tidur, apalagi mendengkur sepertimu.
Bila Ia tak menjawab doamu hari ini, itu bukan karena terlalu sibuk sepertimu.
Ia hanya ingin tahu kesungguhanmu atas segala pinta dalam setiap bait doa.
Tetaplah meminta pada-Nya, meski hari ini tak berjalan sempurna.
seperti sering kau pinta Ia ada menemanimu dalam setiap bait doa.
Sebab Tuhan memang tak pernah tidur, Ia hanya menunda jawab setiap doa.
Dan, pilihanmu hanya dua:
Percaya atau pergi saja dari setiap bait doa,
yang tekun kau lafalkan dalam setiap nafas.
(31 Oktober 2010)
Bila Ia tak menjawab doamu hari ini, itu bukan karena terlalu sibuk sepertimu.
Ia hanya ingin tahu kesungguhanmu atas segala pinta dalam setiap bait doa.
Tetaplah meminta pada-Nya, meski hari ini tak berjalan sempurna.
seperti sering kau pinta Ia ada menemanimu dalam setiap bait doa.
Sebab Tuhan memang tak pernah tidur, Ia hanya menunda jawab setiap doa.
Dan, pilihanmu hanya dua:
Percaya atau pergi saja dari setiap bait doa,
yang tekun kau lafalkan dalam setiap nafas.
(31 Oktober 2010)
LELAKI AIR
: untuk Pengantinku
Aku bercengkerama bersama teman-temanku dalam sebuah pesta di tepi sungai. Pesta perayaan kedewasaan. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk tinggal terpisah dari orangtua kami. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk mulai tinggal di rumah baru, di atas sebuah batu. Batu hitam. Dunia baru bagi kami, lumut-lumut muda.
Ya, Lumut adalah namaku. Rumahku di atas batu di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dari sumber air di atas gunung hijau dari atas sana. Ah, air jernih itu selalu menyapaku. Senyum ramah. Senyum yang mampu membuat hatiku membuncah. Senyum yang mampu menyuburkan tubuh dan jiwaku. Senyum yang selalu menyegarkan penatku.
Aih, ternyata aku jatuh cinta padamu. Pada Air, yang mampu menghapus segala sedih di masa lalu. Ketika aku harus berjuang menghancurkan batu-batu keras di bawah kakiku tanpa tetes-tetes air dari tubuhmu. Kini, ketika aku telah dewasa dan tinggal di atas rumahku sendiri, kau makin sering mengunjungiku. Mengalir di dalam rumahku. Mengalir di atas tubuhku. Hingga pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, ketika kau berkunjung ke rumahku, kau tanyakan sesuatu padaku.
“Maukah kau menikah denganku? Bersama kita menaklukkan dunia di bawah kaki kita," tanyamu lugas. Sembari memandang mataku. Pun menggenggam jemari tanganku.
Aku mengangguk. Mataku berbinar. Ya, akhirnya aku menikah denganmu, Air. Pengantin Abadiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menaklukkan dunia di bawah kakiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menerbangkan spora-spora cinta dari tubuhku.
(22 Oktober 2010)
Aku bercengkerama bersama teman-temanku dalam sebuah pesta di tepi sungai. Pesta perayaan kedewasaan. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk tinggal terpisah dari orangtua kami. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk mulai tinggal di rumah baru, di atas sebuah batu. Batu hitam. Dunia baru bagi kami, lumut-lumut muda.
Ya, Lumut adalah namaku. Rumahku di atas batu di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dari sumber air di atas gunung hijau dari atas sana. Ah, air jernih itu selalu menyapaku. Senyum ramah. Senyum yang mampu membuat hatiku membuncah. Senyum yang mampu menyuburkan tubuh dan jiwaku. Senyum yang selalu menyegarkan penatku.
Aih, ternyata aku jatuh cinta padamu. Pada Air, yang mampu menghapus segala sedih di masa lalu. Ketika aku harus berjuang menghancurkan batu-batu keras di bawah kakiku tanpa tetes-tetes air dari tubuhmu. Kini, ketika aku telah dewasa dan tinggal di atas rumahku sendiri, kau makin sering mengunjungiku. Mengalir di dalam rumahku. Mengalir di atas tubuhku. Hingga pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, ketika kau berkunjung ke rumahku, kau tanyakan sesuatu padaku.
“Maukah kau menikah denganku? Bersama kita menaklukkan dunia di bawah kaki kita," tanyamu lugas. Sembari memandang mataku. Pun menggenggam jemari tanganku.
Aku mengangguk. Mataku berbinar. Ya, akhirnya aku menikah denganmu, Air. Pengantin Abadiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menaklukkan dunia di bawah kakiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menerbangkan spora-spora cinta dari tubuhku.
(22 Oktober 2010)
Ibu
telah begitu lama ibu sakit, hatinya tergigit melihat anak-anak kecil bertengkar sengit. bahkan saling bunuh demi rupiah yang sedikit. saling bunuh untuk mengisi perut-perut kelaparan. sebab semalam, mereka hanya minum air rebusan batu. dan kemarin pagi, mereka makan nasi basi dari tempat pembuangan sampah.
telah begitu lama ibu sedih, hatinya pedih melihat anak-anak tak henti menoreh perih. dan melupakan bahasa kasih ketika mereka berselisih. dan melupakan bahasa kasih menyikapi warna-warni berbeda di atas pangkuan ibu. dan melupakan bahasa kasih bahwa warna-warni itu yang membuat cantik wajah ibu.
telah begitu lama ibu terluka, hatinya merana melihat anak-anak tak henti berduka. ketika satu demi satu tertimpa bencana. sedang yang lain masih saja menutup mata dan telinga. pura-pura tak melihat dan tak mendengar derita saudara-saudaranya. sedang anak-anak tertua masih saja berebut kuasa di atas sana dengan menginjak tubuh adik-adiknya.
telah begitu lama ibu sakit. telah begitu lama ibu sedih. telah begitu lama ibu terluka. lantas apa yang kalian dapat lakukan demi ibu? lantas di mana kalian, anak-anak ibu? anak-anak yang pernah berjanji menjaga ibu dengan segenap jiwa dan raga. anak-anak yang seharusnya menjaga ibu di kala ibu semakin renta.
(20 Oktober 2010)
telah begitu lama ibu sedih, hatinya pedih melihat anak-anak tak henti menoreh perih. dan melupakan bahasa kasih ketika mereka berselisih. dan melupakan bahasa kasih menyikapi warna-warni berbeda di atas pangkuan ibu. dan melupakan bahasa kasih bahwa warna-warni itu yang membuat cantik wajah ibu.
telah begitu lama ibu terluka, hatinya merana melihat anak-anak tak henti berduka. ketika satu demi satu tertimpa bencana. sedang yang lain masih saja menutup mata dan telinga. pura-pura tak melihat dan tak mendengar derita saudara-saudaranya. sedang anak-anak tertua masih saja berebut kuasa di atas sana dengan menginjak tubuh adik-adiknya.
telah begitu lama ibu sakit. telah begitu lama ibu sedih. telah begitu lama ibu terluka. lantas apa yang kalian dapat lakukan demi ibu? lantas di mana kalian, anak-anak ibu? anak-anak yang pernah berjanji menjaga ibu dengan segenap jiwa dan raga. anak-anak yang seharusnya menjaga ibu di kala ibu semakin renta.
(20 Oktober 2010)
musim gugur
hendak ke mana kita akan kembali ?
setelah kemarin menghuni pucuk-pucuk pohon
dan menari bersama saat angin menghembus.
hendak ke mana kita akan kembali ?
selain luruh kembali ke tanah
dan lebur bersamanya.
(13 Oktober 2010)
setelah kemarin menghuni pucuk-pucuk pohon
dan menari bersama saat angin menghembus.
hendak ke mana kita akan kembali ?
selain luruh kembali ke tanah
dan lebur bersamanya.
(13 Oktober 2010)
tentangmu, selalu.
tentangmu, yang begitu tekun
mengumpulkan tetes-tetes embun
demi membasuh ngungun
pada tiap-tiap pagiku.
tentangmu, yang begitu teguh
menghapus tetes-tetes peluh
demi menghapus keluh
pada tiap-tiap petangku.
tentangmu, yang begitu tegar
mendengar mulut-mulut mencecar
demi membangun suar
pada tiap-tiap malamku.
tentangmu, yang begitu setia
menunggu langkah-langkah dara
demi melukis cinta
pada tiap-tiap langkahku.
(10 Oktober 2010)
mengumpulkan tetes-tetes embun
demi membasuh ngungun
pada tiap-tiap pagiku.
tentangmu, yang begitu teguh
menghapus tetes-tetes peluh
demi menghapus keluh
pada tiap-tiap petangku.
tentangmu, yang begitu tegar
mendengar mulut-mulut mencecar
demi membangun suar
pada tiap-tiap malamku.
tentangmu, yang begitu setia
menunggu langkah-langkah dara
demi melukis cinta
pada tiap-tiap langkahku.
(10 Oktober 2010)
catatan 10.10.2010
pagi ini, bebas menjadi diri sendiri.
berlari di antara hembus angin
dan butir-butir pasir
menari di sela-sela jemari.
pagi ini, melangkah kembali.
melupakan catatan kelabu,
yang pernah jadi belenggu
pada sekujur tubuh dan jiwa.
pagi ini, terlahir kembali.
dan memulai catatan baru
di bawah langit biru
dan hangat mentari pagi.
(10 Oktober 2010)
berlari di antara hembus angin
dan butir-butir pasir
menari di sela-sela jemari.
pagi ini, melangkah kembali.
melupakan catatan kelabu,
yang pernah jadi belenggu
pada sekujur tubuh dan jiwa.
pagi ini, terlahir kembali.
dan memulai catatan baru
di bawah langit biru
dan hangat mentari pagi.
(10 Oktober 2010)
matahari
esok pagi,
mari menunggu bunga matahari
merekah di halaman.
mungkinkah ?
semoga saja, kau bilang.
dan, semoga matahari di langit biru
tak lagi tertutup mendung kelabu.
ya, semoga matahari itu
bisa mengiringi bulir-bulir keringat
mencuci setiap lubang pori
dan mengamini setiap doa,
yang terucap di awal pagi
(9 Oktober 2010)
mari menunggu bunga matahari
merekah di halaman.
mungkinkah ?
semoga saja, kau bilang.
dan, semoga matahari di langit biru
tak lagi tertutup mendung kelabu.
ya, semoga matahari itu
bisa mengiringi bulir-bulir keringat
mencuci setiap lubang pori
dan mengamini setiap doa,
yang terucap di awal pagi
(9 Oktober 2010)
balada pohon di tepi jalan
ia tumbuh sendiri
di tepi jalan sunyi
tinggi sekali,
hingga angin gemar menjamahnya
rindang sekali,
hingga banyak yang datang
sekadar berteduh bila terik melanda
ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski tubuhnya tertusuk paku
meski pori-pori terlabur lem-lem bau
demi menempel selebaran-selebaran itu
ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski kakinya tersiram kencing anjing
atau lelaki-lelaki mabuk
yang terduduk di pangkuannya
ia tumbuh
dan terus tumbuh
dalam diam,
meski banyak janji dibuat dalam dekapan
pun diingkari diam-diam
ia tumbuh
dan terus tumbuh
hingga kaki-kakinya merapuh
dan tak lagi sanggup menopang tubuh
(29 September 2010)
di tepi jalan sunyi
tinggi sekali,
hingga angin gemar menjamahnya
rindang sekali,
hingga banyak yang datang
sekadar berteduh bila terik melanda
ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski tubuhnya tertusuk paku
meski pori-pori terlabur lem-lem bau
demi menempel selebaran-selebaran itu
ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski kakinya tersiram kencing anjing
atau lelaki-lelaki mabuk
yang terduduk di pangkuannya
ia tumbuh
dan terus tumbuh
dalam diam,
meski banyak janji dibuat dalam dekapan
pun diingkari diam-diam
ia tumbuh
dan terus tumbuh
hingga kaki-kakinya merapuh
dan tak lagi sanggup menopang tubuh
(29 September 2010)
Senin, 09 Agustus 2010
sendiri
sendiri,
pernah menaungi
mereka, yang ziarah kemari.
sayang,
waktu tak henti berlari.
dan, dedaun luruh tanpa semi.
sendiri,
tetap setia berdiri
di antara batu-batu sunyi.
August 9th, 2010
pernah menaungi
mereka, yang ziarah kemari.
sayang,
waktu tak henti berlari.
dan, dedaun luruh tanpa semi.
sendiri,
tetap setia berdiri
di antara batu-batu sunyi.
August 9th, 2010
pulang
senjakala, ribuan burung layang-layang
pulang kembali ke sarang
sayang, yang seekor enggan pulang
sebab tak ada yang menunggunya pulang
dan, ia kembali terbang
sembari mencari sebuah sarang
nyaman. sebelum malam menjelang.
: pulang.
August 9th, 2010
pulang kembali ke sarang
sayang, yang seekor enggan pulang
sebab tak ada yang menunggunya pulang
dan, ia kembali terbang
sembari mencari sebuah sarang
nyaman. sebelum malam menjelang.
: pulang.
August 9th, 2010
sebuah pagi di padang ilalang
berlari telanjang kaki
di antara rimbun ilalang
bercerita tentang pagi,
yang pernah hilang
biarlah segala terbang
serupa bunga ilalang
tak mengapa, kau bilang.
biarlah sebuah pagi
hilang, terbang
berganti siang atau malam
tak mengapa, kau bilang.
sebab pagi yang lain
setia menemani
bersama sejuk embun
(August 9th, 2010)
di antara rimbun ilalang
bercerita tentang pagi,
yang pernah hilang
biarlah segala terbang
serupa bunga ilalang
tak mengapa, kau bilang.
biarlah sebuah pagi
hilang, terbang
berganti siang atau malam
tak mengapa, kau bilang.
sebab pagi yang lain
setia menemani
bersama sejuk embun
(August 9th, 2010)
menunggu Ayah datang
aku terlahir ke dunia bersama ribuan titik membalut sekujur pori tubuhku. pun ribuan titik membalut sekujur hatiku. dan, usia tak pernah lelah berjalan meski hanya semalam, pada tubuh biologisku. sayang, usia tak mampu menguasai jiwaku. ia takluk. ia bertekuk lutut melihat langkah jiwaku, yang tak kunjung surut menaklukkan takut. takut yang pernah setia membalut, serupa titik-titik pada sekujur tubuhku.
aku pun beranjak dewasa setiap harinya. dan, titik-titik itu masih saja terserak. meski aku pun tak pernah lelah memungutnya satu demi satu. merangkainya menjadi sebuah gambar indah, yang belum juga selesai hingga nafas ini terhenti. ya, sebuah gambar berjudul kehidupan. kehidupan yang tak takluk oleh deras hujan. pun sengatan mentari di tengah hari.
meski aku bukan lagi remaja belasan. aku masih belajar memahami setiap titik, yang mampir dalam setiap detik. setiap titik yang kadang menggelitik, kadang ingin digelitik. setiap titik yang kadang ganjil, kadang juga genap. setiap titik yang kadang lindap diam-diam di kolong kesadaran.
titik-titik itu masih saja menarik. menarik untuk ditarik menjadi sebuah garis dan gambar. gambar bintang di langit, seperti pernah Ayah ajarkan ketika aku masih kanak-kanak. sayang, aku memilih untuk tak menggambar bintang seperti Ayah ajarkan. hingga ia membuang jauh-jauh diriku dari sisinya.
meski aku telah dibuang. aku masih saja sayang padanya. sebab ia adalah Ayah, yang telah mengajarku menggambar bintang dari sebuah titik pada dirinya. dan, aku masih saja setia menunggunya. menunggu Ayah datang membawa sekantung bintang ketika malam menjelang. sayang, Ayah tak pernah datang menemuiku, si Anak Hilang.
(August 7th, 2010)
aku pun beranjak dewasa setiap harinya. dan, titik-titik itu masih saja terserak. meski aku pun tak pernah lelah memungutnya satu demi satu. merangkainya menjadi sebuah gambar indah, yang belum juga selesai hingga nafas ini terhenti. ya, sebuah gambar berjudul kehidupan. kehidupan yang tak takluk oleh deras hujan. pun sengatan mentari di tengah hari.
meski aku bukan lagi remaja belasan. aku masih belajar memahami setiap titik, yang mampir dalam setiap detik. setiap titik yang kadang menggelitik, kadang ingin digelitik. setiap titik yang kadang ganjil, kadang juga genap. setiap titik yang kadang lindap diam-diam di kolong kesadaran.
titik-titik itu masih saja menarik. menarik untuk ditarik menjadi sebuah garis dan gambar. gambar bintang di langit, seperti pernah Ayah ajarkan ketika aku masih kanak-kanak. sayang, aku memilih untuk tak menggambar bintang seperti Ayah ajarkan. hingga ia membuang jauh-jauh diriku dari sisinya.
meski aku telah dibuang. aku masih saja sayang padanya. sebab ia adalah Ayah, yang telah mengajarku menggambar bintang dari sebuah titik pada dirinya. dan, aku masih saja setia menunggunya. menunggu Ayah datang membawa sekantung bintang ketika malam menjelang. sayang, Ayah tak pernah datang menemuiku, si Anak Hilang.
(August 7th, 2010)
jejak rindu (1)
: a tribute to BOL BRUTU
tak kunjung menemu
jejak masa lalu
di antara rerimbun lumut
pada bongkah batu-batu,
sedang belenggu rindu
kian membatu dalam hatiku
(August 7th, 2010)
tak kunjung menemu
jejak masa lalu
di antara rerimbun lumut
pada bongkah batu-batu,
sedang belenggu rindu
kian membatu dalam hatiku
(August 7th, 2010)
kisah tiga babak
kisah tiga babak
/1/
dalam perjalanan lalu,
aku dengar kisahmu
dan perempuan-perempuan itu
yang begitu memujamu
dan, salah satunya sahabatku
ketika rambut mulai kelabu,
entah jalan mana kau tuju
sebagai pemberhentian terakhirmu
: aku atau sahabatku
/2/
dalam perjalanan lalu,
kau pinta aku
jadi pendamping hidupmu
sedang aku masih diam membisu
bukan tanda setuju
aku diam membisu
sebab aku masih ragu pada hatiku
bukan hatimu, yang menyimpan rindu
sejak dua belas tahun lalu
/3/
dalam perjalanan lalu,
kau adalah pemuja rahasiaku
sedang aku bahkan tak tahu
siapa namamu, pun segala tentangmu
dan ketika perjalanan lalu
telah benar-benar berlalu,
tertinggal kita merajut kisah baru
berdua saja di pinggir kota biru
(August 7th, 2010)
/1/
dalam perjalanan lalu,
aku dengar kisahmu
dan perempuan-perempuan itu
yang begitu memujamu
dan, salah satunya sahabatku
ketika rambut mulai kelabu,
entah jalan mana kau tuju
sebagai pemberhentian terakhirmu
: aku atau sahabatku
/2/
dalam perjalanan lalu,
kau pinta aku
jadi pendamping hidupmu
sedang aku masih diam membisu
bukan tanda setuju
aku diam membisu
sebab aku masih ragu pada hatiku
bukan hatimu, yang menyimpan rindu
sejak dua belas tahun lalu
/3/
dalam perjalanan lalu,
kau adalah pemuja rahasiaku
sedang aku bahkan tak tahu
siapa namamu, pun segala tentangmu
dan ketika perjalanan lalu
telah benar-benar berlalu,
tertinggal kita merajut kisah baru
berdua saja di pinggir kota biru
(August 7th, 2010)
dua kisah beda arah
/i/
kisahmu,
lelaki penenun luka
pada setiap beranda jiwa
perempuan-perempuan belia
tentangmu,
yang tinggalkan luka
di setiap sudut kota
hingga aku tak lagi nyaman
dalam detak jantung berlarian
bila melewatinya tiap senja
/ii/
kisahmu,
manusia setengah dewa
yang hadir dalam berandaku
pada setiap kejatuhan langkahku
engkaulah kumbang,
yang mencecap sari hatiku
dan menyimpannya di sarang hatimu,
yang penuh madu dari senyumanku
entah esok atau lusa,
kita pasti memanen madu itu bersama
(July 21st, 2010)
kisahmu,
lelaki penenun luka
pada setiap beranda jiwa
perempuan-perempuan belia
tentangmu,
yang tinggalkan luka
di setiap sudut kota
hingga aku tak lagi nyaman
dalam detak jantung berlarian
bila melewatinya tiap senja
/ii/
kisahmu,
manusia setengah dewa
yang hadir dalam berandaku
pada setiap kejatuhan langkahku
engkaulah kumbang,
yang mencecap sari hatiku
dan menyimpannya di sarang hatimu,
yang penuh madu dari senyumanku
entah esok atau lusa,
kita pasti memanen madu itu bersama
(July 21st, 2010)
Sabtu, 17 Juli 2010
rumah di ujung pelangi
perjalanan ini baru mulai,
tetapi langkah-langkah kaki telah gontai
entah kapan kita akan sampai
pada rumah di ujung pelangi ?
di bawah terik yang sama,
kita masih saja menapaki langkah
entah kapan tujuan bukan sekadar angan
di bawah rintik yang sama,
kita masih saja meneruskan langkah kaki
menuju sebuah rumah cita di ujung pelangi
di bawah langit yang sama,
kita masih saja tak henti berharap
semoga segala harap segera terdekap
bersama dalam pelukan Sang Maha
pun semoga segala restu segera tertuju
dalam satu singgasana di ujung pelangi-Mu
dan, semoga rumah cita
di ujung pelangi itu bukan sekadar fatamorgana
: indah di mata, tetapi menyimpan kelabu
dan, semoga rumah cita
di ujung pelangi itu memang benar milik kita
: hanya kita
(July 16th, 2010)
tetapi langkah-langkah kaki telah gontai
entah kapan kita akan sampai
pada rumah di ujung pelangi ?
di bawah terik yang sama,
kita masih saja menapaki langkah
entah kapan tujuan bukan sekadar angan
di bawah rintik yang sama,
kita masih saja meneruskan langkah kaki
menuju sebuah rumah cita di ujung pelangi
di bawah langit yang sama,
kita masih saja tak henti berharap
semoga segala harap segera terdekap
bersama dalam pelukan Sang Maha
pun semoga segala restu segera tertuju
dalam satu singgasana di ujung pelangi-Mu
dan, semoga rumah cita
di ujung pelangi itu bukan sekadar fatamorgana
: indah di mata, tetapi menyimpan kelabu
dan, semoga rumah cita
di ujung pelangi itu memang benar milik kita
: hanya kita
(July 16th, 2010)
Jumat, 16 Juli 2010
menunggu embun
kutunggu tetes-tetes embun
mengalir dari batangmu
membasahi tanahku
menumbuhkan benih hijau,
yang kau tinggalkan senja lalu
bersama embus anginmu
kutunggu,
hingga mentari cemburu
dan meninggalkanku sendiri
dalam biru
(July 11th, 2010)
mengalir dari batangmu
membasahi tanahku
menumbuhkan benih hijau,
yang kau tinggalkan senja lalu
bersama embus anginmu
kutunggu,
hingga mentari cemburu
dan meninggalkanku sendiri
dalam biru
(July 11th, 2010)
sembilu di rumah pernikahanku
dan, kita selalu berpunggungan bila malam tiba
setelah rutinitas bercinta, yang itu-itu saja
serupa sepasang orang asing di ranjang kita
dan, kita masih berbasa-basi bila pagi tiba
tentang menu sarapan pagi di meja, yang masih sama
serupa sepasang orang asing di meja makan kita
dan, kita tak saling bicara bila hari berjalan di tubuh kita
sebab kau dan aku sibuk menjalani agenda, yang tetap sama
serupa sepasang orang asing di bangku taman kota
lantas untuk apa kita mengikat janji di depan altar suci ?
bila segalanya masih penuh basa-basi,
yang kadang memberi warna pasi di ruang hati
pun pada segala penjuru langkah kaki
kau bilang demi ibadah, aku bilang terserah
kau bilang demi menghindari dosa, aku bilang percuma
kau bilang demi cinta, aku bilang sia-sia
sebab tak ada lagi sisa dusta dari perjalanan cinta,
yang penuh pura-pura di antara kita
dan, lebih baik bila kita akhiri saja semua
sebab kau telah berdusta tentang perempuan,
yang kau simpan diam-diam di ruangan lain
di rumah hatimu, yang seluas sabana
(July 10th, 2010)
setelah rutinitas bercinta, yang itu-itu saja
serupa sepasang orang asing di ranjang kita
dan, kita masih berbasa-basi bila pagi tiba
tentang menu sarapan pagi di meja, yang masih sama
serupa sepasang orang asing di meja makan kita
dan, kita tak saling bicara bila hari berjalan di tubuh kita
sebab kau dan aku sibuk menjalani agenda, yang tetap sama
serupa sepasang orang asing di bangku taman kota
lantas untuk apa kita mengikat janji di depan altar suci ?
bila segalanya masih penuh basa-basi,
yang kadang memberi warna pasi di ruang hati
pun pada segala penjuru langkah kaki
kau bilang demi ibadah, aku bilang terserah
kau bilang demi menghindari dosa, aku bilang percuma
kau bilang demi cinta, aku bilang sia-sia
sebab tak ada lagi sisa dusta dari perjalanan cinta,
yang penuh pura-pura di antara kita
dan, lebih baik bila kita akhiri saja semua
sebab kau telah berdusta tentang perempuan,
yang kau simpan diam-diam di ruangan lain
di rumah hatimu, yang seluas sabana
(July 10th, 2010)
aku jenuh, sungguh
aku jenuh,
pada langkah-langkah tertempuh
aku jenuh,
pada lenguh-lenguh di ranjang berpeluh
aku jenuh,
pada janji-janji terseduh
di meja kopi yang angkuh
aku jenuh,
hingga telapak-telapak kaki melepuh
sedang kau di sana masih tanpa gaduh
menunggu bintang yang tak jua jatuh
di pangkuanmu, lelaki bermata teduh
aku jenuh, sungguh
bagaimana bila aku menjelma pembunuh
malam ini, ketika langit tak henti berpeluh ?
aku jenuh, sungguh
segala tentangmu
: lelaki bermata teduh
(July 10th, 2010)
pada langkah-langkah tertempuh
aku jenuh,
pada lenguh-lenguh di ranjang berpeluh
aku jenuh,
pada janji-janji terseduh
di meja kopi yang angkuh
aku jenuh,
hingga telapak-telapak kaki melepuh
sedang kau di sana masih tanpa gaduh
menunggu bintang yang tak jua jatuh
di pangkuanmu, lelaki bermata teduh
aku jenuh, sungguh
bagaimana bila aku menjelma pembunuh
malam ini, ketika langit tak henti berpeluh ?
aku jenuh, sungguh
segala tentangmu
: lelaki bermata teduh
(July 10th, 2010)
mobil-mobil mengkilat di depan gedung rakyat
mobil-mobil mengkilat di depan gedung rakyat
mobil-mobil mengkilat
masih saja berbaris rapat
di depan gedung rakyat
mobil-mobil mengkilat,
yang dibeli dari keringat rakyat
dan, kalian: wakil rakyat
yang malah jadi penikmat uang rakyat
mobil-mobil mengkilat,
yang selalu bebas ngadat
sering membuat rakyat mengumpat
bila berlalu cepat di jalanan padat
mobil-mobil mengkilat,
yang makin membuat rakyat sekarat
di antara harga-harga makin meningkat
mobil-mobil mengkilat
berpenumpang para keparat,
yang gemar melindas tubuh-tubuh rakyat
(June 27th, 2010)
mobil-mobil mengkilat
masih saja berbaris rapat
di depan gedung rakyat
mobil-mobil mengkilat,
yang dibeli dari keringat rakyat
dan, kalian: wakil rakyat
yang malah jadi penikmat uang rakyat
mobil-mobil mengkilat,
yang selalu bebas ngadat
sering membuat rakyat mengumpat
bila berlalu cepat di jalanan padat
mobil-mobil mengkilat,
yang makin membuat rakyat sekarat
di antara harga-harga makin meningkat
mobil-mobil mengkilat
berpenumpang para keparat,
yang gemar melindas tubuh-tubuh rakyat
(June 27th, 2010)
semalam dalam pelukan seorang pelacur
semalam,
aku melihatmu jatuh tertidur
mendengkur. dalam pelukan seorang pelacur.
ah, mungkin kau terlalu lelah
menjelajah. dalam setiap pori dan celah.
bibirmu pun tak henti mendesah
sebuah nama, yang kau cinta tanpa lelah
semalam,
kau nyenyak mendengkur
dalam pelukan seorang pelacur
hingga mentari pagi menyela di jendela
bersama aroma sarapan dari meja dapur
(June 14th, 2010)
aku melihatmu jatuh tertidur
mendengkur. dalam pelukan seorang pelacur.
ah, mungkin kau terlalu lelah
menjelajah. dalam setiap pori dan celah.
bibirmu pun tak henti mendesah
sebuah nama, yang kau cinta tanpa lelah
semalam,
kau nyenyak mendengkur
dalam pelukan seorang pelacur
hingga mentari pagi menyela di jendela
bersama aroma sarapan dari meja dapur
(June 14th, 2010)
sebuah drama lain pada sebuah siang
(1)
perempuan itu,
masih saja cemburu padamu
sedang kau telah begitu sabar menuntunnya
pun mengikuti segala inginnya
cemburu telah begitu kuat menutup mata hati,
lantas ke mana cinta yang pernah terpatri pergi ?
curiga telah begitu erat membawa prasangka,
lantas ke mana kasih yang pernah terkisah musnah ?
(2)
lelaki itu,
masih saja setia menunggumu
sedang kau telah begitu kasar menamparnya
dengan tuduhan perselingkuhan
cemburu yang telah menutup mata hatimu,
hanya berbalas kesabaran pada wajah lelaki itu
curiga yang telah teranyam pada lidahmu,
hanya berbalas senyuman pada bibir lelaki itu
(3)
aku diam,
seperti biasanya. tanpa sepatah kata
meski mata ini tetap berkaca-kaca
sekali lagi, menyaksikan drama rumah tangga
pertengkaran sia-sia,
akibat curiga dan cemburu buta
tanpa logika dari dua orang dewasa
di antara seorang bayi yang meronta
ah, sudahlah...
aku sudah teramat lelah
menyaksikan segala ulah kalian
meributkan perselingkuhan yang tak pernah ada
(June 12th, 2010)
perempuan itu,
masih saja cemburu padamu
sedang kau telah begitu sabar menuntunnya
pun mengikuti segala inginnya
cemburu telah begitu kuat menutup mata hati,
lantas ke mana cinta yang pernah terpatri pergi ?
curiga telah begitu erat membawa prasangka,
lantas ke mana kasih yang pernah terkisah musnah ?
(2)
lelaki itu,
masih saja setia menunggumu
sedang kau telah begitu kasar menamparnya
dengan tuduhan perselingkuhan
cemburu yang telah menutup mata hatimu,
hanya berbalas kesabaran pada wajah lelaki itu
curiga yang telah teranyam pada lidahmu,
hanya berbalas senyuman pada bibir lelaki itu
(3)
aku diam,
seperti biasanya. tanpa sepatah kata
meski mata ini tetap berkaca-kaca
sekali lagi, menyaksikan drama rumah tangga
pertengkaran sia-sia,
akibat curiga dan cemburu buta
tanpa logika dari dua orang dewasa
di antara seorang bayi yang meronta
ah, sudahlah...
aku sudah teramat lelah
menyaksikan segala ulah kalian
meributkan perselingkuhan yang tak pernah ada
(June 12th, 2010)
setumpuk surat cinta
kemarin,
kutemukan setumpuk surat cinta,
yang bercerita tentang kisah hatimu
pada perempuan lugu bermata sendu
setumpuk surat cinta,
yang tak pernah kau kirim pada perempuan itu
meski sekian tahun telah berlari dari usiamu
setumpuk surat cinta,
yang kutemukan di bawah ranjangmu
: ternyata untukku
(June 11th, 2010)
kutemukan setumpuk surat cinta,
yang bercerita tentang kisah hatimu
pada perempuan lugu bermata sendu
setumpuk surat cinta,
yang tak pernah kau kirim pada perempuan itu
meski sekian tahun telah berlari dari usiamu
setumpuk surat cinta,
yang kutemukan di bawah ranjangmu
: ternyata untukku
(June 11th, 2010)
Selasa, 25 Mei 2010
kupu-kupu bersayap kaca
pada purnama lalu,
aku telah menjelma kupu-kupu
dan terbang bebas ke langit biru
bila aku kembali menengok hijau ladangmu
tolong jangan memburuku atau menangkapmu
dengan jala pemikatmu
sebab aku bukan kupu-kupu pelengkap koleksimu
bila aku kembali terbang di sekitar bahumu
tolong jangan memintaku singgah di hatimu
dengan madu pemanismu
sebab aku bukan kupu-kupu penghuni sangkarmu
(25 Mei 2010)
aku telah menjelma kupu-kupu
dan terbang bebas ke langit biru
bila aku kembali menengok hijau ladangmu
tolong jangan memburuku atau menangkapmu
dengan jala pemikatmu
sebab aku bukan kupu-kupu pelengkap koleksimu
bila aku kembali terbang di sekitar bahumu
tolong jangan memintaku singgah di hatimu
dengan madu pemanismu
sebab aku bukan kupu-kupu penghuni sangkarmu
(25 Mei 2010)
bloody marry
tak pernah aku mengiba
tentang luka di beranda jiwa
sebab aku memang bukan siapa-siapa
bagimu, pengembara cinta
(24 Mei 2010)
tentang luka di beranda jiwa
sebab aku memang bukan siapa-siapa
bagimu, pengembara cinta
(24 Mei 2010)
satu janji pada Ibu
sembilu itu pernah menghunus jantungmu
tuba itu pernah mengalir dalam darahmu
pahit itu pernah tercecap di lidahmu
dera itu pernah menyentuh tubuhmu
sayang, tak satu pun mampu merubuhkanmu
pun menghentikan langkah kakimu
dan, kau masih tegak dalam langkahmu
tetap menyandang busur panahmu
pada punggungmu, yang tak lagi hijau
demi satu janji pada saktimu
: Ibu
(18 Mei 2010)
tuba itu pernah mengalir dalam darahmu
pahit itu pernah tercecap di lidahmu
dera itu pernah menyentuh tubuhmu
sayang, tak satu pun mampu merubuhkanmu
pun menghentikan langkah kakimu
dan, kau masih tegak dalam langkahmu
tetap menyandang busur panahmu
pada punggungmu, yang tak lagi hijau
demi satu janji pada saktimu
: Ibu
(18 Mei 2010)
Selasa, 18 Mei 2010
kisah darah
darah itu pernah tumpah
di atas selembar kain basah
pada satu malam tanpa desah
meninggalkan amarah,
yang tak kenal lelah
tertinggal aku,
menunggu satu
: darahmu
mengalir dari jantungmu
(16 Mei 2010)
di atas selembar kain basah
pada satu malam tanpa desah
meninggalkan amarah,
yang tak kenal lelah
tertinggal aku,
menunggu satu
: darahmu
mengalir dari jantungmu
(16 Mei 2010)
semoga dan selamanya, berbahagia
: untuk Nana Mulyana
maaf,
aku bukan pujangga
yang mampu merangkai kata
seindah untaian mutiara
serupa kalung-kalung permata
di leher nyonya-nyonya kaya
maaf,
aku hanya punya sebaris doa
yang mungkin saja bisa
menemani setiap langkah dan karya
yang terukir dari jemari penuh cinta
darimu, yang berbahagia
: semoga dan selamanya
(14 Mei 2010)
maaf,
aku bukan pujangga
yang mampu merangkai kata
seindah untaian mutiara
serupa kalung-kalung permata
di leher nyonya-nyonya kaya
maaf,
aku hanya punya sebaris doa
yang mungkin saja bisa
menemani setiap langkah dan karya
yang terukir dari jemari penuh cinta
darimu, yang berbahagia
: semoga dan selamanya
(14 Mei 2010)
biarkan bintang menari
semalam,
kubiarkan bintang menari
bersama sang putri
di atas bukit berbunga itu
biarkan saja,
mereka berbahagia
dalam tarian cinta
hingga akhir dunia, semoga
sebab aku tak lagi rindu
pada senyum bintang berkilau,
yang pernah membutakan mataku
pun mematahkan sayapku
sebab aku tak lagi peduli
pada bintang menari menjelang pagi
atau tawa tuan putri,
yang menusuk ulu hati
sebab aku telah kembali
mencintai diri dalam sunyi
bersama kekasih sejati
: sang mahasetia
(13 Mei 2010)
kubiarkan bintang menari
bersama sang putri
di atas bukit berbunga itu
biarkan saja,
mereka berbahagia
dalam tarian cinta
hingga akhir dunia, semoga
sebab aku tak lagi rindu
pada senyum bintang berkilau,
yang pernah membutakan mataku
pun mematahkan sayapku
sebab aku tak lagi peduli
pada bintang menari menjelang pagi
atau tawa tuan putri,
yang menusuk ulu hati
sebab aku telah kembali
mencintai diri dalam sunyi
bersama kekasih sejati
: sang mahasetia
(13 Mei 2010)
menunggu, lagi….
mengulum rindu
pada lidah yang kian kelu
menyimpan sembilu
pada urat nadimu
tertinggal satu
: menunggu
hingga hati ini jengah
atau rasa ini resah
dan kaki lelah melangkah
sampai kapan ?
ENTAH !!!
(12 Mei 2010)
pada lidah yang kian kelu
menyimpan sembilu
pada urat nadimu
tertinggal satu
: menunggu
hingga hati ini jengah
atau rasa ini resah
dan kaki lelah melangkah
sampai kapan ?
ENTAH !!!
(12 Mei 2010)
Selasa, 11 Mei 2010
luka itu...
kembali menyayat jiwaku
bersama tetes-tetes embun,
yang luruh tadi pagi
di beranda mataku
(11 Mei 2010)
bersama tetes-tetes embun,
yang luruh tadi pagi
di beranda mataku
(11 Mei 2010)
belenggu biru
pesona masa lalu itu
masih saja membelenggumu
dan, aku tak tahu
cara membebaskanmu
sebab tak mampu kupotong kakimu
atau sepasang sayap mungilmu itu
oh, tetapi aku mampu
bila harus menusuk jantungku
agar kau terlepas dari belenggu itu
: masa lalu
ketika kau dan aku
masih sering menghabiskan waktu
di gedung biru itu
(11 Mei 2010)
masih saja membelenggumu
dan, aku tak tahu
cara membebaskanmu
sebab tak mampu kupotong kakimu
atau sepasang sayap mungilmu itu
oh, tetapi aku mampu
bila harus menusuk jantungku
agar kau terlepas dari belenggu itu
: masa lalu
ketika kau dan aku
masih sering menghabiskan waktu
di gedung biru itu
(11 Mei 2010)
angin dan layang-layang
layang-layang kembali melayang,
terbang di awang-awang
meski tanpa benang
dan, membiarkan angin
menerbangkannya tanpa ingin
hingga ia terjatuh di kakimu
tertinggal rangka bambu
(11 Mei 2010)
terbang di awang-awang
meski tanpa benang
dan, membiarkan angin
menerbangkannya tanpa ingin
hingga ia terjatuh di kakimu
tertinggal rangka bambu
(11 Mei 2010)
Jumat, 07 Mei 2010
manusia versus manusia
aku, manusia biasa
sama sepertimu, pernah berlaku salah
pun telah kubayar laku salah itu
dengan segala sesal tak sudah
sayang, masih saja bibir mencibir
pun cerca membusa
dari mulut-mulut berbisa
mengirimku ke neraka buatan manusia
ah, lantas apa beda
bila aku mati malam ini
atau esok pagi ?
tak ada !
sebab aku pelacur hina
pun penuh dosa,
yang tak pantas mencium aroma surga
begitu sabdamu dan kitab sucimu
(6 Mei 2010)
sama sepertimu, pernah berlaku salah
pun telah kubayar laku salah itu
dengan segala sesal tak sudah
sayang, masih saja bibir mencibir
pun cerca membusa
dari mulut-mulut berbisa
mengirimku ke neraka buatan manusia
ah, lantas apa beda
bila aku mati malam ini
atau esok pagi ?
tak ada !
sebab aku pelacur hina
pun penuh dosa,
yang tak pantas mencium aroma surga
begitu sabdamu dan kitab sucimu
(6 Mei 2010)
doa malam ini
semoga mati
dalam secangkir kopi
malam ini
dan, tak perlu merajut mimpi
ketika mentari menari
esok pagi
(3 Mei 2010)
dalam secangkir kopi
malam ini
dan, tak perlu merajut mimpi
ketika mentari menari
esok pagi
(3 Mei 2010)
Minggu, 18 April 2010
janji biru pada undak batu
pada undak batu
kuserahkan tanganku padamu
agar kelak kau mampu
jadi penuntun bagiku
pada undak batu
kuserahkan setengah jiwaku
agar kelak kau mampu
jadi penjaga bagiku
pada undak batu
kuserahkan setiaku padamu
agar kelak kau mampu
jadi pendamping bagiku
pada undak batu
telah jelas kau lihat aku,
yang begitu rapuh memintamu
menuntunku dalam genggamanmu
pada undak batu
telah terikat sebuah janji biru
tentang sepasang rindu
dalam terik yang bisu
(18 April 2010)
kuserahkan tanganku padamu
agar kelak kau mampu
jadi penuntun bagiku
pada undak batu
kuserahkan setengah jiwaku
agar kelak kau mampu
jadi penjaga bagiku
pada undak batu
kuserahkan setiaku padamu
agar kelak kau mampu
jadi pendamping bagiku
pada undak batu
telah jelas kau lihat aku,
yang begitu rapuh memintamu
menuntunku dalam genggamanmu
pada undak batu
telah terikat sebuah janji biru
tentang sepasang rindu
dalam terik yang bisu
(18 April 2010)
Sabtu, 17 April 2010
kisah rahasia dalam simfoni malam
sssttt...
tak perlu berbagi
tentang kisah rahasia,
yang kita gubah berdua
dalam simfoni malam
sssttt...
ini benar-benar rahasia !!!
(18 April 2010)
tak perlu berbagi
tentang kisah rahasia,
yang kita gubah berdua
dalam simfoni malam
sssttt...
ini benar-benar rahasia !!!
(18 April 2010)
Kamis, 15 April 2010
tentang tuba yang kau kirim
tentangmu, sang adam
yang telah memberi khuldi
hingga hawa terlempar dari surga
tentang simalakama,
yang masih tersimpan dalam gua garba
menunggu waktu itu tiba
: kelahiran dusta
masihkah kau akan meminta
hawa menelan maja dan meminum tuba
pada sebuah makan malam penuh dusta
di bawah gemerlap kejora ?
(15 April 2010)
yang telah memberi khuldi
hingga hawa terlempar dari surga
tentang simalakama,
yang masih tersimpan dalam gua garba
menunggu waktu itu tiba
: kelahiran dusta
masihkah kau akan meminta
hawa menelan maja dan meminum tuba
pada sebuah makan malam penuh dusta
di bawah gemerlap kejora ?
(15 April 2010)
membuang kisah lalu
membuang ingin
pada hembus angin
pun mengubur dingin
di bawah rintik hujan
dan, aku pun berlari
menuju pelangi,
yang setia menunggu
hingga senja hari
(15 April 2010)
pada hembus angin
pun mengubur dingin
di bawah rintik hujan
dan, aku pun berlari
menuju pelangi,
yang setia menunggu
hingga senja hari
(15 April 2010)
Sabtu, 10 April 2010
tarian ilalang
tadi siang,
aku menjelma ilalang
menari riang di sebuah padang
bersama bayu
menghembus malu-malu
hingga senja berlalu
(5 April 2010)
aku menjelma ilalang
menari riang di sebuah padang
bersama bayu
menghembus malu-malu
hingga senja berlalu
(5 April 2010)
Jumat, 02 April 2010
selibat
lidahmu kembali menjerat
serupa ular pemangsa pengerat
telah membuatku nyaris sekarat
dalam malam yang lamat-lamat
sayang, telah kupilih jalanku
: selibat
(3 April 2010)
serupa ular pemangsa pengerat
telah membuatku nyaris sekarat
dalam malam yang lamat-lamat
sayang, telah kupilih jalanku
: selibat
(3 April 2010)
tentang titik yang kau tulis
kemarin,
kau telah menulis banyak titik
dengan mulutmu yang serupa mesin ketik
ah, kau pikir segala titik
mampu membuatku tergelitik
pun tak mampu berkutik
sayang, aku tak tertarik
dengan segala titik,
yang kau tulis serupa rintik
hujan yang tak henti menitik
di bawah bulu mataku yang lentik
(3 April 2010)
kau telah menulis banyak titik
dengan mulutmu yang serupa mesin ketik
ah, kau pikir segala titik
mampu membuatku tergelitik
pun tak mampu berkutik
sayang, aku tak tertarik
dengan segala titik,
yang kau tulis serupa rintik
hujan yang tak henti menitik
di bawah bulu mataku yang lentik
(3 April 2010)
lelaki berdarah biru
sebab kau berdarah biru
lantas kau bebas menoreh sembilu
dalam dinding-dinding hati
pun mengingkari segala janji,
yang pernah kau ukir dalam ruang hati
dengan senyum serupa mentari pagi
ah, lebih baik aku pergi
sebab kau telah berjanji pada sang hapsari
untuk mengikat janji
denganmu, sang belahan hati
pada akhir tahun ini
(3 April 2010)
lantas kau bebas menoreh sembilu
dalam dinding-dinding hati
pun mengingkari segala janji,
yang pernah kau ukir dalam ruang hati
dengan senyum serupa mentari pagi
ah, lebih baik aku pergi
sebab kau telah berjanji pada sang hapsari
untuk mengikat janji
denganmu, sang belahan hati
pada akhir tahun ini
(3 April 2010)
di bawah guyuran hujan
menghapus catatan
membuang kenangan
dalam seluruh ruang ingatan
di bawah guyuran hujan
tentang sebuah senyum menawan
di depan gedung perpustakaan
(24 Maret 2010)
membuang kenangan
dalam seluruh ruang ingatan
di bawah guyuran hujan
tentang sebuah senyum menawan
di depan gedung perpustakaan
(24 Maret 2010)
titik
kau dan aku,
telah sampai di ujung waktu
berhenti,
tak perlu menengok kembali
masa lalu di ujung hari
sebab kau dan aku tak akan kembali
merajut mimpi,
yang terpotong pada dini hari
berhenti,
sebab aku merasa nyaman di sini
berteman sunyi
tanpa tanyamu, yang menggelitik hati
berhenti,
sebab aku hendak melangkah lagi
dalam sendiri, esok pagi
(24 Maret 2010)
telah sampai di ujung waktu
berhenti,
tak perlu menengok kembali
masa lalu di ujung hari
sebab kau dan aku tak akan kembali
merajut mimpi,
yang terpotong pada dini hari
berhenti,
sebab aku merasa nyaman di sini
berteman sunyi
tanpa tanyamu, yang menggelitik hati
berhenti,
sebab aku hendak melangkah lagi
dalam sendiri, esok pagi
(24 Maret 2010)
di bawah pancuran air
mengguyur tubuh di bawah pancuran air
mengharap segala penat mengalir
pun segala kenangan segera terusir
dari benak yang kian nyinyir
tentangmu, lelaki berkuncir
(24 Maret 2010)
mengharap segala penat mengalir
pun segala kenangan segera terusir
dari benak yang kian nyinyir
tentangmu, lelaki berkuncir
(24 Maret 2010)
Rabu, 17 Maret 2010
pagi ke tujuh belas, bulan ke tiga
siapakah kita,
yang mulai tekun menenun cerita
pun merenda asa
siapakah kita,
yang selalu berbagi tawa
pun menampung curahan airmata
siapakah kita,
yang mulai menanam benih kasih
pun mencabuti sembilu cemburu
siapakah kita,
yang saling memompa tekad
pun melarung segala resah
siapakah kita,
yang mereka bilang belahan jiwa
sedang saya masih bertanya,
benarkah ? mungkin saja,
sebab kita mulai saling rindu
bila tak saling temu
di antara lembaran buku
siapakah kita ?
kembali saya bertanya,
maaf bila saya lupa
sebab amnesia kembali melanda
ketika kau mengecup kening penuh cinta
pada pagi ke tujuh belas, bulan ke tiga
(17 Maret 2010)
yang mulai tekun menenun cerita
pun merenda asa
siapakah kita,
yang selalu berbagi tawa
pun menampung curahan airmata
siapakah kita,
yang mulai menanam benih kasih
pun mencabuti sembilu cemburu
siapakah kita,
yang saling memompa tekad
pun melarung segala resah
siapakah kita,
yang mereka bilang belahan jiwa
sedang saya masih bertanya,
benarkah ? mungkin saja,
sebab kita mulai saling rindu
bila tak saling temu
di antara lembaran buku
siapakah kita ?
kembali saya bertanya,
maaf bila saya lupa
sebab amnesia kembali melanda
ketika kau mengecup kening penuh cinta
pada pagi ke tujuh belas, bulan ke tiga
(17 Maret 2010)
Senin, 15 Maret 2010
pengerat berkedok sahabat
tak perlu lagi kau tebar aroma cinta
pura-pura dari hatimu yang penuh dusta
sebab aku tak akan lagi percaya
sebab masih amat lekat dalam ruang ingat
tentangmu, yang anggapku sahabat
pun anggapku saudara dalam jabat erat
dan, semalam baru kutahu betapa pengerat
dirimu, yang pernah memelukku erat
dalam romansa sahaja yang hangat
sebab aku tak bisa memberimu rupiah,
yang kau pinta untuk sebuah pesta nikah
lantas kau buang aku serupa sampah
baiklah, aku tak hendak berbalik arah
dengan menjilat ludah yang telah tumpah
sebab aku tak ingin memuntah serapah
padamu, yang pernah memuntah darah
pada sebuah ruang hati yang teramat lelah
dengan segala kisah tentang entah
(16 Maret 2010)
pura-pura dari hatimu yang penuh dusta
sebab aku tak akan lagi percaya
sebab masih amat lekat dalam ruang ingat
tentangmu, yang anggapku sahabat
pun anggapku saudara dalam jabat erat
dan, semalam baru kutahu betapa pengerat
dirimu, yang pernah memelukku erat
dalam romansa sahaja yang hangat
sebab aku tak bisa memberimu rupiah,
yang kau pinta untuk sebuah pesta nikah
lantas kau buang aku serupa sampah
baiklah, aku tak hendak berbalik arah
dengan menjilat ludah yang telah tumpah
sebab aku tak ingin memuntah serapah
padamu, yang pernah memuntah darah
pada sebuah ruang hati yang teramat lelah
dengan segala kisah tentang entah
(16 Maret 2010)
iseng (2)
menelan butir-butir valium
pun menghisap opium
dari bibir semerah yodium
dan, tubuh pun rebah pada peluk
hingga mentari menyapa di ufuk
sedang kepala masih saja menyuruk
pada peluk yang begitu empuk
sebab mata masih lekat menahan kantuk
ah, sepertinya aku sedang mabuk
padamu, lelaki bertanduk
(15 Maret 2010)
pun menghisap opium
dari bibir semerah yodium
dan, tubuh pun rebah pada peluk
hingga mentari menyapa di ufuk
sedang kepala masih saja menyuruk
pada peluk yang begitu empuk
sebab mata masih lekat menahan kantuk
ah, sepertinya aku sedang mabuk
padamu, lelaki bertanduk
(15 Maret 2010)
menunggu
dan, aku pun telah banyak belajar
pada segala kuntum mawar,
yang tumbuh liar di antara belukar
dan, aku pun telah amat sadar
dari segala luka memar,
yang pernah membuatku menggelepar
sebab tak ada yang abadi di dunia
bahkan kejora pun mulai redup
pada langit pagiku
sedang aku masih menghitung detakmu
pada malam kelamku
dalam bisu,
masih saja menunggumu
kembali menerangi langitku
(14 Maret 2010)
pada segala kuntum mawar,
yang tumbuh liar di antara belukar
dan, aku pun telah amat sadar
dari segala luka memar,
yang pernah membuatku menggelepar
sebab tak ada yang abadi di dunia
bahkan kejora pun mulai redup
pada langit pagiku
sedang aku masih menghitung detakmu
pada malam kelamku
dalam bisu,
masih saja menunggumu
kembali menerangi langitku
(14 Maret 2010)
iseng (1)
tidak perlu lagi kau tunggu
kelahiran sebuah tulisan baru
dari tarian jemariku
sebab aku sedang amat sibuk
menganyam rindu dengan kekasih baru
pada sebuah kencan tanpa kantuk
di atas pulau kapuk
(14 Maret 2010)
kelahiran sebuah tulisan baru
dari tarian jemariku
sebab aku sedang amat sibuk
menganyam rindu dengan kekasih baru
pada sebuah kencan tanpa kantuk
di atas pulau kapuk
(14 Maret 2010)
HAPSARI
adalah bidadari pinilih,
curahan segala kasih
pun tautan segala rindu
dalam singgasana kalbu sang prabu
sebab kau adalah permaisuri,
yang selalu menghuni ruang hati
dan, bukan sang putri pemanah
yang memilih pergi tanpa desah
pada punggung kuda
ketika malam telah lelah
(12 Maret 2010)
curahan segala kasih
pun tautan segala rindu
dalam singgasana kalbu sang prabu
sebab kau adalah permaisuri,
yang selalu menghuni ruang hati
dan, bukan sang putri pemanah
yang memilih pergi tanpa desah
pada punggung kuda
ketika malam telah lelah
(12 Maret 2010)
Kamis, 11 Maret 2010
sampah, enyah !!!
pada sebuah sudut dunia, yang berjuluk surga katulistiwa. makin banyak manusia menjelma dewa. terlalu sibuk mencatat dosa-dosa sesama. hingga alpa pada dosa-dosa, yang tersimpan pada punggung sendiri. tangan dan kaki sibuk berbuat anarki. mulut sibuk melempar caci maki. pun pembelaan diri, yang tanpa arti. lantas di mana nurani, yang kata kalian dijunjung tinggi ?
kalian sebut diri sebagai kaum cerdik pandai dan berpegang pada religi. sayang, mulut kalian penuh aroma bangkai. sedang otak kalian tersimpan dalam tungkai. ah, kau hanya cerdik menggelitik. pun mengusik mereka, yang telah melangkah berisik sejak pagi buta. demi mulut dan perut keluarga di rumah. ah, kau hanya pandai mengakali mereka yang lugu. dengan segala ilmu yang kalian pelajari dari sekolah tinggi. ah, kalian hanya bersembunyi di balik kedok religi. demi mendapat sebutan sebagai titisan nabi.
kalian sebut diri sebagai agent of change. iya, kalian memang pantas mendapat sebutan itu. ketika kalian ubah nurani jadi anarki. kalian berantas korupsi dengan mencuri di rumah sendiri. kalian bilang sebagai manusia bermoral. sayang, tingkah laku kalian bebal. lantas apa beda kalian dengan mereka, yang sering kalian teriaki di depan gedung tinggi ?
TAK ADA SAMA SEKALI.
argh !!! kalian ini hanya setumpuk sampah, yang masih mengharap rupiah dari rumah. rupiah kiriman orangtua, yang telah bekerja tak kenal lelah. ah, kalian ini hanya setumpuk sampah, yang terserak di halaman rumah. lebih baik kalian segera enyah dari pandang mataku. atau kelak kulebur kalian pada tungku apiku, yang rindu kalian: sampah-sampah terserak di penjuru halaman rumah.
(10 Maret 2010)
kalian sebut diri sebagai kaum cerdik pandai dan berpegang pada religi. sayang, mulut kalian penuh aroma bangkai. sedang otak kalian tersimpan dalam tungkai. ah, kau hanya cerdik menggelitik. pun mengusik mereka, yang telah melangkah berisik sejak pagi buta. demi mulut dan perut keluarga di rumah. ah, kau hanya pandai mengakali mereka yang lugu. dengan segala ilmu yang kalian pelajari dari sekolah tinggi. ah, kalian hanya bersembunyi di balik kedok religi. demi mendapat sebutan sebagai titisan nabi.
kalian sebut diri sebagai agent of change. iya, kalian memang pantas mendapat sebutan itu. ketika kalian ubah nurani jadi anarki. kalian berantas korupsi dengan mencuri di rumah sendiri. kalian bilang sebagai manusia bermoral. sayang, tingkah laku kalian bebal. lantas apa beda kalian dengan mereka, yang sering kalian teriaki di depan gedung tinggi ?
TAK ADA SAMA SEKALI.
argh !!! kalian ini hanya setumpuk sampah, yang masih mengharap rupiah dari rumah. rupiah kiriman orangtua, yang telah bekerja tak kenal lelah. ah, kalian ini hanya setumpuk sampah, yang terserak di halaman rumah. lebih baik kalian segera enyah dari pandang mataku. atau kelak kulebur kalian pada tungku apiku, yang rindu kalian: sampah-sampah terserak di penjuru halaman rumah.
(10 Maret 2010)
Senin, 08 Maret 2010
tentangmu, yang tak terlahir dari rahimku
sebab kau tak pernah lahir dari rahimku,
lantas tak bolehkah aku menyayangimu
sama serupa perempuan yang telah membawamu
selama sembilan bulan dalam rahimnya ?
ah, tahukah kau senyummu
pada setiap pagiku
lebih cerah dari cahaya mentari itu
ah, tahukah kau pelukanmu
pada setiap harimu
lebih menenangkan dari seduhan teh itu
ah, tahukah kau tawamu
pada pelupuk mataku
adalah penawar lelah yang tiada tara
ah, tahukah kau tangismu
pada setiap sakitmu
adalah luka yang mengiris jiwa
ah, tahukah kau segala tentangmu
pada setiap detik waktuku
adalah asupan semangat dalam tarikan nafasku
ah, tahukah kau ?
lelaki terindah dalam hidupku
adalah lelaki kecilku,
yang kelak menyebutku bunda
dengan bibir mungilmu itu
(8 Maret 2010)
lantas tak bolehkah aku menyayangimu
sama serupa perempuan yang telah membawamu
selama sembilan bulan dalam rahimnya ?
ah, tahukah kau senyummu
pada setiap pagiku
lebih cerah dari cahaya mentari itu
ah, tahukah kau pelukanmu
pada setiap harimu
lebih menenangkan dari seduhan teh itu
ah, tahukah kau tawamu
pada pelupuk mataku
adalah penawar lelah yang tiada tara
ah, tahukah kau tangismu
pada setiap sakitmu
adalah luka yang mengiris jiwa
ah, tahukah kau segala tentangmu
pada setiap detik waktuku
adalah asupan semangat dalam tarikan nafasku
ah, tahukah kau ?
lelaki terindah dalam hidupku
adalah lelaki kecilku,
yang kelak menyebutku bunda
dengan bibir mungilmu itu
(8 Maret 2010)
belahan hati sang mentari
telah kubuang segala ngungun
pada putik-putik embun,
yang terbangun pagi ini
bersama benang sari mentari
dalam rekah kelopak-kelopak mimpi
dan, tak hendak kunikmati kembali
segala ngungun, yang pernah kau kirim padaku
bersama kuntum-kuntum mawar biru itu
pun sempat membunuhku pada lingkaran hidup lalu
sebab aku telah bangkit dari mati suri
pada pagi ini
bersama nafas sang mentari
dan, kau tak akan mampu membunuhku kembali
sebab lingkaran hidup ini milik sang mentari,
yang setia mengiringi langkah-langkah kaki
pada putik-putik embun,
yang terbangun pagi ini
bersama benang sari mentari
dalam rekah kelopak-kelopak mimpi
dan, tak hendak kunikmati kembali
segala ngungun, yang pernah kau kirim padaku
bersama kuntum-kuntum mawar biru itu
pun sempat membunuhku pada lingkaran hidup lalu
sebab aku telah bangkit dari mati suri
pada pagi ini
bersama nafas sang mentari
dan, kau tak akan mampu membunuhku kembali
sebab lingkaran hidup ini milik sang mentari,
yang setia mengiringi langkah-langkah kaki
sang kuda pengelana
biarlah jemari angin
membelai batang-batang rambut yang kian dingin
sebab hanya pada sang angin
batang-batang rambutku mampu sampaikan ingin
biarlah butir-butir pasir
menjilati pori-pori kaki yang kian nyinyir
sebab hanya pada butir-butir pasir
pori-pori kakiku mampu sampaikan desir
biarlah aku berlari bebas
pun tanpa batas
sebab aku terlahir sebagai kuda
liar, tanpa sadel dan pelana
hingga kau tidak bisa menunggang begitu rupa
bila kau mau, kau boleh berlari bersamaku
atau sekadar membelai punggungku,
yang begitu tegap dan gagah
pun sekadar membelai suraiku,
yang berkilau dan indah
kecuali satu, kau tidak bisa mengikat sadel dan pelana padaku
sebab aku bukanlah kuda tunggang,
yang akan pulang bila senja datang
sebab aku terlahir sebagai pengelana sabana
pun penjelajah padang-padang stepa,
yang selalu setia menungguku datang, sang kuda pengelana
(7 Maret 2010)
membelai batang-batang rambut yang kian dingin
sebab hanya pada sang angin
batang-batang rambutku mampu sampaikan ingin
biarlah butir-butir pasir
menjilati pori-pori kaki yang kian nyinyir
sebab hanya pada butir-butir pasir
pori-pori kakiku mampu sampaikan desir
biarlah aku berlari bebas
pun tanpa batas
sebab aku terlahir sebagai kuda
liar, tanpa sadel dan pelana
hingga kau tidak bisa menunggang begitu rupa
bila kau mau, kau boleh berlari bersamaku
atau sekadar membelai punggungku,
yang begitu tegap dan gagah
pun sekadar membelai suraiku,
yang berkilau dan indah
kecuali satu, kau tidak bisa mengikat sadel dan pelana padaku
sebab aku bukanlah kuda tunggang,
yang akan pulang bila senja datang
sebab aku terlahir sebagai pengelana sabana
pun penjelajah padang-padang stepa,
yang selalu setia menungguku datang, sang kuda pengelana
(7 Maret 2010)
Sabtu, 06 Maret 2010
megalomania
bila kau pikir punya segala kuasa,
maka semua itu dusta semata
sebab pemilik segala kuasa hanya sang mahakuasa
bila kau pikir punya segala harta,
maka semua itu pun sekadar dusta
sebab pemilik segala harta pun sang mahakaya
kau hanyalah pemegang amanat,
itu pun sementara
sayang, kau memilih berkhianat
pun menjadi pendusta
demi sebuah citra, yang fana
ah, kau memang sakit jiwa
tidak lebih dari sekadar seorang megalomania,
yang lebih pantas tinggal di rumah sakit jiwa
daripada menjadi penghuni istana
(3 Maret 2010)
maka semua itu dusta semata
sebab pemilik segala kuasa hanya sang mahakuasa
bila kau pikir punya segala harta,
maka semua itu pun sekadar dusta
sebab pemilik segala harta pun sang mahakaya
kau hanyalah pemegang amanat,
itu pun sementara
sayang, kau memilih berkhianat
pun menjadi pendusta
demi sebuah citra, yang fana
ah, kau memang sakit jiwa
tidak lebih dari sekadar seorang megalomania,
yang lebih pantas tinggal di rumah sakit jiwa
daripada menjadi penghuni istana
(3 Maret 2010)
Senin, 01 Maret 2010
sebab aku terlahir beda
sebab aku terlahir beda
lantas kau bebas berdusta
akan cinta tersimpan pada hitam mata
sebab aku terlahir beda
bahkan sejak aku amat belia
ketika ayah mengirimku ke candradimuka
untuk belajar memanah dan berkuda
agar kelak aku mampu berlaga dalam bharatayudha
sebab aku terlahir beda
dari mereka yang gemar bersolek di depan kaca
demi memikat hati para ksatria berkuda
sedang aku lebih memilih diam di balik jendela
mencermati ribuan lembar pustaka
sebab aku terlahir beda
ketika aku tumbuh jadi sekuntum bunga
tidak kupilih taman kota untuk tempat bercengkerama
dengan kumbang-kumbang penggoda
sebab aku telah memilih tumbuh di hutan tepian kota
di mana sang baruna bebas membelaiku sesukanya
sebab aku terlahir beda
ketika ludira telah tertumpah sebelum masanya
maka segala cerca menghantam kaca-kaca jendela
hingga hancur berantakan pada lantai-lantai istana
pun membakar murka para penghuninya
sebab aku terlahir beda
ketika mereka sibuk menentukan mahar pengikat cinta
sedang aku malah memilih jadi pertapa
menjauhkan diri dari hingar-bingar dunia
untuk menemukan jalan menuju istana sang mahacinta
dengan membagi cinta pada segala makhluk di dunia
sebab aku terlahir beda
pun menempuh jalan berbeda dari kalian semua
hingga lantas kalian bebas menudingku pendosa
sebab ini adalah pilihan hidup semata
dan, aku bangga telah terlahir beda
sebab aku terlahir beda
dan, telah tuli kedua telinga pada segala cerca
dari kalian, yang selalu berlagak jadi berhala
(2 Maret 2010)
lantas kau bebas berdusta
akan cinta tersimpan pada hitam mata
sebab aku terlahir beda
bahkan sejak aku amat belia
ketika ayah mengirimku ke candradimuka
untuk belajar memanah dan berkuda
agar kelak aku mampu berlaga dalam bharatayudha
sebab aku terlahir beda
dari mereka yang gemar bersolek di depan kaca
demi memikat hati para ksatria berkuda
sedang aku lebih memilih diam di balik jendela
mencermati ribuan lembar pustaka
sebab aku terlahir beda
ketika aku tumbuh jadi sekuntum bunga
tidak kupilih taman kota untuk tempat bercengkerama
dengan kumbang-kumbang penggoda
sebab aku telah memilih tumbuh di hutan tepian kota
di mana sang baruna bebas membelaiku sesukanya
sebab aku terlahir beda
ketika ludira telah tertumpah sebelum masanya
maka segala cerca menghantam kaca-kaca jendela
hingga hancur berantakan pada lantai-lantai istana
pun membakar murka para penghuninya
sebab aku terlahir beda
ketika mereka sibuk menentukan mahar pengikat cinta
sedang aku malah memilih jadi pertapa
menjauhkan diri dari hingar-bingar dunia
untuk menemukan jalan menuju istana sang mahacinta
dengan membagi cinta pada segala makhluk di dunia
sebab aku terlahir beda
pun menempuh jalan berbeda dari kalian semua
hingga lantas kalian bebas menudingku pendosa
sebab ini adalah pilihan hidup semata
dan, aku bangga telah terlahir beda
sebab aku terlahir beda
dan, telah tuli kedua telinga pada segala cerca
dari kalian, yang selalu berlagak jadi berhala
(2 Maret 2010)
Jumat, 26 Februari 2010
sebab aku selembar daun pada belantara hutanmu
mungkin saja kau telah jadi hujan
pada kemarau, yang pernah menghampiriku
atau mungkin kau sekadar menjelma embun,
yang telah mampir pada pagiku
mungkin...
sayang, kau tak pernah sadar
bila hujan yang mampir itu
telah menawanku begitu rupa
dan, kau pun tak pernah sadar
bila embun yang menetes pada keningku
telah jadi luka pada ruang jiwaku
ah, mengapa kau memilihku ?
untuk kau simpan pada ladang hatimu
sebab aku selembar daun,
yang ngungun di antara ribuan daun
pada belantara hutanmu
biarkan saja aku menua
dan, terjatuh pada tanahku
sebab itulah takdirku
(27 Februari 2010)
pada kemarau, yang pernah menghampiriku
atau mungkin kau sekadar menjelma embun,
yang telah mampir pada pagiku
mungkin...
sayang, kau tak pernah sadar
bila hujan yang mampir itu
telah menawanku begitu rupa
dan, kau pun tak pernah sadar
bila embun yang menetes pada keningku
telah jadi luka pada ruang jiwaku
ah, mengapa kau memilihku ?
untuk kau simpan pada ladang hatimu
sebab aku selembar daun,
yang ngungun di antara ribuan daun
pada belantara hutanmu
biarkan saja aku menua
dan, terjatuh pada tanahku
sebab itulah takdirku
(27 Februari 2010)
maaf, bila aku tak setia
bila kau pikir aku setia,
maka kau salah sangka
sebab aku sedang menerbangkan luka
bersama asap-asap dupa,
yang memedihkan mata
pun menoreh luka pada jiwa mereka,
yang gemar memuja cinta
sedang tangan-kaki mereka merajam jiwa
itu sebabnya pernah kukatakan padamu,
yang begitu mencintaiku
hingga buta segalamu
maafkan aku...
(26 Februari 2010)
maka kau salah sangka
sebab aku sedang menerbangkan luka
bersama asap-asap dupa,
yang memedihkan mata
pun menoreh luka pada jiwa mereka,
yang gemar memuja cinta
sedang tangan-kaki mereka merajam jiwa
itu sebabnya pernah kukatakan padamu,
yang begitu mencintaiku
hingga buta segalamu
maafkan aku...
(26 Februari 2010)
Kamis, 25 Februari 2010
melukat hasrat
menerbangkan asa
pada gugusan mega
menghembuskan cinta
dalam helaian kabut
membekukan rindu
dalam butiran hujan
dan, biarlah segalanya
mengalir menuju muara
pada lautan lepas,
tempat segala hasrat
berenang bebas
menuju samudra tanpa batas
(25 Februari 2010)
pada gugusan mega
menghembuskan cinta
dalam helaian kabut
membekukan rindu
dalam butiran hujan
dan, biarlah segalanya
mengalir menuju muara
pada lautan lepas,
tempat segala hasrat
berenang bebas
menuju samudra tanpa batas
(25 Februari 2010)
puja pada pagi buta
terbangun pada pagi buta
terbersit ingatan tentang magenta,
yang terlarang untuk dicinta
sebab ia telah bahagia dalam surga kecilnya
dan, pada pagi buta
kuterbangkan puja bagi magenta,
selalu damai dan bahagia dalam surga kecilnya
pun kuterbangkan puja bagi jiwa pengembara
menujumu, sang mahacinta
(25 Februari 2010)
terbersit ingatan tentang magenta,
yang terlarang untuk dicinta
sebab ia telah bahagia dalam surga kecilnya
dan, pada pagi buta
kuterbangkan puja bagi magenta,
selalu damai dan bahagia dalam surga kecilnya
pun kuterbangkan puja bagi jiwa pengembara
menujumu, sang mahacinta
(25 Februari 2010)
Selasa, 23 Februari 2010
- no title -
you said,
i'm so stupid
waiting for a cupid
passing through into my eyelid
and i said,
you're so dull
playing games with a stupid doll
that you call Beauty Caroll
(23 Februari 2010)
i'm so stupid
waiting for a cupid
passing through into my eyelid
and i said,
you're so dull
playing games with a stupid doll
that you call Beauty Caroll
(23 Februari 2010)
Senin, 22 Februari 2010
perempuan yang berlayar tanpa sauh dan bidadari bersayap hitam
pada butir-butir peluh itu,
tak pernah kau simpan keluh
meski telah sering lelakimu selingkuh
di ranjang-ranjang penuh lenguh
dan, tetap kau melangkah angkuh
tak pernah sedikit pun jiwamu mengaduh
sedang tubuhmu terus berlayar tanpa sauh
mengarungi gelombang yang teguh
menggoyang perahumu dengan begitu riuh
duh, mengapa kau tetap begitu teguh
menyimpan lelaki yang gemar selingkuh
pada sudut hatimu, tanpa sedikit pun keluh
aaarrrggghhh !!!
lebih baik aku pergi menjauh atau lelaki itu kubunuh
dengan ujung-ujung jemariku yang kian melepuh
sebab mereka sedang haus ludira lelaki peselingkuh
(22 Februari 2010)
tak pernah kau simpan keluh
meski telah sering lelakimu selingkuh
di ranjang-ranjang penuh lenguh
dan, tetap kau melangkah angkuh
tak pernah sedikit pun jiwamu mengaduh
sedang tubuhmu terus berlayar tanpa sauh
mengarungi gelombang yang teguh
menggoyang perahumu dengan begitu riuh
duh, mengapa kau tetap begitu teguh
menyimpan lelaki yang gemar selingkuh
pada sudut hatimu, tanpa sedikit pun keluh
aaarrrggghhh !!!
lebih baik aku pergi menjauh atau lelaki itu kubunuh
dengan ujung-ujung jemariku yang kian melepuh
sebab mereka sedang haus ludira lelaki peselingkuh
(22 Februari 2010)
Minggu, 21 Februari 2010
biarkan aku terbang, sebab aku terlahir sebagai kunang-kunang
jalinan benang,
yang mengikat ruang sayang
di antara kita telah kupotong tadi siang
dan, kupakai menerbangkan layang-layang
di tanah lapang, tempat kita bertemu pandang
sebab telah kubuang segala kenang
tentang gelap jalan panjang,
yang membayang di belakang
sebab langkah-langkah kaki ini
milik masa depan, yang teramat sayang
bila dibuang tanpa berjuang
dan, kau tak perlu lagi membuang
segala rayu tentang sayang
sebab aku bukan lagi remaja belia,
yang masih percaya dusta bersemir cinta
maafkan aku, Sayang...
biarkan aku kembali bebas terbang
sebab aku terlahir sebagai kunang-kunang
dan, takdirku adalah memberi terang
bagi mereka yang merindu pulang
(22 Februari 2010)
yang mengikat ruang sayang
di antara kita telah kupotong tadi siang
dan, kupakai menerbangkan layang-layang
di tanah lapang, tempat kita bertemu pandang
sebab telah kubuang segala kenang
tentang gelap jalan panjang,
yang membayang di belakang
sebab langkah-langkah kaki ini
milik masa depan, yang teramat sayang
bila dibuang tanpa berjuang
dan, kau tak perlu lagi membuang
segala rayu tentang sayang
sebab aku bukan lagi remaja belia,
yang masih percaya dusta bersemir cinta
maafkan aku, Sayang...
biarkan aku kembali bebas terbang
sebab aku terlahir sebagai kunang-kunang
dan, takdirku adalah memberi terang
bagi mereka yang merindu pulang
(22 Februari 2010)
doaku pada janji sucimu
janji suci telah terucap pagi ini
di antara kau dan sang bidadari
sedang aku hanya mampu merapal doa pada sunyi
sebab langkah-langkah kaki
telah memilih pergi
darimu, lelaki yang sempat menghuni hati
sebagai alunan melodi
pun elegi
semoga bahagia untuk kalian berdua,
pasangan bahagia penghuni surga
(21 Februari 2010)
di antara kau dan sang bidadari
sedang aku hanya mampu merapal doa pada sunyi
sebab langkah-langkah kaki
telah memilih pergi
darimu, lelaki yang sempat menghuni hati
sebagai alunan melodi
pun elegi
semoga bahagia untuk kalian berdua,
pasangan bahagia penghuni surga
(21 Februari 2010)
tiga lelaki di luar jendela
1
tentang satu dari si kembar,
yang gemar mengumbar
kesenangan masa remaja
meski usiamu tak lagi belia
masih tentang satu dari si kembar,
yang masih gemar hura-hura
tercoret dari catatan jiwa
sebab kau belum pantas jadi tambatan jiwa
2
tentang si biru,
yang selalu kurindu
dari balik jendela kelasku
di balik kacamatamu
masih tentang si biru,
yang masih kurindu
meski waktu telah lama berlalu
sayang, hatimu tak merindu padaku
3
tentang si magenta,
pun terlihat dari balik jendela
yang gemar hura-hura
dan jadi pujaan banyak wanita
masih tentang si magenta,
yang masih menyimpan pesona
pada senyum dan tatap mata
sayang, jiwamu telah tertambat padanya
dan, tiga lelaki di luar jendela,
yang punya cerita istimewa
dalam sebuah bingkai jiwa
kini, tertinggal cerita semata
sebab aku telah menjelma pupa,
yang tergantung di ujung dahan pohon puja
(21 Februari 2010)
tentang satu dari si kembar,
yang gemar mengumbar
kesenangan masa remaja
meski usiamu tak lagi belia
masih tentang satu dari si kembar,
yang masih gemar hura-hura
tercoret dari catatan jiwa
sebab kau belum pantas jadi tambatan jiwa
2
tentang si biru,
yang selalu kurindu
dari balik jendela kelasku
di balik kacamatamu
masih tentang si biru,
yang masih kurindu
meski waktu telah lama berlalu
sayang, hatimu tak merindu padaku
3
tentang si magenta,
pun terlihat dari balik jendela
yang gemar hura-hura
dan jadi pujaan banyak wanita
masih tentang si magenta,
yang masih menyimpan pesona
pada senyum dan tatap mata
sayang, jiwamu telah tertambat padanya
dan, tiga lelaki di luar jendela,
yang punya cerita istimewa
dalam sebuah bingkai jiwa
kini, tertinggal cerita semata
sebab aku telah menjelma pupa,
yang tergantung di ujung dahan pohon puja
(21 Februari 2010)
sisa mimpi buruk semalam
mentari pagi menjenguk malu-malu
pada jendela kamarku
sedang aku masih saja termangu
mencoba menghalau segala galau
tentang mimpi buruk itu,
yang mampir pada akhir lelapku
ah, mimpi buruk sialan !!!
tentang sisa pertengkaran semalam
padamu yang meragu
atas rindu yang menjelma belenggu
pada sekujur jiwaku
hingga langkah-langkah kaki
berkeras melangkah pergi
menyusuri jalan sunyi
untuk bertemu denganmu, belahan hati
dan, bila kau tetap tak peduli
pun masih saja memaki
padaku yang merindumu, belahan hati
lebih baik aku menjauh pergi
darimu, yang gemar ingkar janji
atas sebuah temu
sebab aku tak hendak mengiba padamu
selamat tinggal, belahan hati
semoga kita tak bertemu kembali
pada kehidupan ini atau nanti
sebab aku tak ingin lagi peduli
pada segala rasa ini
(21 Februari 2010)
pada jendela kamarku
sedang aku masih saja termangu
mencoba menghalau segala galau
tentang mimpi buruk itu,
yang mampir pada akhir lelapku
ah, mimpi buruk sialan !!!
tentang sisa pertengkaran semalam
padamu yang meragu
atas rindu yang menjelma belenggu
pada sekujur jiwaku
hingga langkah-langkah kaki
berkeras melangkah pergi
menyusuri jalan sunyi
untuk bertemu denganmu, belahan hati
dan, bila kau tetap tak peduli
pun masih saja memaki
padaku yang merindumu, belahan hati
lebih baik aku menjauh pergi
darimu, yang gemar ingkar janji
atas sebuah temu
sebab aku tak hendak mengiba padamu
selamat tinggal, belahan hati
semoga kita tak bertemu kembali
pada kehidupan ini atau nanti
sebab aku tak ingin lagi peduli
pada segala rasa ini
(21 Februari 2010)
Sabtu, 20 Februari 2010
kukirim madu sebagai balasan sembilumu
memulai pagi dengan doa segenap hati
tentangmu yang melontar caci
padaku, yang serupa tukang cetak roti
terucap dari bibirmu yang berduri
sebab aku tak ingin kembali
melontar caci padamu, yang aku kasihi
sebab kau adalah saudara bagiku
dalam menanam harapan
pun menuai impian
pada tahun-tahun mendatang
di tanah penuh belukar itu
sebab aku lebih suka mengirim doa
dengan segenap jiwa bagimu atau kalian,
yang telah mengirim duri atau caci
pada selubung hati
semoga jalanmu indah, saudaraku
(20 Februari 2010)
tentangmu yang melontar caci
padaku, yang serupa tukang cetak roti
terucap dari bibirmu yang berduri
sebab aku tak ingin kembali
melontar caci padamu, yang aku kasihi
sebab kau adalah saudara bagiku
dalam menanam harapan
pun menuai impian
pada tahun-tahun mendatang
di tanah penuh belukar itu
sebab aku lebih suka mengirim doa
dengan segenap jiwa bagimu atau kalian,
yang telah mengirim duri atau caci
pada selubung hati
semoga jalanmu indah, saudaraku
(20 Februari 2010)
Jumat, 19 Februari 2010
ukiran janji pada batu-batu candi
batu-batu candi
tidak pernah lelah bersaksi
akan sebuah janji suci
antara dua hati
pun tentang sebuah ingkar janji
atas sebuah ikatan suci
dan, batu-batu candi
tetap setia memagari janji
akan sebuah pilihan hati
: sendiri dalam sunyi
(19 Februari 2010)
tidak pernah lelah bersaksi
akan sebuah janji suci
antara dua hati
pun tentang sebuah ingkar janji
atas sebuah ikatan suci
dan, batu-batu candi
tetap setia memagari janji
akan sebuah pilihan hati
: sendiri dalam sunyi
(19 Februari 2010)
pesan dari berlin
sebelum langkah kaki
kau ayun pagi ini,
izinkan bibirku
mengecup keningmu
serupa tetes embun
mampir pada kening daun
di halaman rumahmu
pun izinkan lenganku
memeluk tubuhmu
serupa mentari
menghangatkan pagi
lewat jendela kamarmu
sebab akulah lelakimu,
yang tak pernah membiarkanmu
pergi dari singgasana hatiku
(19 Februari 2010)
kau ayun pagi ini,
izinkan bibirku
mengecup keningmu
serupa tetes embun
mampir pada kening daun
di halaman rumahmu
pun izinkan lenganku
memeluk tubuhmu
serupa mentari
menghangatkan pagi
lewat jendela kamarmu
sebab akulah lelakimu,
yang tak pernah membiarkanmu
pergi dari singgasana hatiku
(19 Februari 2010)
Kamis, 18 Februari 2010
nostalgia lelaki magenta
menghirup malam romansa
dalam aroma bunga dan dupa
sembari menatap hangat tatap mata
pun senyum penuh pesona
darimu, lelaki magenta
dan, satu sudut hati bicara
duh, tatap matamu itu
serupa pemantik bagi lentera jiwa,
yang sempat padam pada badai lalu
sedang lengkung senyummu itu
serupa rintik hujan bagi ladang jiwa,
yang terserang kemarau pada musim lalu
sedang sudut hati yang lain bicara,
ah, ini sekadar nostalgia
sebab ia telah terikat janji suci
dengan seorang bidadari hati,
yang setia menunggu hadirmu
lelaki magenta, sang belahan jiwa
dan, aku memilih beranjak pergi
sembari berharap kau tak pernah tahu
bila ada sebentuk hati pernah memujamu
pada masa mudamu
sebab aku telah bahagia
dengan melihatmu bahagia
dalam surga kecilmu, lelaki magenta
(18 Februari 2010)
dalam aroma bunga dan dupa
sembari menatap hangat tatap mata
pun senyum penuh pesona
darimu, lelaki magenta
dan, satu sudut hati bicara
duh, tatap matamu itu
serupa pemantik bagi lentera jiwa,
yang sempat padam pada badai lalu
sedang lengkung senyummu itu
serupa rintik hujan bagi ladang jiwa,
yang terserang kemarau pada musim lalu
sedang sudut hati yang lain bicara,
ah, ini sekadar nostalgia
sebab ia telah terikat janji suci
dengan seorang bidadari hati,
yang setia menunggu hadirmu
lelaki magenta, sang belahan jiwa
dan, aku memilih beranjak pergi
sembari berharap kau tak pernah tahu
bila ada sebentuk hati pernah memujamu
pada masa mudamu
sebab aku telah bahagia
dengan melihatmu bahagia
dalam surga kecilmu, lelaki magenta
(18 Februari 2010)
hujan rindu di kotamu
telah kuterbangkan rinduku
pada awan-awan kelabu itu,
biarlah angin membawanya berlalu
dan, menurunkannya sebagai hujan di kotamu
(18 Februari 2010)
pada awan-awan kelabu itu,
biarlah angin membawanya berlalu
dan, menurunkannya sebagai hujan di kotamu
(18 Februari 2010)
rindu bertaut kabut
berteman dingin
menerbangkan ingin
dalam hembusan angin
menanam kalut
di antara akar-akar rumput
dan lindap kabut
ah, mengapa kau masih saja takut ?
mengungkap rindu yang tak henti bertaut
padaku, yang membuat hatimu tersundut
(17 Februari 2010)
menerbangkan ingin
dalam hembusan angin
menanam kalut
di antara akar-akar rumput
dan lindap kabut
ah, mengapa kau masih saja takut ?
mengungkap rindu yang tak henti bertaut
padaku, yang membuat hatimu tersundut
(17 Februari 2010)
penjara cinta (2)
telah begitu banyak pintu tanda,
yang tidak lagi mampu aku buka
dengan segala kunci semiotika
dan, aku pun tersesat dalam rimba,
yang kau sebut sebagai cinta
sedang aku menyebutnya sebagai penjara
sebab kau telah mendera begitu rupa
sebuah jiwa yang terluka
dengan luka-luka yang lainnya
bebaskan aku segera
dari penjara, yang kau sebut cinta
sebab aku masih penuh luka
sedang kau tak mampu menyembuhkannya
(16 Februari 2010)
yang tidak lagi mampu aku buka
dengan segala kunci semiotika
dan, aku pun tersesat dalam rimba,
yang kau sebut sebagai cinta
sedang aku menyebutnya sebagai penjara
sebab kau telah mendera begitu rupa
sebuah jiwa yang terluka
dengan luka-luka yang lainnya
bebaskan aku segera
dari penjara, yang kau sebut cinta
sebab aku masih penuh luka
sedang kau tak mampu menyembuhkannya
(16 Februari 2010)
sebab aku terlahir bebas
sangkar emas,
yang kau hias begitu rupa
tak akan pernah membuatku lemas
pun tersungkur di bawah telapak kakimu
hingga dunia lelah berlari
pada akhir waktu nanti
sebab aku terlahir bebas,
terbang ke mana saja kusuka
hingga waktu itu tiba
sebuah sarang nyaman,
yang terpintal dari benang-benang sayang
menungguku di Surga
(16 Februari 2010)
yang kau hias begitu rupa
tak akan pernah membuatku lemas
pun tersungkur di bawah telapak kakimu
hingga dunia lelah berlari
pada akhir waktu nanti
sebab aku terlahir bebas,
terbang ke mana saja kusuka
hingga waktu itu tiba
sebuah sarang nyaman,
yang terpintal dari benang-benang sayang
menungguku di Surga
(16 Februari 2010)
cinta idealis atau realis ?
sebab aku sedang terjebak
dalam sebuah kotak,
yang bertulis dilema pada sisinya
ketika kau tanya padaku
tentang sauh pada kapalku
aku atau dia ? begitu tanyamu
ah, ternyata simpang itu
benar-benar mengurungku
dalam lingkaran semu
dan, aku harus menentukan langkahku
menuju padamu, cinta idealis itu
atau menuju padanya, cinta realis itu
seperti pernah kita bincang-bincang
pada siang terakhir itu, Sayang
memang tak akan pernah sama
cinta idealis atau cinta realis
hingga aku memilih jalan lain, simpang ketiga
menjelma pupa dan pertapa
hingga tiba waktuku
menjelma kupu-kupu
dan terbang pada langitmu, kekasih-kekasihku
(15 Februari 2010)
dalam sebuah kotak,
yang bertulis dilema pada sisinya
ketika kau tanya padaku
tentang sauh pada kapalku
aku atau dia ? begitu tanyamu
ah, ternyata simpang itu
benar-benar mengurungku
dalam lingkaran semu
dan, aku harus menentukan langkahku
menuju padamu, cinta idealis itu
atau menuju padanya, cinta realis itu
seperti pernah kita bincang-bincang
pada siang terakhir itu, Sayang
memang tak akan pernah sama
cinta idealis atau cinta realis
hingga aku memilih jalan lain, simpang ketiga
menjelma pupa dan pertapa
hingga tiba waktuku
menjelma kupu-kupu
dan terbang pada langitmu, kekasih-kekasihku
(15 Februari 2010)
suara itu, pengantar tidurku...
suara itu,
yang selalu mengantarku
rebah pada ranjangku
pun mengantarku
melupakan segala penatku
suara itu,
yang telah memanjaku
pun mengubah segalaku
serupa tetes-tetes embun
menyapa pada setiap pagiku
suara itu,
semoga tak sekadar nyanyi palsu
yang meninabobokan lantas berlalu
meninggalkan mimpi buruk serupa kisah-kisah lalu
ah, suara itu...
menjelma candu di telingaku
(15 Februari 2010)
yang selalu mengantarku
rebah pada ranjangku
pun mengantarku
melupakan segala penatku
suara itu,
yang telah memanjaku
pun mengubah segalaku
serupa tetes-tetes embun
menyapa pada setiap pagiku
suara itu,
semoga tak sekadar nyanyi palsu
yang meninabobokan lantas berlalu
meninggalkan mimpi buruk serupa kisah-kisah lalu
ah, suara itu...
menjelma candu di telingaku
(15 Februari 2010)
Minggu, 14 Februari 2010
sebab aku adalah perawan suci
sebab aku adalah perawan suci
dengan wangi kasturi,
yang menarik hidung lelaki-lelaki
pun mengikuti langkah-langkah kaki
pada malam-malam sunyi
sebab aku adalah perawan suci
dengan segala caci maki,
yang keluar dari mulut istri-istri
pun menyumpahi diri tiada henti
di bawah terik mentari
sebab aku adalah perawan suci
dengan segala sanjung puji,
yang keluar dari mulut bayi-bayi
tak berdosa pun telah dibuang
pada pinggir-pinggir kali
sebab aku adalah perawan suci,
yang tak pernah peduli
pada segala caci maki pun sanjung puji
sebab jalan ini adalah bekal menuju abadi
pun bertemu dengan kekasih sejati
di altar Sang Mahasuci
(14 Februari 2010)
dengan wangi kasturi,
yang menarik hidung lelaki-lelaki
pun mengikuti langkah-langkah kaki
pada malam-malam sunyi
sebab aku adalah perawan suci
dengan segala caci maki,
yang keluar dari mulut istri-istri
pun menyumpahi diri tiada henti
di bawah terik mentari
sebab aku adalah perawan suci
dengan segala sanjung puji,
yang keluar dari mulut bayi-bayi
tak berdosa pun telah dibuang
pada pinggir-pinggir kali
sebab aku adalah perawan suci,
yang tak pernah peduli
pada segala caci maki pun sanjung puji
sebab jalan ini adalah bekal menuju abadi
pun bertemu dengan kekasih sejati
di altar Sang Mahasuci
(14 Februari 2010)
pada malam merah saga
ketika malam menjelma merah saga,
maka tiba waktu untuk terjaga
dan menyalakan beberapa batang dupa
dari merah lilin yang telah menyala sejak senja
sembari menerbangkan doa-doa
lewat asap-asap dupa
hingga mentari kembali terjaga
pada pagi buta
semoga kau bahagia di nirwana, nenek tercinta
(14 Februari 2010)
maka tiba waktu untuk terjaga
dan menyalakan beberapa batang dupa
dari merah lilin yang telah menyala sejak senja
sembari menerbangkan doa-doa
lewat asap-asap dupa
hingga mentari kembali terjaga
pada pagi buta
semoga kau bahagia di nirwana, nenek tercinta
(14 Februari 2010)
Sabtu, 13 Februari 2010
sebab cinta adalah cinta
sebab cinta adalah cinta,
yang seharusnya lahir tanpa karena
bagi segala makhluk di dunia
sebab cinta adalah cinta,
yang tak lekang masa pun usia
serupa ombak setia membasuh karang
sebab cinta adalah cinta,
yang tak perlu menunggu waktu
untuk melukisnya indah pada langitmu
sebab cinta adalah cinta,
yang tak perlu menunggu februari
untuk mengukirnya pada relung hati
sebab cinta adalah cinta,
yang selalu setia berdua bersanding luka
serupa sekeping uang logam dengan dua sisinya
sebab cinta adalah cinta,
yang mampu menorehkan segala luka
pun mampu menyembuhkan segala luka
sebab cinta adalah cinta,
yang selalu hadir dalam berbagai wujud dan rupa
serupa energi yang tak pernah musnah di setiap jiwa
sebab cinta adalah cinta,
ketika aku mencintaimu tanpa karena
dan kau pun mencintaiku tanpa karena
...selamanya
(14 Februari 2010)
yang seharusnya lahir tanpa karena
bagi segala makhluk di dunia
sebab cinta adalah cinta,
yang tak lekang masa pun usia
serupa ombak setia membasuh karang
sebab cinta adalah cinta,
yang tak perlu menunggu waktu
untuk melukisnya indah pada langitmu
sebab cinta adalah cinta,
yang tak perlu menunggu februari
untuk mengukirnya pada relung hati
sebab cinta adalah cinta,
yang selalu setia berdua bersanding luka
serupa sekeping uang logam dengan dua sisinya
sebab cinta adalah cinta,
yang mampu menorehkan segala luka
pun mampu menyembuhkan segala luka
sebab cinta adalah cinta,
yang selalu hadir dalam berbagai wujud dan rupa
serupa energi yang tak pernah musnah di setiap jiwa
sebab cinta adalah cinta,
ketika aku mencintaimu tanpa karena
dan kau pun mencintaiku tanpa karena
...selamanya
(14 Februari 2010)
cinta sejati lelaki penghuni puri
di balik pagar sebuah puri,
kau tak henti berlari
mencari cinta sejati
bersama empat peri,
yang setia mengiringi
ke mana langkahmu pergi
ah, mengapa kau masih mencari ?
pilih saja salah satu peri
sebagai belahan hati
sebab salah satu peri itu
sedang jatuh hati padamu
dan, kau masih saja berlari
mencari sang belahan hati,
yang pernah kau tinggal pergi
di antara rumpun mawar penuh duri
hingga pada sebuah pagi,
kau bertemu dengannya belahan hati
-sang putri- yang telah lama kau cari
dalam lari dan doa tanpa henti
sebab hanya pada -sang putri-
kau labuhkan segala cinta sejati,
yang kau miliki dalam relung hati
ah, benarkah itu cinta sejati ?
bila kau masih saja berdiam diri,
membiarkan -sang putri- sendiri
terkurung dalam sebuah kastil tinggi,
yang dikelilingi kawat berduri
bila -sang putri- memang cinta sejati,
yang telah lama kau cari selama ini
maka lekas bawa -sang putri- pergi
dari kurungan penuh ranjau berduri
sebelum -sang putri- menghilang kembali
serupa mimpi pergi ketika pagi menghampiri
(13 Februari 2010)
kau tak henti berlari
mencari cinta sejati
bersama empat peri,
yang setia mengiringi
ke mana langkahmu pergi
ah, mengapa kau masih mencari ?
pilih saja salah satu peri
sebagai belahan hati
sebab salah satu peri itu
sedang jatuh hati padamu
dan, kau masih saja berlari
mencari sang belahan hati,
yang pernah kau tinggal pergi
di antara rumpun mawar penuh duri
hingga pada sebuah pagi,
kau bertemu dengannya belahan hati
-sang putri- yang telah lama kau cari
dalam lari dan doa tanpa henti
sebab hanya pada -sang putri-
kau labuhkan segala cinta sejati,
yang kau miliki dalam relung hati
ah, benarkah itu cinta sejati ?
bila kau masih saja berdiam diri,
membiarkan -sang putri- sendiri
terkurung dalam sebuah kastil tinggi,
yang dikelilingi kawat berduri
bila -sang putri- memang cinta sejati,
yang telah lama kau cari selama ini
maka lekas bawa -sang putri- pergi
dari kurungan penuh ranjau berduri
sebelum -sang putri- menghilang kembali
serupa mimpi pergi ketika pagi menghampiri
(13 Februari 2010)
lampion merah di langit-langit rumah
senja ini, segala penjuru mulai berbenah. jemari menari cekatan membersihkan setiap sudut rumah. pun membuang segala tumpukan sampah. dan, mulai memerahkan rumah, tempat meredakan segala resah. pun tempat mengumpulkan segala remah. ah, ritual yang indah. semoga keberuntungan dan keselamatan tetap bersama kita, begitulah desah perempuan berpipi merah.
sepasang nenas merah telah tergantung di depan pintu rumah. sepasang lilin merah dan dupa telah menyala di atas altar ditemani beberapa sajian, menunggu sepasang naga menghampiri dan memberkati seluruh penghuni rumah, esok pagi. ketika mentari menyapa diri, membangunkan diri dari segala mimpi. dan, mulai melangkahkan kaki dan menarikan jemari demi mewujudkan sebuah mimpi.
hingga pada senja berikutnya, saat yang tepat melihat tarian naga pada langit senja yang memerah. dan, dua belas bintang mengikuti di belakangnya. pertanda musim itu akan segera tiba, di mana segala kebenaran dan kejujuran segera berhadapan dengan segala kelicikan dan kebohongan. dan, kita menunggu sang pemenang sejati di bawah pohon plum yang amat tua.
(13 Februari 2010)
sepasang nenas merah telah tergantung di depan pintu rumah. sepasang lilin merah dan dupa telah menyala di atas altar ditemani beberapa sajian, menunggu sepasang naga menghampiri dan memberkati seluruh penghuni rumah, esok pagi. ketika mentari menyapa diri, membangunkan diri dari segala mimpi. dan, mulai melangkahkan kaki dan menarikan jemari demi mewujudkan sebuah mimpi.
hingga pada senja berikutnya, saat yang tepat melihat tarian naga pada langit senja yang memerah. dan, dua belas bintang mengikuti di belakangnya. pertanda musim itu akan segera tiba, di mana segala kebenaran dan kejujuran segera berhadapan dengan segala kelicikan dan kebohongan. dan, kita menunggu sang pemenang sejati di bawah pohon plum yang amat tua.
(13 Februari 2010)
patri janji
ketika janjimu telah kau patri
pada dinding-dinding hati
serupa relief pada batu-batu candi
maka lumut-lumut pun tak mampu menutupi
sebab aku terlahir sebagai Savitri,
yang setia menguntit Yamadipati
hingga nyawa Setiawan, suamiku kembali
dan mengiringi langkah-langkah kaki
untuk kembali menanam darma di muka bumi
(13 Februari 2010)
pada dinding-dinding hati
serupa relief pada batu-batu candi
maka lumut-lumut pun tak mampu menutupi
sebab aku terlahir sebagai Savitri,
yang setia menguntit Yamadipati
hingga nyawa Setiawan, suamiku kembali
dan mengiringi langkah-langkah kaki
untuk kembali menanam darma di muka bumi
(13 Februari 2010)
Selasa, 09 Februari 2010
senyum purnama
semalam, ketika aku terjaga
di luar jendela, bulan sedang purnama
dan, senyum purnama itu membawaku
teringat pada senyum terindahmu
ah, adakah kau sadar itu ?
senyum itu telah mencuri hatiku
(9 Februari 2010)
di luar jendela, bulan sedang purnama
dan, senyum purnama itu membawaku
teringat pada senyum terindahmu
ah, adakah kau sadar itu ?
senyum itu telah mencuri hatiku
(9 Februari 2010)
perpisahan di taman kota
senja tadi, di taman kota
kita berbincang berdua saja
berteman rinai, yang tak jua reda
kau bertanya tentang kisah kita,
yang tak jua bertemu sempurna
hingga waktu merantau tiba di depan mata
ah, kita ini memang sepasang
orang biasa di antara orang-orang tidak biasa
ya, kita memang terlalu biasa
menghadapi mereka yang tidak biasa
memperlakukan norma serupa dewa
ah, kita ini memang sepasang
orang tidak biasa di antara orang-orang biasa
ya, kita memang terlalu tidak biasa
menghadapi mereka yang biasa
menuhankan dunia sebagai segala
lantas bagaimana dengan kisah kita ?
sedang di luar sana, mereka menunggu akhir bahagia
di akhir senja, di taman kota
kita telah sepakat berkata pada mereka
bila akhir bahagia yang kalian pinta
maaf, akhir itu tak mampu jadi nyata
sebab akhir bahagia itu terlalu biasa, pasaran
serupa akhir dongeng-dongeng pengantar tidur,
yang sering dijejalkan pada masa kanak-kanak dulu
dan, kita berpisah setelahnya, di gerbang taman kota
kau pergi ke arah barat, sedang aku ke arah timur
sembari melihat langit, melihat Tuhan yang tak pernah tidur
tersenyum pada kita dari singgasana-Nya
(9 Februari 2010)
kita berbincang berdua saja
berteman rinai, yang tak jua reda
kau bertanya tentang kisah kita,
yang tak jua bertemu sempurna
hingga waktu merantau tiba di depan mata
ah, kita ini memang sepasang
orang biasa di antara orang-orang tidak biasa
ya, kita memang terlalu biasa
menghadapi mereka yang tidak biasa
memperlakukan norma serupa dewa
ah, kita ini memang sepasang
orang tidak biasa di antara orang-orang biasa
ya, kita memang terlalu tidak biasa
menghadapi mereka yang biasa
menuhankan dunia sebagai segala
lantas bagaimana dengan kisah kita ?
sedang di luar sana, mereka menunggu akhir bahagia
di akhir senja, di taman kota
kita telah sepakat berkata pada mereka
bila akhir bahagia yang kalian pinta
maaf, akhir itu tak mampu jadi nyata
sebab akhir bahagia itu terlalu biasa, pasaran
serupa akhir dongeng-dongeng pengantar tidur,
yang sering dijejalkan pada masa kanak-kanak dulu
dan, kita berpisah setelahnya, di gerbang taman kota
kau pergi ke arah barat, sedang aku ke arah timur
sembari melihat langit, melihat Tuhan yang tak pernah tidur
tersenyum pada kita dari singgasana-Nya
(9 Februari 2010)
perempuan lugu, si pencuri hati
perempuan lugu,
yang tak pernah memoles gincu
pada bibir tipisnya yang merah dadu
perempuan lugu,
yang selalu menunduk di hadapanmu
pun tak punya nyali memandang matamu
perempuan lugu,
yang lebih gemar membaca buku
di antara riuh mulut teman-temanmu
perempuan lugu,
yang diam-diam telah mencuri hatimu
pun membuatmu menunggu dalam ribuan malam sunyimu
perempuan lugu,
yang hadir kembali di hadapanmu
melukis senyum pelangi pada lengkung bibirmu
perempuan lugu,
siapa gerangan dirimu ?
begitulah tanyamu, waktu itu
(8 Februari 2010)
yang tak pernah memoles gincu
pada bibir tipisnya yang merah dadu
perempuan lugu,
yang selalu menunduk di hadapanmu
pun tak punya nyali memandang matamu
perempuan lugu,
yang lebih gemar membaca buku
di antara riuh mulut teman-temanmu
perempuan lugu,
yang diam-diam telah mencuri hatimu
pun membuatmu menunggu dalam ribuan malam sunyimu
perempuan lugu,
yang hadir kembali di hadapanmu
melukis senyum pelangi pada lengkung bibirmu
perempuan lugu,
siapa gerangan dirimu ?
begitulah tanyamu, waktu itu
(8 Februari 2010)
melodi senja
masihkah tanya itu menjelma dalam ruang hatimu. tentang ke mana hati ini tertuju. bila segala rahasia telah kau kunyah seluruhnya. hingga pahit dan getir terasa pada pangkal lidahmu. sebab rahasia itu bukanlah madu, melainkan empedu, yang telah tersimpan sejak dua belas tahun lalu.
masihkah tanya itu perlu. bila segala airmata telah tertumpah di dadamu. tentang jejak-jejak kelabu, yang setia mengikuti langkah-langkah kakiku.
masihkah tanya itu ingin mencari jawab. tentang senyum sedingin salju, yang pernah kau pandang pada masa lalu. sebab segala kisah telah terkurung dalam hatimu, yang begitu pengasih. menunggu segala murung melarung pada tubuhmu, yang serupa bendung.
masihkah janji itu tetap saja kau tunggu terucap dari bibirku, yang telah membiru. sedang hatiku telah ada padamu. masihkah kau tak tahu tentang segalaku, kekasihku ?
sebab semalam, telah banyak kukisahkan padamu. tentang aku, yang telah menghuni kerajaan hatimu. meski tanpa kau sadari. pun segala kebiasaan burukku, agar kau menjauh dariku. sayang, kau tetap membayangku. serupa bayang-bayang yang setia menguntit langkahku.
dan, telah kau katakan padaku tentang segala rasamu. hingga kau bilang padaku bahwa bukan kebiasaan burukku, yang membuatmu terpuruk. melainkan bila aku melarangmu mencintaiku. begitulah eja bibirmu semalam padaku.
ah, betapa agung cintamu padaku. sedang aku tak mampu beri cinta yang sama padamu. sebab aku masih harus berdamai dengan ruang hatiku, yang masih saja menggemakan bara luka. sebab selama ini, aku selalu berkata pada hatiku untuk tak pernah berharap lebih pada kisah-kisah merah jambu itu. kisah-kisah yang telah melemahkan langkah-langkah kakiku. pun menghancurkan dinding-dinding hatiku.
dan, percakapan kita pada senja tadi telah menumbuhkan biji bunga matahari di ladang hatiku.
(7 Februari 2010)
masihkah tanya itu perlu. bila segala airmata telah tertumpah di dadamu. tentang jejak-jejak kelabu, yang setia mengikuti langkah-langkah kakiku.
masihkah tanya itu ingin mencari jawab. tentang senyum sedingin salju, yang pernah kau pandang pada masa lalu. sebab segala kisah telah terkurung dalam hatimu, yang begitu pengasih. menunggu segala murung melarung pada tubuhmu, yang serupa bendung.
masihkah janji itu tetap saja kau tunggu terucap dari bibirku, yang telah membiru. sedang hatiku telah ada padamu. masihkah kau tak tahu tentang segalaku, kekasihku ?
sebab semalam, telah banyak kukisahkan padamu. tentang aku, yang telah menghuni kerajaan hatimu. meski tanpa kau sadari. pun segala kebiasaan burukku, agar kau menjauh dariku. sayang, kau tetap membayangku. serupa bayang-bayang yang setia menguntit langkahku.
dan, telah kau katakan padaku tentang segala rasamu. hingga kau bilang padaku bahwa bukan kebiasaan burukku, yang membuatmu terpuruk. melainkan bila aku melarangmu mencintaiku. begitulah eja bibirmu semalam padaku.
ah, betapa agung cintamu padaku. sedang aku tak mampu beri cinta yang sama padamu. sebab aku masih harus berdamai dengan ruang hatiku, yang masih saja menggemakan bara luka. sebab selama ini, aku selalu berkata pada hatiku untuk tak pernah berharap lebih pada kisah-kisah merah jambu itu. kisah-kisah yang telah melemahkan langkah-langkah kakiku. pun menghancurkan dinding-dinding hatiku.
dan, percakapan kita pada senja tadi telah menumbuhkan biji bunga matahari di ladang hatiku.
(7 Februari 2010)
perpisahan dalam selembar sasirangan
kau ulurkan jabat persahabatan. dan, aku tulus menerima dengan kedua tangan. kau tanyakan segala tentangku. dan, aku jawab tanpa ragu. hingga kau menusuk punggungku dengan selembar catatan penuh makian, yang kau bungkus dengan senyuman. ah, persahabatan macam apa yang kau tawarkan padaku. sebab jawabmu pun tak pernah kutelan. hanya selembar sasirangan tiba di beranda pada siangku, yang mungkin kau kirim sebagai tanda perpisahan.
(7 Februari 2010)
(7 Februari 2010)
Sabtu, 06 Februari 2010
puja cinta
setangkai bunga puja
melekat pada daun telinga
serupa lingkaran cinta
setia menghuni jiwa
(6 Februari 2010)
melekat pada daun telinga
serupa lingkaran cinta
setia menghuni jiwa
(6 Februari 2010)
Kamis, 04 Februari 2010
sebab kita adalah sahabat, selamanya
sebab kau adalah anjing yang setia,
menguntitku pergi ke mana saja
menjagaku dari segala bahaya
pun mencintaku tanpa karena
sebab aku adalah kuda yang gagah,
melangkah ke mana saja tanpa istirah
menunggu datangmu tanpa lelah
pun menyayangmu tanpa jengah
dan, kita adalah pasangan sempurna
untuk menaklukkan dua belas macan emas
dengan segala tipu daya yang tak terduga
di dalam rimba raya yang penuh jerat
pun muslihat, yang kadang tak terlihat
sebab kita adalah sahabat, selamanya
meski dalam wujud yang berbeda,
tetapi itulah yang membuat kita sempurna
sebab kita adalah sahabat, selamanya
tak hanya di dunia, pun di dalam surga
(5 Februari 2010)
menguntitku pergi ke mana saja
menjagaku dari segala bahaya
pun mencintaku tanpa karena
sebab aku adalah kuda yang gagah,
melangkah ke mana saja tanpa istirah
menunggu datangmu tanpa lelah
pun menyayangmu tanpa jengah
dan, kita adalah pasangan sempurna
untuk menaklukkan dua belas macan emas
dengan segala tipu daya yang tak terduga
di dalam rimba raya yang penuh jerat
pun muslihat, yang kadang tak terlihat
sebab kita adalah sahabat, selamanya
meski dalam wujud yang berbeda,
tetapi itulah yang membuat kita sempurna
sebab kita adalah sahabat, selamanya
tak hanya di dunia, pun di dalam surga
(5 Februari 2010)
tidur tanpa mimpi, semoga…
malam ini,
tak ingin kutidur berteman mimpi
hingga esok pagi
tak perlu lagi kukejar mimpi,
yang jadi bunga tidur malam ini
sebab langkah-langkah kaki ini
masih harus terus berlari
tanpa henti mengejar mimpi,
yang telah berbunga pada musim semi
di tahun lalu, tentang sebuah janji hati
(3 Februari 2010)
tak ingin kutidur berteman mimpi
hingga esok pagi
tak perlu lagi kukejar mimpi,
yang jadi bunga tidur malam ini
sebab langkah-langkah kaki ini
masih harus terus berlari
tanpa henti mengejar mimpi,
yang telah berbunga pada musim semi
di tahun lalu, tentang sebuah janji hati
(3 Februari 2010)
sebuah kisah tragis di februari yang manis
perawan gunung yang malu-malu
menunjukkan senyum pilu padamu,
sebab ia lebih suka mengguyurmu
dengan gerimis yang ritmis
di antara relung-relung hati yang mengais
pada ranting-ranting pakis
ah, perawan yang manis...
sayang, ia harus bertemu jejaka bengis,
yang gemar menenun tangis
pada mata perawan-perawan manis
dan, sebuah kisah cinta
telah berujung pada tragis
di februari yang manis
(3 Februari 2010)
menunjukkan senyum pilu padamu,
sebab ia lebih suka mengguyurmu
dengan gerimis yang ritmis
di antara relung-relung hati yang mengais
pada ranting-ranting pakis
ah, perawan yang manis...
sayang, ia harus bertemu jejaka bengis,
yang gemar menenun tangis
pada mata perawan-perawan manis
dan, sebuah kisah cinta
telah berujung pada tragis
di februari yang manis
(3 Februari 2010)
sebab kau banci bermulut belati
/i/
bila kau anggap aku sebagai temanmu,
lantas mengapa aku selalu jadi sasaran kemarahanmu ?
bila kau anggap aku sebagai sahabatmu,
lantas mengapa aku selalu jadi sasaran hujatanmu ?
begitu pandai kau memutar lidah
dengan melempar segala salah
pun membuang segala amarah
seolah aku ini keranjang sampah
dan, aku masih diam terpaku
mendengar segala serapahmu
/ii/
kau hanya berpikir
tentang hatimu sendiri,
yang takut tersakiti kembali
dan, kau tak pernah berpikir
tentang hati yang lain,
yang telah kau sakiti berulang kali
sayang kali ini,
aku tak berdiam diri lagi
sebab aku bukan batu,
yang terus diam atas segala ludahmu
sebab aku bukan pengecut sepertimu,
yang segera membuatmu terlecut sekaligus terkejut
tunggu saja,
segala karma akan segera kau terima
/iii/
kau boleh saja berpongah diri
dengan harga dirimu yang terlalu tinggi,
seolah kau satu-satunya lelaki
yang hidup dan tertinggal di muka bumi
maaf, bagiku kau tak lebih dari
seorang banci bermulut belati
pun seorang pecundang
yang tak paham kasih sayang
bagiku, kau lebih pantas lompat ke jurang
atau terjun ke laut dari bibir karang
di pantai berpasir kulit-kulit kerang
(3 Februari 2010)
bila kau anggap aku sebagai temanmu,
lantas mengapa aku selalu jadi sasaran kemarahanmu ?
bila kau anggap aku sebagai sahabatmu,
lantas mengapa aku selalu jadi sasaran hujatanmu ?
begitu pandai kau memutar lidah
dengan melempar segala salah
pun membuang segala amarah
seolah aku ini keranjang sampah
dan, aku masih diam terpaku
mendengar segala serapahmu
/ii/
kau hanya berpikir
tentang hatimu sendiri,
yang takut tersakiti kembali
dan, kau tak pernah berpikir
tentang hati yang lain,
yang telah kau sakiti berulang kali
sayang kali ini,
aku tak berdiam diri lagi
sebab aku bukan batu,
yang terus diam atas segala ludahmu
sebab aku bukan pengecut sepertimu,
yang segera membuatmu terlecut sekaligus terkejut
tunggu saja,
segala karma akan segera kau terima
/iii/
kau boleh saja berpongah diri
dengan harga dirimu yang terlalu tinggi,
seolah kau satu-satunya lelaki
yang hidup dan tertinggal di muka bumi
maaf, bagiku kau tak lebih dari
seorang banci bermulut belati
pun seorang pecundang
yang tak paham kasih sayang
bagiku, kau lebih pantas lompat ke jurang
atau terjun ke laut dari bibir karang
di pantai berpasir kulit-kulit kerang
(3 Februari 2010)
sebab aku telah bahagia
cinta yang kau eja
telah membuatku buta,
tak mampu menyulam kata
pun menenun makna
seperti biasa
pergi saja,
aku ingin kembali menatap dunia
dengan kedua mata
yang aku punya
sebab aku telah bahagia,
meski berjalan sendiri saja
(3 Februari 2010)
telah membuatku buta,
tak mampu menyulam kata
pun menenun makna
seperti biasa
pergi saja,
aku ingin kembali menatap dunia
dengan kedua mata
yang aku punya
sebab aku telah bahagia,
meski berjalan sendiri saja
(3 Februari 2010)
cinta dalam sepotong semangka
cinta itu datang memerah
pada bibir yang kian pucat
melewati kerongkongan yang tercekat
ah, nikmat !!!
begitu lidahmu mencecap
nikmat semangka memerah
sekejap saja,
menghapus dahaga
pada siang yang gerah
setelahnya, sirna
ketika senja menjelang
bibir itu kembali pucat
kerongkongan pun kembali tercekat
setelahnya, terkapar
kembali dalam sadar yang sepi
dengan suhu tubuh yang kian meninggi
pun nyeri menggigit di setiap sendi
dan relung hati
cinta dalam sepotong semangka
nikmat meski sesaat
telah membuatmu tersesat
pada ujung jalan bernama bencana
kau boleh beri sepotong semangka
pada siapa saja yang kau suka
kecuali aku, sebab aku
tak pernah tertarik pada semangkamu
(2 Februari 2010)
pada bibir yang kian pucat
melewati kerongkongan yang tercekat
ah, nikmat !!!
begitu lidahmu mencecap
nikmat semangka memerah
sekejap saja,
menghapus dahaga
pada siang yang gerah
setelahnya, sirna
ketika senja menjelang
bibir itu kembali pucat
kerongkongan pun kembali tercekat
setelahnya, terkapar
kembali dalam sadar yang sepi
dengan suhu tubuh yang kian meninggi
pun nyeri menggigit di setiap sendi
dan relung hati
cinta dalam sepotong semangka
nikmat meski sesaat
telah membuatmu tersesat
pada ujung jalan bernama bencana
kau boleh beri sepotong semangka
pada siapa saja yang kau suka
kecuali aku, sebab aku
tak pernah tertarik pada semangkamu
(2 Februari 2010)
akukah itu ?
aku masih ragu
bukan padamu, tetapi padaku
akukah itu,
yang kau tunggu
dalam pencarianmu ?
maafkan aku, bila ragu itu
masih menyesaki rongga dadaku
hingga membuatmu
tak henti menenun biru
pada jalamu
akukah itu ?
(31 Januari 2010)
bukan padamu, tetapi padaku
akukah itu,
yang kau tunggu
dalam pencarianmu ?
maafkan aku, bila ragu itu
masih menyesaki rongga dadaku
hingga membuatmu
tak henti menenun biru
pada jalamu
akukah itu ?
(31 Januari 2010)
sebab bahasa adalah jiwa
sebab bahasa adalah jiwa
sebab bahasa adalah jiwa,
dari mulutmu terpancar segala
pun dari ujung jemarimu terukir rasa
sebab bahasa adalah jiwa,
dan kita adalah manusia berbahasa,
masihkah kau akan menggigit
dengan taring kata
pun mengalirkan bisa makna
ke dalam aliran darah si mangsa ?
serupa ular di sudut jendela
ketika hujan tiba di luar sana
sebab bahasa adalah jiwa,
dan aku tahu jiwamu serupa apa
ketika kau tak henti memaki dan mencela
di seberang lautan sana
(29 Januari 2010)
sebab bahasa adalah jiwa,
dari mulutmu terpancar segala
pun dari ujung jemarimu terukir rasa
sebab bahasa adalah jiwa,
dan kita adalah manusia berbahasa,
masihkah kau akan menggigit
dengan taring kata
pun mengalirkan bisa makna
ke dalam aliran darah si mangsa ?
serupa ular di sudut jendela
ketika hujan tiba di luar sana
sebab bahasa adalah jiwa,
dan aku tahu jiwamu serupa apa
ketika kau tak henti memaki dan mencela
di seberang lautan sana
(29 Januari 2010)
dalam sunyi, aku pergi
kau bilang rindu
padaku yang berhati batu
entah temu berbuah laku
sungguh, aku pun tak tahu
kau bilang sayang
padaku yang serupa bayang-bayang
entah gelap bertemu terang
sungguh, aku tak ingin melayang
kau bilang cinta
padaku yang telah lupa
entah ingat kembali dari alpa
sungguh, aku tak ingin meluka
dan, aku memilih pergi diam-diam
dari angka enam, yang terbenam
pada langit yang kian menghitam
tanpa sebuah pesan tertinggal
termasuk ucapan selamat tinggal
(28 Januari 2010)
padaku yang berhati batu
entah temu berbuah laku
sungguh, aku pun tak tahu
kau bilang sayang
padaku yang serupa bayang-bayang
entah gelap bertemu terang
sungguh, aku tak ingin melayang
kau bilang cinta
padaku yang telah lupa
entah ingat kembali dari alpa
sungguh, aku tak ingin meluka
dan, aku memilih pergi diam-diam
dari angka enam, yang terbenam
pada langit yang kian menghitam
tanpa sebuah pesan tertinggal
termasuk ucapan selamat tinggal
(28 Januari 2010)
di negeri itu
menunggu musim salju
'tuk mengikat rindu
sekokoh rimbun batu
di tepian pantai biru
aku dan kau
: satu
(28 Januari 2010)
'tuk mengikat rindu
sekokoh rimbun batu
di tepian pantai biru
aku dan kau
: satu
(28 Januari 2010)
pesan singkatmu
dan, aku termangu
membaca pesan singkatmu
: biarkan aku
tetap pada jalanku
tetap pada pilihanku
tak hendak aku menggores
luka padanya, yang telah setia
dalam jalan panjang penantian
berujung pada sempurna
pun tak hendak aku menggores
luka padamu, yang telah menunggu
sebuah temu setelah waktu
memisahkan segala laku
: biarkan aku
dalam labirin itu
hingga waktu bukan lagi milikku
(28 Januari 2010)
membaca pesan singkatmu
: biarkan aku
tetap pada jalanku
tetap pada pilihanku
tak hendak aku menggores
luka padanya, yang telah setia
dalam jalan panjang penantian
berujung pada sempurna
pun tak hendak aku menggores
luka padamu, yang telah menunggu
sebuah temu setelah waktu
memisahkan segala laku
: biarkan aku
dalam labirin itu
hingga waktu bukan lagi milikku
(28 Januari 2010)
lumut dan rimbun batu
lumut tertimbun di atas kalpataru,
kalut yang mengharu biru
di antara rimbun batu
(26 Januari 2010)
kalut yang mengharu biru
di antara rimbun batu
(26 Januari 2010)
sebab kau adalah lumut
sebab kau adalah lumut,
tumbuh di atas batu kalut
dan meremahkan segala takut
sebab kau bukanlah pengecut,
yang menggelinjang serupa belut
di sela-sela hamparan rumput
sebab kau adalah lumut,
yang lebih liar dari rumput
mampu menghancurkan segala takut
(25 Januari 2010)
tumbuh di atas batu kalut
dan meremahkan segala takut
sebab kau bukanlah pengecut,
yang menggelinjang serupa belut
di sela-sela hamparan rumput
sebab kau adalah lumut,
yang lebih liar dari rumput
mampu menghancurkan segala takut
(25 Januari 2010)
sebab aku adalah aku, bukan kau
tak hendak kutulis puisi
dari sebuah luka hati
seorang lelaki,
yang mencintai sunyi
sebab aku menulis puisi
dari nyanyian-nyanyian hati,
yang menyenandungkan melodi
tak hendak kutulis kisah
dari sebuah dera jengah
seorang pemanah,
yang sedang istirah
sebab aku menulis kisah
dari derap langkah-langkah,
yang tak mengenal lelah
pun tak hendak kutulis cinta
dari sebuah dusta kata
seorang lelaki hina,
yang gemar main-main hati wanita
sebab aku menulis cinta
dari suara-suara jiwa,
yang jujur menyanyikan kidung-kidung cinta
dan, aku tak pernah peduli
pada segala cela dan cibir
dari bibir yang penuh satire
pun pada segala serapah
yang tak henti menyumpah
pada setiap ayunan langkah
sebab aku menulis,
menghindari hatimu yang bengis
pun matamu yang memandang sinis
meski mulutmu terlihat manis
sebab aku adalah aku
sedang kau adalah kau
tetap saja pada jalurmu,
dan aku pada jalurku
sebab pandang kita berbeda
memandang dunia yang sama
dan itu bukan dosa
karena memang seperti itulah dunia
penuh segala warna, yang mengenyangkan jiwa
(25 Januari 2010)
dari sebuah luka hati
seorang lelaki,
yang mencintai sunyi
sebab aku menulis puisi
dari nyanyian-nyanyian hati,
yang menyenandungkan melodi
tak hendak kutulis kisah
dari sebuah dera jengah
seorang pemanah,
yang sedang istirah
sebab aku menulis kisah
dari derap langkah-langkah,
yang tak mengenal lelah
pun tak hendak kutulis cinta
dari sebuah dusta kata
seorang lelaki hina,
yang gemar main-main hati wanita
sebab aku menulis cinta
dari suara-suara jiwa,
yang jujur menyanyikan kidung-kidung cinta
dan, aku tak pernah peduli
pada segala cela dan cibir
dari bibir yang penuh satire
pun pada segala serapah
yang tak henti menyumpah
pada setiap ayunan langkah
sebab aku menulis,
menghindari hatimu yang bengis
pun matamu yang memandang sinis
meski mulutmu terlihat manis
sebab aku adalah aku
sedang kau adalah kau
tetap saja pada jalurmu,
dan aku pada jalurku
sebab pandang kita berbeda
memandang dunia yang sama
dan itu bukan dosa
karena memang seperti itulah dunia
penuh segala warna, yang mengenyangkan jiwa
(25 Januari 2010)
sebab kau, yang tersayang
menghitung sayang
pada perjalanan panjang
tentang kasih yang begitu lapang
ah, ternyata tak terbilang
pun hingga tak berbilang
membuatku ingin segera pulang
pada hatimu yang amat lapang
pun penuh cahaya terang
bagiku, yang pernah hilang
sebab kau,
bukan sekadar bintang terang
di langit malam, yang menghilang
ketika hari berganti terang
sebab kau,
bukan sekadar kunang-kunang
yang gemar terbang melayang
di antara gelap membayang
sebab kau,
bukan sekadar burung layang-layang
yang kembali ke sarang
ketika senja telah datang
sebab kau,
satu-satunya jiwa yang terpasang
di sebelah jiwaku yang pernah hilang
sebab kau,
yang tersayang
selalu tersimpan dalam ruang
dan tak akan pernah hilang
(24 Januari 2010)
pada perjalanan panjang
tentang kasih yang begitu lapang
ah, ternyata tak terbilang
pun hingga tak berbilang
membuatku ingin segera pulang
pada hatimu yang amat lapang
pun penuh cahaya terang
bagiku, yang pernah hilang
sebab kau,
bukan sekadar bintang terang
di langit malam, yang menghilang
ketika hari berganti terang
sebab kau,
bukan sekadar kunang-kunang
yang gemar terbang melayang
di antara gelap membayang
sebab kau,
bukan sekadar burung layang-layang
yang kembali ke sarang
ketika senja telah datang
sebab kau,
satu-satunya jiwa yang terpasang
di sebelah jiwaku yang pernah hilang
sebab kau,
yang tersayang
selalu tersimpan dalam ruang
dan tak akan pernah hilang
(24 Januari 2010)
melarung mendung
mendung menggantung
di langit yang bingung
dan, sepasang burung
masih saja murung
menunggu angin bertarung
menyingkirkan mendung
percaya saja,
mendung akan menyingkir segera
dari langit kita
dan, sepasang burung
masih menunggu mendung
: melarung
dari langit yang murung
(23 Januari 2010)
di langit yang bingung
dan, sepasang burung
masih saja murung
menunggu angin bertarung
menyingkirkan mendung
percaya saja,
mendung akan menyingkir segera
dari langit kita
dan, sepasang burung
masih menunggu mendung
: melarung
dari langit yang murung
(23 Januari 2010)
tentang mawar yang kau antar
ternyata mawar yang kau antar
ke depan pintu kamar
adalah yang paling mawar
di antara rimbun belukar
hingga aku melempar senyum tawar
ternyata duri yang kau tusuki
pada relung hati
adalah yang paling duri
di antara nyeri tersunyi
hingga aku tak ingin lagi bermimpi
setelah mawar dan duri,
apalagi yang hendak kau beri
pada perempuan bermulut sunyi ?
(22 Januari 2010)
ke depan pintu kamar
adalah yang paling mawar
di antara rimbun belukar
hingga aku melempar senyum tawar
ternyata duri yang kau tusuki
pada relung hati
adalah yang paling duri
di antara nyeri tersunyi
hingga aku tak ingin lagi bermimpi
setelah mawar dan duri,
apalagi yang hendak kau beri
pada perempuan bermulut sunyi ?
(22 Januari 2010)
lelaki yang menolak takluk
aku bukan seorang penakluk. tak hendak aku membuatmu tunduk. karena aku hanya seorang sahabat, yang tak rela melihatmu terikat dalam luka-luka penuh karat. dan, karat-karat itu telah melekat erat pada hati dan benakmu, hingga kau alami kebutaan hebat pada matamu yang hitam pekat.
dan, bila aku telah membuatmu suntuk. pun tak henti mengutuk bahwa perempuan itu busuk. dan, perempuan busuk itu pelan-pelan telah membuat hatimu takluk. maka, maafkan aku, sahabatku. tak hendak aku menambah kisah kelabu dalam langkah-langkah kakimu. pun lelah pada bidang bahumu.
aku akan pergi, februari nanti. dan, tak perlu kau cari. karena aku pun ingin sendiri. di sini, sampai nanti. sampai bumi ini lelah berlari.
(22 Januari 2010)
dan, bila aku telah membuatmu suntuk. pun tak henti mengutuk bahwa perempuan itu busuk. dan, perempuan busuk itu pelan-pelan telah membuat hatimu takluk. maka, maafkan aku, sahabatku. tak hendak aku menambah kisah kelabu dalam langkah-langkah kakimu. pun lelah pada bidang bahumu.
aku akan pergi, februari nanti. dan, tak perlu kau cari. karena aku pun ingin sendiri. di sini, sampai nanti. sampai bumi ini lelah berlari.
(22 Januari 2010)
lelaki yang dibutakan luka
masih saja kau genggam uang logam itu,
ada cinta tergambar di sebelah sisi
sedang luka tergambar di sisi lain
pada simpang jalan,
kau lemparkan uang logam
sebagai penunjuk arah langkah
: luka atau cinta
ah, masihkah kau buta ?
karena luka-luka lama
yang telah membutakan jiwa
hingga kau tak mampu melihat beda
dari kilau yang kau kira sama
: emas atau tembaga
dan, luka-luka itu
telah membutakan mata hatimu
(22 Januari 2010)
ada cinta tergambar di sebelah sisi
sedang luka tergambar di sisi lain
pada simpang jalan,
kau lemparkan uang logam
sebagai penunjuk arah langkah
: luka atau cinta
ah, masihkah kau buta ?
karena luka-luka lama
yang telah membutakan jiwa
hingga kau tak mampu melihat beda
dari kilau yang kau kira sama
: emas atau tembaga
dan, luka-luka itu
telah membutakan mata hatimu
(22 Januari 2010)
getar itu masih ada
tak ada kata
tak ada tanda
tak ada makna
tak ada luka
tak ada dusta
tak ada gelak tawa
pun tak ada canda
seperti biasa
sayang, kita percaya
masih ada cinta dalam mata
yang tak pandai berdusta
pun dalam suara penuh getar
yang mengucap debar dalam dada
(22 Januari 2010)
tak ada tanda
tak ada makna
tak ada luka
tak ada dusta
tak ada gelak tawa
pun tak ada canda
seperti biasa
sayang, kita percaya
masih ada cinta dalam mata
yang tak pandai berdusta
pun dalam suara penuh getar
yang mengucap debar dalam dada
(22 Januari 2010)
penjuru itu dirimu
kau adalah barat,
tempat segala rasa melekat
dalam lindap yang memeluk erat
kau adalah timur,
tempat segala rasa meluncur
pun terucap segala jujur
kau adalah utara,
tempat segala rasa mendera
dalam rindu yang membara
kau adalah selatan,
tempat segala rasa tertawan
pun tujuan peristirahatan
kau adalah timur laut,
tempat segala tentang kalut
terucap jujur tanpa ribut
kau adalah barat daya,
tempat labuhan segala bahaya
pun segala cita tercipta
kau adalah barat laut,
tempat segala tentang takut
menghilang dari benak melumut
kau adalah tenggara,
sebuah tujuan akhir kembara
tentang sebuah cinta bermula
kau adalah penjuru,
tempat tertanam segala rindu
(22 Januari 2010)
tempat segala rasa melekat
dalam lindap yang memeluk erat
kau adalah timur,
tempat segala rasa meluncur
pun terucap segala jujur
kau adalah utara,
tempat segala rasa mendera
dalam rindu yang membara
kau adalah selatan,
tempat segala rasa tertawan
pun tujuan peristirahatan
kau adalah timur laut,
tempat segala tentang kalut
terucap jujur tanpa ribut
kau adalah barat daya,
tempat labuhan segala bahaya
pun segala cita tercipta
kau adalah barat laut,
tempat segala tentang takut
menghilang dari benak melumut
kau adalah tenggara,
sebuah tujuan akhir kembara
tentang sebuah cinta bermula
kau adalah penjuru,
tempat tertanam segala rindu
(22 Januari 2010)
lelaki yang membakar ikrar
api itu telah membakar
segala yang pernah terikrar
dan, janji setia hanya jadi sebuah makar
yang ternyata berujung pada ingkar
sedang kau masih saja terkapar
penuh luka bakar dari bahan bakar,
yang kau nyalakan dari hatimu yang penuh luka memar
entah, sampai kapan kau tahan pada ingkar
tentang segala luka memar
yang kau simpan dalam nyala damar
di sudut gelap kamar
(22 Januari 2010)
segala yang pernah terikrar
dan, janji setia hanya jadi sebuah makar
yang ternyata berujung pada ingkar
sedang kau masih saja terkapar
penuh luka bakar dari bahan bakar,
yang kau nyalakan dari hatimu yang penuh luka memar
entah, sampai kapan kau tahan pada ingkar
tentang segala luka memar
yang kau simpan dalam nyala damar
di sudut gelap kamar
(22 Januari 2010)
: sang pemanah
malam ini,
aku menjelma kabut
yang menemanimu menyingkap kalut
dan, esok pagi
aku menjelma embun
yang membasuhmu dari segala ngungun
hingga kau mampu
membalut segala luka
pun mengusir segala jengah
dalam langkah-langkah gagah
seorang satria pemanah,
meski tanpa busur dan anak panah
karena bagiku,
mata tak kasat mata milikmu
adalah senjata paling mematikan
dan menghujam ke dalam ulu hati
setiap musuh yang tak punya nurani
(21 Januari 2010)
aku menjelma kabut
yang menemanimu menyingkap kalut
dan, esok pagi
aku menjelma embun
yang membasuhmu dari segala ngungun
hingga kau mampu
membalut segala luka
pun mengusir segala jengah
dalam langkah-langkah gagah
seorang satria pemanah,
meski tanpa busur dan anak panah
karena bagiku,
mata tak kasat mata milikmu
adalah senjata paling mematikan
dan menghujam ke dalam ulu hati
setiap musuh yang tak punya nurani
(21 Januari 2010)
sejati itu dirimu, sauhku
kau bilang,
tak pandai menulis puisi
pun tak pandai basa-basi
tetapi hanya padamu
kisah sejati itu berlabuh
karena kau adalah sauh
bagi sampan kecilku,
yang menghentikan pencarianku
akan sebuah dermaga
bagi sebuah bahtera cinta
: kita
hanya ada kau dan aku,
serta surga-Mu
(21 Januari 2010)
tak pandai menulis puisi
pun tak pandai basa-basi
tetapi hanya padamu
kisah sejati itu berlabuh
karena kau adalah sauh
bagi sampan kecilku,
yang menghentikan pencarianku
akan sebuah dermaga
bagi sebuah bahtera cinta
: kita
hanya ada kau dan aku,
serta surga-Mu
(21 Januari 2010)
nyanyian hati di februari
dan, sebentar lagi
tiba Februari
pun tiba musim semi
tiba waktu mengikat janji
bagi kita, di kebun bunga matahari
dan, setelahnya kita berlari
meninggalkan segala nyeri
dari negeri yang begitu tuli
mendengar nyanyian hati
dan, setelahnya kita pergi
mencabuti segala duri
yang menusuki telapak kaki
demi mereka, anak-anak matahari
yang lahir dari rahim sunyi
perempuan yang tak lagi suci
(21 Januari 2010)
tiba Februari
pun tiba musim semi
tiba waktu mengikat janji
bagi kita, di kebun bunga matahari
dan, setelahnya kita berlari
meninggalkan segala nyeri
dari negeri yang begitu tuli
mendengar nyanyian hati
dan, setelahnya kita pergi
mencabuti segala duri
yang menusuki telapak kaki
demi mereka, anak-anak matahari
yang lahir dari rahim sunyi
perempuan yang tak lagi suci
(21 Januari 2010)
aku paham, aku pergi
tak pernah kutanam
bibit benci di palung terdalam
meski hitam matamu tak henti menghujam
penuh benci yang sembunyi di balik senyuman
sayangnya, aku sungguh paham
segala benci yang kau tanam
adalah racun terhitam yang harus kutelan
demi anak yang akan kau lahirkan
sayangnya, aku sungguh paham
pada segala rasa bencimu itu
karena aku punya hati yang mampu merasa bencimu itu
di ujung lidahku yang kian kelu
sayangnya, aku sungguh paham
pada segala tanda yang kau kirim padaku
lewat jari tengahmu yang kau acungkan di depan wajahku
karena aku tidak buta
untuk bisa mencerna segala tanda
sayangnya, aku sungguh paham
bila uluran persahabatan
yang aku ulurkan tulus padamu
telah kau balas dengan segala caci maki dan benci
pada sudut hati terdalamku
aku punya hati, aku paham telah kau benci
aku tidak buta, aku paham semua tanda
maafkan aku, tak hendak kupinta maaf padamu
aku hanya ingin ucapkan terima kasih atas segalanya
pun pada racun terhitam
yang harus kutelan malam itu
(21 Januari 2010)
bibit benci di palung terdalam
meski hitam matamu tak henti menghujam
penuh benci yang sembunyi di balik senyuman
sayangnya, aku sungguh paham
segala benci yang kau tanam
adalah racun terhitam yang harus kutelan
demi anak yang akan kau lahirkan
sayangnya, aku sungguh paham
pada segala rasa bencimu itu
karena aku punya hati yang mampu merasa bencimu itu
di ujung lidahku yang kian kelu
sayangnya, aku sungguh paham
pada segala tanda yang kau kirim padaku
lewat jari tengahmu yang kau acungkan di depan wajahku
karena aku tidak buta
untuk bisa mencerna segala tanda
sayangnya, aku sungguh paham
bila uluran persahabatan
yang aku ulurkan tulus padamu
telah kau balas dengan segala caci maki dan benci
pada sudut hati terdalamku
aku punya hati, aku paham telah kau benci
aku tidak buta, aku paham semua tanda
maafkan aku, tak hendak kupinta maaf padamu
aku hanya ingin ucapkan terima kasih atas segalanya
pun pada racun terhitam
yang harus kutelan malam itu
(21 Januari 2010)
lelaki yang setia pada luka (3)
pada malam itu,
setelah pergimu
kau masih menyimpan biru
yang terlukis pada senyummu
bagiku, senyummu palsu
membalut bilur-bilur rindu
pada ruang hatimu
yang terbungkus angkuh dirimu
dan, aku masih menunggu
rindu itu jujur tereja dari bibirmu
hanya untukku
(20 Januari 2010)
setelah pergimu
kau masih menyimpan biru
yang terlukis pada senyummu
bagiku, senyummu palsu
membalut bilur-bilur rindu
pada ruang hatimu
yang terbungkus angkuh dirimu
dan, aku masih menunggu
rindu itu jujur tereja dari bibirmu
hanya untukku
(20 Januari 2010)
lelaki yang setia pada luka (2)
aku hanya punya bahu
untuk menampung tiap sedu
pun sepasang lengan
untuk menenangkan tiap ketakutan
aku hanya punya jemari
untuk menghapus tiap airmata
pun hati yang lapang
untuk memberi segenap sayang
dengan semua milikku itu,
mengapa kau masih saja ragu
untuk melangkah bersamaku ?
dengan semua milikku itu,
aku pernah balut segala lukamu
sayang, kau terlalu setia
pada luka yang ditorehnya
dalam jiwamu yang mencintanya
(20 Januari 2010)
untuk menampung tiap sedu
pun sepasang lengan
untuk menenangkan tiap ketakutan
aku hanya punya jemari
untuk menghapus tiap airmata
pun hati yang lapang
untuk memberi segenap sayang
dengan semua milikku itu,
mengapa kau masih saja ragu
untuk melangkah bersamaku ?
dengan semua milikku itu,
aku pernah balut segala lukamu
sayang, kau terlalu setia
pada luka yang ditorehnya
dalam jiwamu yang mencintanya
(20 Januari 2010)
lelaki yang setia pada luka (1)
setia pada dusta
pun luka menganga
tentang cinta
yang menggores jiwa
silakan nikmati saja
hingga jengahmu pada luka tiba
dan, aku menunggumu di surga
(20 Januari 2010)
pun luka menganga
tentang cinta
yang menggores jiwa
silakan nikmati saja
hingga jengahmu pada luka tiba
dan, aku menunggumu di surga
(20 Januari 2010)
ingkarmu
lembaran itu
mencatat luka baru
dalam dinding hatimu
sebuah kisah sendu
terulang pada langkahmu
dan, kau masih sama
tetap keras kepala
serupa karang terjal
yang patah dan terluka
di tepi pantai jiwa
sedang aku memandangmu
berusaha mengingkari kata hatimu
entah sampai kapan ?
mungkin sampai kau benar-benar kehilanganku,
gelombang laut yang setia
membasuh segala luka yang kau punya
dan, kita tetap sama
tetap terjebak dalam labirin yang sama
berputar-putar mencari jawab atas cinta
yang tak jua sempurna
(20 Januari 2010)
mencatat luka baru
dalam dinding hatimu
sebuah kisah sendu
terulang pada langkahmu
dan, kau masih sama
tetap keras kepala
serupa karang terjal
yang patah dan terluka
di tepi pantai jiwa
sedang aku memandangmu
berusaha mengingkari kata hatimu
entah sampai kapan ?
mungkin sampai kau benar-benar kehilanganku,
gelombang laut yang setia
membasuh segala luka yang kau punya
dan, kita tetap sama
tetap terjebak dalam labirin yang sama
berputar-putar mencari jawab atas cinta
yang tak jua sempurna
(20 Januari 2010)
Liebe
segala tentangmu
mengalir dalam darahku
pun berdetak dalam jantungku
segala tentangmu
adalah hidup dan impianku
yang hanya satu
segala tentangmu
adalah aku tanpa ragu
hanya rindu dalam ruang kalbu
(19 Januari 2010)
mengalir dalam darahku
pun berdetak dalam jantungku
segala tentangmu
adalah hidup dan impianku
yang hanya satu
segala tentangmu
adalah aku tanpa ragu
hanya rindu dalam ruang kalbu
(19 Januari 2010)
belajar mencintaimu, belajar melupakannya
sempat kau bilang lupa namaku
meski kau bilang tak lupa wajahku
pun tak lupa pada wujud luguku
dan, aku bilang tak mengapa
aku telah terbiasa dilupakan siapa saja
setelahnya, kau mulai rajin mengenalku kembali
teman yang sempat kau lupakan itu
hingga kau bilang mulai rindu padaku
dan, kau bisikkan cinta padaku
aku hanya tersenyum
mendengar segala pengakuanmu
yang mungkin saja terburu rindu dan waktu
ketika kau tanya aku
tentang rindu yang sama padamu
pun tentang cinta yang sama padamu
maafkan aku bila tak mampu
beri rindu yang sama padamu
pun beri cinta yang sama padamu
karena aku bukan lagi temanmu yang lugu,
yang sempat kau lupakan itu
bila kau tanya padaku
tentang rindu
pun tentang cinta itu
maafkan aku,
karena aku masih belajar merindu
pun mencintaimu seperti milikmu
maafkan aku,
karena setengah hatiku
ada padanya, yang setia
dalam senandung novena
pun yang setia
dalam cinta tanpa karena
maafkan aku,
bila masih belajar merindu
pun mencintaimu seperti milikmu
sembari belajar melupa padanya
yang setia dalam cinta tanpa karena
maafkan aku,
bila jujur ini menyakitimu
dan menyakitinya
(19 Januari 2010)
meski kau bilang tak lupa wajahku
pun tak lupa pada wujud luguku
dan, aku bilang tak mengapa
aku telah terbiasa dilupakan siapa saja
setelahnya, kau mulai rajin mengenalku kembali
teman yang sempat kau lupakan itu
hingga kau bilang mulai rindu padaku
dan, kau bisikkan cinta padaku
aku hanya tersenyum
mendengar segala pengakuanmu
yang mungkin saja terburu rindu dan waktu
ketika kau tanya aku
tentang rindu yang sama padamu
pun tentang cinta yang sama padamu
maafkan aku bila tak mampu
beri rindu yang sama padamu
pun beri cinta yang sama padamu
karena aku bukan lagi temanmu yang lugu,
yang sempat kau lupakan itu
bila kau tanya padaku
tentang rindu
pun tentang cinta itu
maafkan aku,
karena aku masih belajar merindu
pun mencintaimu seperti milikmu
maafkan aku,
karena setengah hatiku
ada padanya, yang setia
dalam senandung novena
pun yang setia
dalam cinta tanpa karena
maafkan aku,
bila masih belajar merindu
pun mencintaimu seperti milikmu
sembari belajar melupa padanya
yang setia dalam cinta tanpa karena
maafkan aku,
bila jujur ini menyakitimu
dan menyakitinya
(19 Januari 2010)
sempurna, tetapi tak sempurna
sempurna,
tetapi tak sempurna
itulah kita
dan, tak ada sempurna
di dunia yang penuh norma
pun beragam dogma
sempurna hanya milik surga,
yang mampu tampung semua
bahkan segala warna
pun segala beda sesungguhnya
: Tuhan tak pernah buta
atas segala langkah makhluk-Nya
Tuhan tak pernah buta
tak henti aku percaya, itu saja
(19 Januari 2010)
tetapi tak sempurna
itulah kita
dan, tak ada sempurna
di dunia yang penuh norma
pun beragam dogma
sempurna hanya milik surga,
yang mampu tampung semua
bahkan segala warna
pun segala beda sesungguhnya
: Tuhan tak pernah buta
atas segala langkah makhluk-Nya
Tuhan tak pernah buta
tak henti aku percaya, itu saja
(19 Januari 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)