: untuk Pengantinku
Aku bercengkerama bersama teman-temanku dalam sebuah pesta di tepi sungai. Pesta perayaan kedewasaan. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk tinggal terpisah dari orangtua kami. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk mulai tinggal di rumah baru, di atas sebuah batu. Batu hitam. Dunia baru bagi kami, lumut-lumut muda.
Ya, Lumut adalah namaku. Rumahku di atas batu di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dari sumber air di atas gunung hijau dari atas sana. Ah, air jernih itu selalu menyapaku. Senyum ramah. Senyum yang mampu membuat hatiku membuncah. Senyum yang mampu menyuburkan tubuh dan jiwaku. Senyum yang selalu menyegarkan penatku.
Aih, ternyata aku jatuh cinta padamu. Pada Air, yang mampu menghapus segala sedih di masa lalu. Ketika aku harus berjuang menghancurkan batu-batu keras di bawah kakiku tanpa tetes-tetes air dari tubuhmu. Kini, ketika aku telah dewasa dan tinggal di atas rumahku sendiri, kau makin sering mengunjungiku. Mengalir di dalam rumahku. Mengalir di atas tubuhku. Hingga pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, ketika kau berkunjung ke rumahku, kau tanyakan sesuatu padaku.
“Maukah kau menikah denganku? Bersama kita menaklukkan dunia di bawah kaki kita," tanyamu lugas. Sembari memandang mataku. Pun menggenggam jemari tanganku.
Aku mengangguk. Mataku berbinar. Ya, akhirnya aku menikah denganmu, Air. Pengantin Abadiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menaklukkan dunia di bawah kakiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menerbangkan spora-spora cinta dari tubuhku.
(22 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar