Judul: Sekuntum Padma di Seberang Jendela
Penulis: Ririe Rengganis
Tebal: xii + 48 hlm
Harga: Rp. 22.100,-
ISBN: 978-602-225-525-3
Sinopsis:
Sinopsis:
sebab saya pernah mendengar cinta,
maka saya menikmati alunannya.
sebab saya pernah membaca cinta,
maka saya kemudian menuliskannya.
sebab saya pernah mengalami cinta,
maka saya mesti siap bila terluka.
sebab cinta yang menjadikan saya sebagai manusia,
maka saya tak hendak menghujat manusia lainnya.
sebab sekian catatan cinta dalam buku ini bukan catatan cinta biasa,
maka nikmati saja sampai halaman akhir tanpa mulut nyinyir atau mencibir.
ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox FB dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0819 0422 1928. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia.
maka saya menikmati alunannya.
sebab saya pernah membaca cinta,
maka saya kemudian menuliskannya.
sebab saya pernah mengalami cinta,
maka saya mesti siap bila terluka.
sebab cinta yang menjadikan saya sebagai manusia,
maka saya tak hendak menghujat manusia lainnya.
sebab sekian catatan cinta dalam buku ini bukan catatan cinta biasa,
maka nikmati saja sampai halaman akhir tanpa mulut nyinyir atau mencibir.
ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox FB dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0819 0422 1928. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia.
Catatan Pengantar oleh Dhenok Kristianti (Gandhi Memorial International School)
Sekuntum Padma di Seberang Jendela mengangkat tema yang beda dari tulisan-tulisan Ririe sebelumnya. Kali ini dia berbicara cinta yang lebih berwarna; ada ironi, ada perayaan, ada galau. Cinta tak selalu dihadirkan semanis madu, tidak 'sesuci' a la abad jaya romantisme, tidak juga platonik, tetapi cinta yang bergerak, berjuang, dinamis. Rekaman mengenai pergeseran nilai cinta menjadi sebuah perayaan, jouissance, yang dipisah dari nilai dan norma seperti yang terjadi dalam lingkungan sosial saat ini juga digarapnya dalam buku ini. Begitulah saya menangkap suka duka cinta a la Ririe. Ya, ini versi Ririe bercerita cinta melalui puisi. Perihal yang lain nanti berproseslah, yang penting keep on writing yes, Rie! (Hat Pujiati, Pengajar Puisi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Jember).
Membacai kata demi kata dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela rasanya seperti dibawa pada suatu kegelisahan yang sangat personal. Ririe menuliskan situasi manusiawi yang rumit dengan kata-kata sederhana, yang justru menghadirkan kejutan di sana-sini. Awesome!
(Greg Wuryanto, Kandidat Dr. Ing. Technische Universität Berlin).
Saya senang membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, karena sarat dengan pengalaman batin. Penyair, dalam menulis puisi, tidak melepaskan dari pengalaman batinnya. Ririe Rengganis, sebagai penyair, saya rasa, menyadari akan hal itu. Yang lebih menyenangkan lagi, Ririe menyeleksi pengalaman batin yang ia miliki, sehingga puisinya menjadi penuh arti. (Ons Untoro, Penyair dan Pekerja Budaya di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta)
Membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, langit seperti ada dalam dekapan saya. Menyetubuhi luka, cinta, dan rindu hanyalah jalan milik orang-orang yang berani. Ririe mengeksplorasi ketiganya dengan cara yang begitu lembut, lirih, nyaris seperti bintang yang berpijar di kejauhan, tidak dengan suara tangis yang menjerit-jerit dan meratap hingga terdengar ke mana-mana dan membuat heboh. Akan tetapi, tanpanya langit tak akan bisa disebut malam. Membaca puisi-puisinya; pilihan irama dan diksinya membuat tubuh saya menggigil, perih, merasakan luka, cinta, dan rindu yang dituliskannya. (Evi Idawati, Sastrawati dan Ketua Imagination Space of Art and Culture (ISAC)).
Membaca Sekuntum Padma di Seberang Jendela seperti merasakah kasih tak sampai yang diungkapkan dengan indah. Kebahagiaan yang terselip dalam kesedihan begitu 'ngelangut' dalam rangkaian kata-kata yang lugas. (Titiek Tri Indri, Editor).
Kalaulah dunia ini berjalan tanpa cinta, apa hendak jadinya? Cinta adalah energi terkuat yang menggerakkan jagat raya, termasuk sisi lainnya: rindu, pula luka. Puisi-puisi yang terkumpul dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela pun, dimotori oleh energi terbesar itu. Membacai puisi-puisi Ririe Rengganis, seperti membaca di mana roda itu bergerak, lalu berhenti pada akhirnya. Dan di pemberhentian-pemberhentian itu, kita akan berkaca tentang luka, rindu, atau cinta, yang barangkali kita pernah menyecapnya. Seperti yang dimintai penulis buku ini, mari menikmati cinta tanpa nyinyir, tak perlu pula mencibir. Selamat menikmati! (Else Liliani, Ibu Rumah Tangga dan Pengajar Puisi di Universitas Negeri Yogyakarta).
Puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela ini kadang mengalun dalam imajinasi yang indah dan tiba-tiba menyentak, seperti mimpi yang terpenggal direnggut kenyataan, walaupun imaji tentangnya tak pernah pupus. Kita dipermainkan oleh buaian dan sentakan, yang menimbulkan rasa lengang dan gelisah. Ririe tak membiarkan gelombang rasa yang demikian memagut kita berlama-lama, rasionalitas dipersandingkan sebagai perimbangan dalam dialog atau bahkan pertentangan batin, yang kemudian menunjukkan perspektifnya, titik pijak dan posisi yang dipilihnya. (Zurmailis, pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang, Pendiri Kelompok Studi Sastra dan Teater NOKTAH).
Sekuntum Padma di Seberang Jendela mengangkat tema yang beda dari tulisan-tulisan Ririe sebelumnya. Kali ini dia berbicara cinta yang lebih berwarna; ada ironi, ada perayaan, ada galau. Cinta tak selalu dihadirkan semanis madu, tidak 'sesuci' a la abad jaya romantisme, tidak juga platonik, tetapi cinta yang bergerak, berjuang, dinamis. Rekaman mengenai pergeseran nilai cinta menjadi sebuah perayaan, jouissance, yang dipisah dari nilai dan norma seperti yang terjadi dalam lingkungan sosial saat ini juga digarapnya dalam buku ini. Begitulah saya menangkap suka duka cinta a la Ririe. Ya, ini versi Ririe bercerita cinta melalui puisi. Perihal yang lain nanti berproseslah, yang penting keep on writing yes, Rie! (Hat Pujiati, Pengajar Puisi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Jember).
Membacai kata demi kata dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela rasanya seperti dibawa pada suatu kegelisahan yang sangat personal. Ririe menuliskan situasi manusiawi yang rumit dengan kata-kata sederhana, yang justru menghadirkan kejutan di sana-sini. Awesome!
(Greg Wuryanto, Kandidat Dr. Ing. Technische Universität Berlin).
Saya senang membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, karena sarat dengan pengalaman batin. Penyair, dalam menulis puisi, tidak melepaskan dari pengalaman batinnya. Ririe Rengganis, sebagai penyair, saya rasa, menyadari akan hal itu. Yang lebih menyenangkan lagi, Ririe menyeleksi pengalaman batin yang ia miliki, sehingga puisinya menjadi penuh arti. (Ons Untoro, Penyair dan Pekerja Budaya di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta)
Membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, langit seperti ada dalam dekapan saya. Menyetubuhi luka, cinta, dan rindu hanyalah jalan milik orang-orang yang berani. Ririe mengeksplorasi ketiganya dengan cara yang begitu lembut, lirih, nyaris seperti bintang yang berpijar di kejauhan, tidak dengan suara tangis yang menjerit-jerit dan meratap hingga terdengar ke mana-mana dan membuat heboh. Akan tetapi, tanpanya langit tak akan bisa disebut malam. Membaca puisi-puisinya; pilihan irama dan diksinya membuat tubuh saya menggigil, perih, merasakan luka, cinta, dan rindu yang dituliskannya. (Evi Idawati, Sastrawati dan Ketua Imagination Space of Art and Culture (ISAC)).
Membaca Sekuntum Padma di Seberang Jendela seperti merasakah kasih tak sampai yang diungkapkan dengan indah. Kebahagiaan yang terselip dalam kesedihan begitu 'ngelangut' dalam rangkaian kata-kata yang lugas. (Titiek Tri Indri, Editor).
Kalaulah dunia ini berjalan tanpa cinta, apa hendak jadinya? Cinta adalah energi terkuat yang menggerakkan jagat raya, termasuk sisi lainnya: rindu, pula luka. Puisi-puisi yang terkumpul dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela pun, dimotori oleh energi terbesar itu. Membacai puisi-puisi Ririe Rengganis, seperti membaca di mana roda itu bergerak, lalu berhenti pada akhirnya. Dan di pemberhentian-pemberhentian itu, kita akan berkaca tentang luka, rindu, atau cinta, yang barangkali kita pernah menyecapnya. Seperti yang dimintai penulis buku ini, mari menikmati cinta tanpa nyinyir, tak perlu pula mencibir. Selamat menikmati! (Else Liliani, Ibu Rumah Tangga dan Pengajar Puisi di Universitas Negeri Yogyakarta).
Puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela ini kadang mengalun dalam imajinasi yang indah dan tiba-tiba menyentak, seperti mimpi yang terpenggal direnggut kenyataan, walaupun imaji tentangnya tak pernah pupus. Kita dipermainkan oleh buaian dan sentakan, yang menimbulkan rasa lengang dan gelisah. Ririe tak membiarkan gelombang rasa yang demikian memagut kita berlama-lama, rasionalitas dipersandingkan sebagai perimbangan dalam dialog atau bahkan pertentangan batin, yang kemudian menunjukkan perspektifnya, titik pijak dan posisi yang dipilihnya. (Zurmailis, pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang, Pendiri Kelompok Studi Sastra dan Teater NOKTAH).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar