sebuah pagi tanpa sarapan pagi.
aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. aku berbeda dengan yang lain. hanya satu kesamaan di antara kami, status pasien. ya, pasien dengan nomor antrean. antrean untuk disembuhkan atau menuju ke kematian. hanya dua pilihan itu yang memang kami hadapi. dan kami sudah paham benar dengan pilihan-pilihan itu.
aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. aku berbeda, begitu kata teman-temanku. bagaimana tidak berbeda? dalam status pasien pun, aku masih saja memperhatikan sekitar dan membuat catatan di dalam kepala. menuliskan ini semua tanpa sungkan dan jijik. ya, aku tak ingin dibelenggu kata-kata ketika menulis. seperti ketika aku mesti berbicara di hadapan ibuku, mesti sopan dan menjaga perasaan. meski tak semua orang sanggup melakukan hal yang sama padaku, sopan dan menjaga perasaan.
aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. dan, seorang lelaki sibuk mondar-mandir membawa hasil foto rontgen dalam sebuah tas plastik. lelaki biasa, sangat biasa. sayang, bermata jalang. mengingatkan aku padamu, lelaki yang mengirimku pada titik terendah dalam hidupku. lelaki yang menodai kemanusiaanku. lelaki yang membuatku seperti perempuan pecundang setelah kematiannya. lelaki yang sibuk mondar-mandir itu berhenti tepat di depan seorang ibu, yang menggendong anak perempuannya serta menggandeng anak lelakinya di depan sebuah loket antrean. matanya begitu jalang, seolah menelanjangi perempuan itu, hingga pada satu waktu perempuan itu pergi dari hadapannya karena risih. begitu seterusnya. setiap ada perempuan yang mengantre di depan loket antrean, lelaki itu sibuk memberi makan nafsu lewat mata jalangnya. tubuh lelaki itu mungkin saja sakit, tetapi pikirnya jauh lebih sakit.
aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. lelaki yang lain sibuk menggaruk selangkangannya. entah sudah berapa lama ia tak mengganti celana dalamnya. mungkin saja jamur sudah berkembang biak di sana. jamur-jamur berdansa. memberi sensasi gatal di tempat tumbuhnya. dan, lelaki itu begitu menikmatinya. menggaruk selangkangan dengan syahdu tanpa malu di depan mata yang tak terhitung jumlahnya.
aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. seorang perempuan muda baru saja datang ketika jam dinding menunjukkan pukul 9.15. perempuan berpantalon hitam dan mengenakan blus merah bergaris putih di bagian di depannya, lengkap dengan hijab sewarna blus. raut mukanya bersih dan putih. raut muka yang dirawat di sebuah klinik kecantikan mahal. matanya tertutup oleh kaca mata hitam berbingkai lebar. bingkai yang juga mahal dengan merk channel tertulis di atasnya, entah asli atau imitasi. perempuan itu mengambil tempat duduk tak jauh dariku. aroma parfum meruap dari tubuhnya. setelah duduk tenang, ia mengeluarkan gadget mahal dari tas dan mulai sibuk dengan mainannya. sepertinya ia juga sedang sakit sosial. sebab perempuan itu lebih sibuk dengan mainannya daripada memberikan tempat duduknya pada seorang nenek renta. sang nenek dengan sekian luka di tubuhnya yang juga sedang mengantre di ruangan itu ditemani seorang perempuan berusia belasan, mungkin saja cucunya.
"1439 - 39 menuju ke loket 5," begitu bunyi suara yang keluar dari pengeras suara di ruang tunggu. seseorang mendorong kursiku ke depan loket. ia menyerahkan sekian berkas pada petugas di loket. menunggu sesaat. menerima berkas itu kembali. mendorongku ke lantai 2. meninggalkan ruang tunggu menuju ke ruang tunggu yang lain. menyimak vonis dari malaikat maut yang lain, mesti menunggu berapa lama lagikah aku?
konon kata orang, sakit itu mengangkat dosa-dosa si sakit.
begitu banyakkah dosa-dosaku, Tuhan?
ah iya, aku lupa. aku perempuan.
perempuan itu pendosa,
yang membawa adam turun dari surga.
perempuan ini lelah, Tuhan.
aku lelah, Tuhan.
(15 Desember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar