Kamis, 27 Januari 2011

I Love The Way You Lie

“Mulai sekarang kita berteman saja,” itu katamu dalam sebuah pesan singkat. Sebuah pesan singkat yang serupa listrik menyengat sekujur tubuh dan melucuti seluruh tulang di dalamnya. Aku tidak ingin menjawab pesan singkatmu dengan pesan singkat lain. Aku ingin mendengar suaramu menjelaskan semua. Aku meneleponmu dan bertanya mengapa, dan kau jawab, “Tidak ada apa-apa. Aku lebih nyaman kita berteman. Lagipula kita berbeda dalam segala hal. Kamu calon doktor, sedang aku hanya sarjana biasa, yang tidak punya pekerjaan mapan pula.”

Satu alasan yang sepertinya dibuat-buat. Sebab selama ini aku tidak pernah menjadikan perbedaan di antara kita sebagai perbedaan. Sebab selama ini aku menjadikan segala perbedaan itu jalan menuju sebuah tujuan yang sama, membangun impian kita. Sayangnya, impian itu harus buyar siang ini. Aku harus terbangun dari mimpi panjangku selama ini. Mimpi panjang selama tiga tahun tanpa akhir yang manis.

Siang ini, tiba-tiba aku merasa ada lubang besar menganga di ruang hati. Lubang besar, gelap, dan hitam. Mimpi buruk siang ini tidak pernah kupikir akan teralami ketika kau mengajakku berkunjung ke rumahmu dan berkenalan dengan seluruh anggota keluargamu. Dua tahun lalu.

Ya, dua tahun lalu. Pertemuan itu. Kunjungan itu. Seharusnya aku percaya pada indera keenamku waktu itu. Ketika Ibumu tidak menyambut hangat uluran tanganku. Ketika Ibumu yang lain berbicara dengan berbisik di ruang makan, yang berdekatan dengan ruang tamu. Ketika seluruh Ibumu menanyakan asal-usulku. Seharusnya aku percaya pada indera keenamku waktu itu. Keluargamu adalah keturunan darah biru, yang masih memperhitungkan bibit, bebet, dan bobot dalam memilih menantu. Meski selama ini aku tidak pernah membeda-bedakan orang dari bungkusnya, tetapi aku tidak bisa membuat orang lain bersikap sama padaku. Aku berbeda, minimal di matamu. Aku berbeda dalam pandangan keluargamu.

*****

“Apa beda cinta dan cocok?” itu pertanyaan yang kau ajukan lewat surat elektronik. Setelah perbincangan singkat siang itu. Dan, kau jawab sendiri pertanyaanmu dengan penjelasan seluas-luasnya, penjelasan yang tidak kumengerti maksudnya. Sebab aku memang tidak ingin mencerna setiap kalimat dalam surat elektronik itu. Sebab aku sudah tahu simpulan akhirnya, KITA PISAH. Aku sudah cukup paham tanpa harus ada penjelasan panjang. Aku tidak akan bertanya apapun lagi atau berjuang untuk apapun. Sebab aku tahu di mana bibit, bebet, dan bobotku.

Dan, kabar sebulan lalu yang kuterima dari salah seorang Ibumu, amat tidak mengejutkan buatku. Kabar bahwa kau akan menikah tahun ini dengan perempuan ayu pilihan salah satu Ibumu. Perempuan yang pernah dekat denganmu dulu, sebelum kau menebar mimpi di ruang benakku. Perempuan yang lebih tekun mendekat padamu.

Berita yang amat tidak mengejutkan buatku. Dan, salah satu Ibumu memintaku untuk menghubungimu untuk mengucapkan selamat padamu. Baiklah, kalau itu yang diminta. Aku diminta mundur. Sepenuhnya mundur. Aku mundur dengan besar hati. Sebab aku memenuhi permintaan salah satu Ibumu untuk mengucapkan selamat atas rencana pernikahanmu tahun ini.

Dan, salah satu Ibumu bercerita padaku tentang ketekunan perempuan itu mendekatimu kembali. Menceritakan padaku tentang rasa kasihannya pada perempuan itu, yang terlalu sering berkunjung ke rumahmu. Juga keluarga perempuan itu yang sudah menanyakan kesungguhan hubungan kalian selama ini. Salah satu Ibumu pun mencoba menasihatiku untuk bersabar. Mungkin belum jodoh, begitu kata Beliau. Aku mendengar nasihat itu dengan baik. Minimal aku ingin terlihat sopan kali ini. Meski sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa lelaki yang kau panggil anak itu pun pernah menawarkan mimpi yang sama padaku. Berjanji akan datang ke rumah dan melamarku. Sayangnya, aku berbeda. Aku tidak perlu belas kasihan untuk janji yang diingkari itu.

*****

Pagi ini, aku terbangun dari tidur. Dan menemukan sebuah pesan singkat dari salah satu Ibumu. Mengabarkan ini dan itu seperti biasa. Aku masih membalasnya dengan sopan pagi ini. Entah esok atau lusa pagi.

Pagi ini, aku kembali melangkah di atas jalan kerikil itu. Tanpa alas kaki. Aku sedang menikmati segala sakit dan nyeri akibat terlalu banyak bermimpi. Sembari bergumam mengingat wejangan beberapa guruku dahulu, di negeri ini, perempuan tidak boleh sekolah terlalu tinggi. Meski negeri ini sudah menjunjung tinggi emansipasi. Lihat saja, masih ada lelaki yang melarikan diri kan? Kalau kau melanggar tabu, maka kau harus siap hidup dalam penjaramu sendiri.

Ya, sekarang aku sedang membangun penjaraku sendiri. Menjauhkan diri dari segala basa-basi. Dan, tolonglah mengerti bahwa aku memang lebih senang sendiri. Bebas melangkah kaki. Bebas tidak bangun pagi. Bebas tidak mandi pagi. Dan, tolonglah mengerti bahwa aku lebih nyaman sendiri. Dan, tolonglah mengerti dengan berhenti bertanya kapan aku akan mempersunting lelaki.

*****

Pagi ini, bersama secangkir cappuccino dan sebatang rokok putih, aku menikmati setiap kebohongan yang pernah kau ucapkan padaku. Kebohongan yang masih tersimpan rapi dalam ruang benakku. Kebohongan selama tiga tahun tanpa ujung serupa kepulan asap rokok yang menghilang entah.

Pagi ini, aku membuang segala kebohonganmu dalam setiap hembusan asap rokokku. Dan berharap semoga ia benar-benar menghilang dari seluruh ruang benakku. Kebohongan manis yang aku suka sebab ia telah mengajarku menjadi dewasa.





(16 Januari 2011)

simfoni tahi

kadang saya ingin mengumpat. membalas mereka yang mengumpat pada saya. kadang saya ingin meludah. membalas mereka yang meludah pada saya. kadang saya ingin menampar. membalas mereka yang menampar saya. kadang saya ingin membunuh. membalas mereka yang membunuh saya. tetapi bagaimana saya bisa membalas? bila saya telah mati bagi mereka.

bila saya balas mengumpat. bila saya balas meludah. bila saya balas menampar. bila saya balas membunuh. lantas apa beda saya dengan mereka? tidak ada. itu sebab saya biarkan mereka mengumpat pada saya. saya biarkan mereka meludah pada saya. saya biarkan mereka menampar saya. saya biarkan mereka membunuh saya. sesuka hati mereka. sebab saya berbeda dengan mereka.

terus saja mengumpat. terus saja menampar. terus saja membunuh. sebab hanya itu yang mereka mampu. sebab hanya itu yang mereka tahu. mengapa hanya itu yang mereka mampu? mengapa hanya itu yang mereka tahu? sebab makanan mereka hanya tahi. hingga otak mereka pun penuh dengan tahi. sehingga mulut-mulut mereka hanya mampu menyanyikan simfoni tahi setiap hari.


(11 Januari 2011)

kicau sepasang murai batu di telingaku

sepasang murai batu bercumbu di ranting pohon randu. di antara rimbun bunga-bunga randu. ya, ini memang musim bunga randu di desaku. dan juga musim bercumbu bagi pasangan-pasangan murai batu. dan tak perlu cemburu. sebab kicau mereka begitu merdu. serupa alunan simfoni klasik di telingaku.

sepasang murai batu bercumbu di ranting pohon randu. mengingatkanku pada dirimu, lelaki berdarah biru dan perempuan ayu di sudut tugu. mengingatkanku pada janji yang pernah terucap tiga tahun lalu. janji yang teringkari dan meninggalkan lebam-lebam biru di sepanjang langkah kakiku.

sepasang murai batu bercumbu di ranting pohon randu. terdengar merdu. sekaligus beku. pada hari-hari panjang yang masih tersisa di kota biru. pada langkah kaki yang masih satu-satu di jalan itu. jalan dengan beribu jarum yang masih menusuki telapak kakiku. sayang, aku tak akan berhenti. meski kicau sepasang murai batu begitu menyiksa pada setiap pagiku.

sepasang murai batu bercumbu di ranting pohon randu. dan segala kicau itu makin menguatkan hati untuk tetap merajut hari. meski mendung masih setia menggayuti. mengganti pelangi yang telah pergi dari ujung hati. sebab masih ada pelangi lain yang kelak menari di antara langkah-langkah kaki. setelah hujan mencumbu pagi, esok hari.

sepasang murai batu dan aku, tinggal menunggu waktu. siapa yang akan lelah lebih dulu?


(11 Januari 2011)