Senin, 15 Desember 2014

1439 - 39

sebuah pagi tanpa sarapan pagi.

aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. aku berbeda dengan yang lain. hanya satu kesamaan di antara kami, status pasien. ya, pasien dengan nomor antrean. antrean untuk disembuhkan atau menuju ke kematian. hanya dua pilihan itu yang memang kami hadapi. dan kami sudah paham benar dengan pilihan-pilihan itu.

aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. aku berbeda, begitu kata teman-temanku. bagaimana tidak berbeda? dalam status pasien pun, aku masih saja memperhatikan sekitar dan membuat catatan di dalam kepala. menuliskan ini semua tanpa sungkan dan jijik. ya, aku tak ingin dibelenggu kata-kata ketika menulis. seperti ketika aku mesti berbicara di hadapan ibuku, mesti sopan dan menjaga perasaan. meski tak semua orang sanggup melakukan hal yang sama padaku, sopan dan menjaga perasaan.

aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. dan, seorang lelaki sibuk mondar-mandir membawa hasil foto rontgen dalam sebuah tas plastik. lelaki biasa, sangat biasa. sayang, bermata jalang. mengingatkan aku padamu, lelaki yang mengirimku pada titik terendah dalam hidupku. lelaki yang menodai kemanusiaanku. lelaki yang membuatku seperti perempuan pecundang setelah kematiannya. lelaki yang sibuk mondar-mandir itu berhenti tepat di depan seorang ibu, yang menggendong anak perempuannya serta menggandeng anak lelakinya di depan sebuah loket antrean. matanya begitu jalang, seolah menelanjangi perempuan itu, hingga pada satu waktu perempuan itu pergi dari hadapannya karena risih. begitu seterusnya. setiap ada perempuan yang mengantre di depan loket antrean, lelaki itu sibuk memberi makan nafsu lewat mata jalangnya. tubuh lelaki itu mungkin saja sakit, tetapi pikirnya jauh lebih sakit.

aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. lelaki yang lain sibuk menggaruk selangkangannya. entah sudah berapa lama ia tak mengganti celana dalamnya. mungkin saja jamur sudah berkembang biak di sana. jamur-jamur berdansa. memberi sensasi gatal di tempat tumbuhnya. dan, lelaki itu begitu menikmatinya. menggaruk selangkangan dengan syahdu tanpa malu di depan mata yang tak terhitung jumlahnya.

aku mesti duduk berjajar di antara sekian orang di sebuah ruang tunggu. seorang perempuan muda baru saja datang ketika jam dinding menunjukkan pukul 9.15. perempuan berpantalon hitam dan mengenakan blus merah bergaris putih di bagian di depannya, lengkap dengan hijab sewarna blus. raut mukanya bersih dan putih. raut muka yang dirawat di sebuah klinik kecantikan mahal. matanya tertutup oleh kaca mata hitam berbingkai lebar. bingkai yang juga mahal dengan merk channel tertulis di atasnya, entah asli atau imitasi. perempuan itu mengambil tempat duduk tak jauh dariku. aroma parfum meruap dari tubuhnya. setelah duduk tenang, ia mengeluarkan gadget mahal dari tas dan mulai sibuk dengan mainannya. sepertinya ia juga sedang sakit sosial. sebab perempuan itu lebih sibuk dengan mainannya daripada memberikan tempat duduknya pada seorang nenek renta. sang nenek dengan sekian luka di tubuhnya yang juga sedang mengantre di ruangan itu ditemani seorang perempuan berusia belasan, mungkin saja cucunya.

"1439 - 39 menuju ke loket 5," begitu bunyi suara yang keluar dari pengeras suara di ruang tunggu. seseorang mendorong kursiku ke depan loket. ia menyerahkan sekian berkas pada petugas di loket. menunggu sesaat. menerima berkas itu kembali. mendorongku ke lantai 2. meninggalkan ruang tunggu menuju ke ruang tunggu yang lain. menyimak vonis dari malaikat maut yang lain, mesti menunggu berapa lama lagikah aku?

konon kata orang, sakit itu mengangkat dosa-dosa si sakit.
begitu banyakkah dosa-dosaku, Tuhan?
ah iya, aku lupa. aku perempuan.
perempuan itu pendosa,
yang membawa adam turun dari surga.

perempuan ini lelah, Tuhan.
aku lelah, Tuhan. 


(15 Desember 2014)


Minggu, 22 Desember 2013

Catatan 22 Desember 2013



ketika aku menyapamu, itu karena kau teman lamaku. tidak lebih, tidak kurang. ketika aku bertanya tentang istrimu, itu karena aku tidak ingin dekat dengan suami orang meski itu teman lamaku. sebab aku tidak ingin melukai hati perempuan lain. lantas apa jawabmu waktu itu? kau bilang tak punya istri, karena tak ada perempuan yang sudi hidup denganmu dalam kesibukanmu yang tak berjeda itu. atas dasar jawaban itu, aku berani melanjutkan berbincang denganmu. tentang hidupmu. tentang hidupku. tentang apa saja.

hingga pada satu waktu, aku beranikan diri untuk menyampaikan perasaan yang pernah tertuju padamu enam belas tahun lalu. lewat sebuah catatan pendek. tanpa harap apapun, termasuk bertepuknya rasa yang pernah ada itu. sebab aku tahu jarak waktu yang membentang belasan tahun itu telah mengubah masing-masing dari kita. aku hanya ingin kamu tahu bahwa belasan tahun lalu, ada yang memperhatikanmu diam-diam. itu saja. bila lantas kau menafsirkan catatan pendek yang kutulis untukmu itu adalah perasaan cinta yang mesti kau balas. maaf, kau keliru besar. aku sudah tak punya minat pada cinta macam itu. tujuan hidupku sudah amat berbeda.

hingga pada satu waktu, kau mendiamkanku. aku tahu, aku salah. aku minta maaf padamu, tetapi kau tetap diam. dan kau menghapus pertemanan di antara kita. baiklah. kesalahanku tak termaafkan dan aku mesti berbesar hati untuk itu. aku mesti berbesar hati tak lagi berteman denganmu dalam bentuk apapun. aku mesti pergi dari hidupmu. dan, aku pergi.

hingga pada satu waktu, seorang perempuan datang padaku, menyebutku seorang paparazzi. oh! itu perempuanmu rupanya. maaf, lidah perempuanmu amat menusuk hatiku. paparazzi?! apa yang kukuntit? kau yang tak jujur padaku atas keberadaan perempuanmu. kau yang terlalu pengecut untuk menjelaskan padaku. lantas, ketika aku membalas ucapan perempuanmu dengan sekian kata yang memang pantas untuknya, juga untukmu, maka itu jadi kesalahanku?! maafkan aku untuk sekian kata yang memang pantas ditujukan untuk kalian. toh, aku sudah pergi dari hidupmu. jauh-jauh hari.

hingga pada satu waktu, kau mengancamku lewat pesan pendekmu. begini bunyinya: aku ingatkan padamu, aku tak suka kata-katamu di twitter. jauhi cewekku, aku merasa click dengannya. jauhi hidup kami. aku tak ingin membenci orang. halooo?! siapa pula yang mendekati cewekmu? siapa pula yang mendekati kalian? aku dibenci orang sepertimu? aku tak peduli. aku tak pernah masuk hidup siapapun, tidak juga hidupmu. jadi, aku tak perlu keluar dari hidup siapapun. lantas, pesan pendek lain sampai hampir tengah malam. begini bunyinya: aku jadi tahu kenapa teman-teman kuliahmu menjauhimu dulu. hei! memang siapa kamu? keberadaanku saja tak kau anggap dan kau berani menilaiku? kau tahu betapa brengsek dan pecundangnya teman-teman kita? meminjam tugas dan memanfaatkan teman demi kepentingan sendiri pada masa itu, para calon pecundang. ah! tak penting juga aku menjelaskan padamu. toh, kau pun sejenis dengan mereka.

aku, hingga di titik ini telah dididik dengan keras untuk tak jadi perempuan menye-menye yang suka mengadu pada lelakinya, karena perempuan lain telah membalas sekian kata yang telah dikeluarkannya lebih dulu untuk perempuan lain itu. aku perempuan yang telah dididik sejak kecil oleh ayah dan ibuku untuk menjadi ksatria di antara para ksatria itu, hitam adalah hitam, putih adalah putih. aku, hingga di titik ini telah dididik dengan keras oleh lingkungan, yang telah menguji harga perempuanku dan sekian peristiwa yang telah menyakiti kemanusiaanku. aku, hingga di titik ini bukanlah perempuan yang bisa kau ancam dengan sekian katamu, meski kau lelaki. eh, entah kau ini lelaki atau bukan. aku sangsi.

lantas, kau bertanya untuk apa aku menuliskan ini semua? aku menulis, karena aku ingin menulis. entah lelaki sepertimu atau perempuan seperti perempuanmu akan membacanya atau tidak, aku tak peduli. atau makin menggunjingkanku di luar sana, sila saja. aku tak peduli. tak akan. hidupku terlalu berharga untuk berurusan dengan sepasang makhluk macam kalian. aku menulis, karena aku ingin menulis. itu saja.


-- untuk tuan dan nona a --
terima kasih telah membuatku makin kuat sebagai perempuan hari ini.
terima kasih telah membuatku membuka mata atas diri kalian.

Sabtu, 13 Juli 2013

Ketika Perempuan Berkisah tentang Perjalanan dalam Kehidupan Mereka





Bila seorang lelaki berkata "i love you" padamu, jangan mudah percaya begitu saja. Sebab sangat bisa jadi maksudnya bukan "aku cinta padamu", melainkan "mana tubuhmu". (Pulang untuk Cinta, Ririe Rengganis).



Kolaborasi 13 penulis perempuan yang sebelumnya pernah menerbitkan buku bersama Stiletto Book.

Judul: Ladies' Journey
Penulis: Lala Purwono, Triani Retno, Icha Ayu, Nimas Aksan, Yuska Vonita, Eva Sri Rahayu, Theresia Anik, Lygia Pecanduhujan, Judith Hutapea, Tikah Kumala, Mpok Mercy Sitanggang, Widya Ross, Ririe Rengganis.

Genre: Fiksi - Kumpulan Cerita Pendek
Editor: Herlina P. Dewi.
Desain Cover: Teguh Santosa
Harga: 40.000
Tebal: 178 halaman.

Sinopsis:
Setiap perjalanan menyimpan cerita: kepedihan, kekecewaan, kehangatan ataupun kebahagiaan. Begitulah kisah-kisah yang terangkum dalam buku ini. Mereka meninggalkan rumah untuk mencari kepastian, mencari cinta, menemukan jati diri atau bahkan untuk kabur dari hiruk-pikuknya hidup.

Beberapa perempuan menempuh jarak dan waktu, demi cinta. Di sudut Jakarta, Lina harus menabung keberanian untuk kembali pulang dengan sekoper kesedihan. Sementara Clara menemukan dirinya kembali di negeri antah-berantah. Perempuan lainnya sibuk membuang masa lalu dan mulai mengoleksi kepingan-kepingan masa depan.

Kisah-kisah dalam buku ini akan mengantarkanmu menjelajah waktu dan menelusuri kenangan, karena setiap perjalanan menyimpan cerita.

--- Beredar mulai 10 Juni 2013.

Cerita di Balik Cerita - Sedikit Kisah tentang Perjalanan Menjadi Penulis




ketika semua isi kepala tak sanggup disampaikan, menulislah. ketika semua isi hati tak sanggup diucapkan, menulislah. sebab tulisan adalah rekam jejak terbaik bagi mereka yang kelak kita tinggalkan di dunia.
–Ririe Rengganis–



BEREDAR PERTENGAHAN SEPTEMBER 2012

Judul: A Cup Of Tea for Writer
Penyusun: Triani Retno A & Herlina P. Dewi
Desain Cover: Ike Rosana & Felix Rubenta
Harga: 40.000
Tebal: xii + 195 halaman

Kontributor
Adnan Buchori, Haeriah Syamsuddin, Ina Inong, Juliana Wina Rome, Lalu Abdul Fatah, Monica Anggen, Mpok Mercy Sitanggang, Nuri Novita, Ririe Rengganis, Setiawan Chogah, Skylashtar Maryam, Whianyu Sanko, Widya R, Yas Marina

Penulis Tamu:
Reda Gaudiamo, Ika Natassa, Ollie & Dian Kristiani

SINOPSIS:
Belakangan ini, menulis terdengar sangat seksi. Begitu banyak orang yang ingin menjadi penulis. Motivasi mereka pun beragam. Dari mengisi waktu senggang, ingin terkenal, hingga mencari nafkah. Impian untuk menjadi seterkenal J.K Rowling pun melambung. Terkenal, royalti melimpah, tulisan difilmkan, diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan seterusnya.

Namun, jalan menuju dunia penuh pesona itu tak selalu mulus. Banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Terkadang, ada air mata tertumpah. Ditolak berkali-kali oleh penerbit dan media massa, ditentang oleh orang-orang terdekat, dipandang sebelah mata, royalti minim, hingga ditipu penerbit. Ada yang menyalahkan keadaan, ada yang menyerah dan menggantung pena. Hanya mereka yang bertekad kuat yang mampu bertahan. Hanya mereka yang mampu menjaga pijar semangat yang dapat terus melangkah di jalan ini.

A Cup of Tea for Writer membagi semangat itu pada para pembaca. Semangat itu akan menyala di hati. Menerangi. Menghangatkan.

Tips menulis persembahan dari Mbak Reda Gaudiamo tentunya akan menjadi bonus yang mengasyikkan di halaman terakhir. Selamat membaca sambil menikmati secangkir teh Anda.

Minggu, 11 November 2012

Telah terbit di LeutikaPrio !!!

Judul: Sekuntum Padma di Seberang Jendela
Penulis: Ririe Rengganis
Tebal: xii + 48 hlm
Harga: Rp. 22.100,-

ISBN: 978-602-225-525-3

Sinopsis:
sebab saya pernah mendengar cinta,
maka saya menikmati alunannya.
sebab saya pernah membaca cinta,
maka saya kemudian menuliskannya.
sebab saya pernah mengalami cinta,
maka saya mesti siap bila terluka.
sebab cinta yang menjadikan saya sebagai manusia,
maka saya tak hendak menghujat manusia lainnya.
sebab sekian catatan cinta dalam buku ini bukan catatan cinta biasa,
maka nikmati saja sampai halaman akhir tanpa mulut nyinyir atau mencibir.


ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox FB dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0819 0422 1928. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia.

Catatan Pengantar oleh Dhenok Kristianti (Gandhi Memorial International School)


Sekuntum Padma di Seberang Jendela mengangkat tema yang beda dari tulisan-tulisan Ririe sebelumnya. Kali ini dia berbicara cinta yang lebih berwarna; ada ironi, ada perayaan, ada galau. Cinta tak selalu dihadirkan semanis madu, tidak 'sesuci' a la abad jaya romantisme, tidak juga platonik, tetapi cinta yang bergerak, berjuang, dinamis. Rekaman mengenai pergeseran nilai cinta menjadi sebuah perayaan, jouissance, yang dipisah dari nilai dan norma seperti yang terjadi dalam lingkungan sosial saat ini juga digarapnya dalam buku ini. Begitulah saya menangkap suka duka cinta a la Ririe. Ya, ini versi Ririe bercerita cinta melalui puisi. Perihal yang lain nanti berproseslah, yang penting keep on writing yes, Rie! (Hat Pujiati, Pengajar Puisi di Jurusan Sastra Inggris Universitas Jember).

Membacai kata demi kata dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela rasanya seperti dibawa pada suatu kegelisahan yang sangat personal. Ririe menuliskan situasi manusiawi yang rumit dengan kata-kata sederhana, yang justru menghadirkan kejutan di sana-sini. Awesome!
(Greg Wuryanto, Kandidat Dr. Ing. Technische Universität Berlin).

Saya senang membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, karena sarat dengan pengalaman batin. Penyair, dalam menulis puisi, tidak melepaskan dari pengalaman batinnya. Ririe Rengganis, sebagai penyair, saya rasa, menyadari akan hal itu. Yang lebih menyenangkan lagi, Ririe menyeleksi pengalaman batin yang ia miliki, sehingga puisinya menjadi penuh arti. (Ons Untoro, Penyair dan Pekerja Budaya di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta)
 
Membaca puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela, langit seperti ada dalam dekapan saya. Menyetubuhi luka, cinta, dan rindu hanyalah jalan milik orang-orang yang berani. Ririe mengeksplorasi ketiganya dengan cara yang begitu lembut, lirih, nyaris seperti bintang yang berpijar di kejauhan, tidak dengan suara tangis yang menjerit-jerit dan meratap hingga terdengar ke mana-mana dan membuat heboh. Akan tetapi, tanpanya langit tak akan bisa disebut malam. Membaca puisi-puisinya; pilihan irama dan diksinya membuat tubuh saya menggigil, perih, merasakan luka, cinta, dan rindu yang dituliskannya. (Evi Idawati, Sastrawati dan Ketua Imagination Space of Art and Culture (ISAC)).

Membaca Sekuntum Padma di Seberang Jendela seperti merasakah kasih tak sampai yang diungkapkan dengan indah. Kebahagiaan yang terselip dalam kesedihan begitu 'ngelangut' dalam rangkaian kata-kata yang lugas. (Titiek Tri Indri, Editor).

Kalaulah dunia ini berjalan tanpa cinta, apa hendak jadinya? Cinta adalah energi terkuat yang menggerakkan jagat raya, termasuk sisi lainnya: rindu, pula luka. Puisi-puisi yang terkumpul dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela pun, dimotori oleh energi terbesar itu. Membacai puisi-puisi Ririe Rengganis, seperti membaca di mana roda itu bergerak, lalu berhenti pada akhirnya. Dan di pemberhentian-pemberhentian itu, kita akan berkaca tentang luka, rindu, atau cinta, yang barangkali kita pernah menyecapnya. Seperti yang dimintai penulis buku ini, mari menikmati cinta tanpa nyinyir, tak perlu pula mencibir. Selamat menikmati! (Else Liliani, Ibu Rumah Tangga dan Pengajar Puisi di Universitas Negeri Yogyakarta).

Puisi-puisi Ririe Rengganis dalam Sekuntum Padma di Seberang Jendela ini kadang mengalun dalam imajinasi yang indah dan tiba-tiba menyentak, seperti mimpi yang terpenggal direnggut kenyataan, walaupun imaji tentangnya tak pernah pupus. Kita dipermainkan oleh buaian dan sentakan, yang menimbulkan rasa lengang dan gelisah. Ririe tak membiarkan gelombang rasa yang demikian memagut kita berlama-lama, rasionalitas dipersandingkan sebagai perimbangan dalam dialog atau bahkan pertentangan batin, yang kemudian menunjukkan perspektifnya, titik pijak dan posisi yang dipilihnya. (Zurmailis, pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang, Pendiri Kelompok Studi Sastra dan Teater NOKTAH).

Rabu, 11 Juli 2012

catatan terakhir untukmu

- Ririe Rengganis -




tak hendak aku menulis apapun lagi
sebab sekian tulisan ini hanya jadi duri
yang menusuki hati.

tak hendak aku meminta maaf
atas sekian khilaf
sebab aku tahu sekian maafku
tak akan mampu menghapus lukamu.

tak hendak aku memohon kau kembali
atas sekian kisah yang terbagi
sebab aku sedang menunggu mati.




(12 Juli 2012)

Selasa, 19 Juni 2012

pada jalan setapak di pinggir hutan


Oleh: Ririe Rengganis
 
perempuan-perempuan karangjati
berjalan beriring tanpa alas kaki
menghitung hari ini demi esok hari

lantas apa yang kau cari?
cinta sejati?
maaf, dia tak akan mampir hari ini.
 
(19 Juni 2012)

Rabu, 13 Juni 2012

rindu tak terbantah

 
Oleh: Ririe Rengganis
 
ternyata,
aku benar-benar mencintai hujan.
tak terbantah.

menunggu hujan
ketika kemarau betah
adalah rindu tak terkatakan.

menghujat tuhan
atau mengucap mantra?
agar kau tahu aku cinta.
 
(14 Juni 2012)
 

Selasa, 12 Juni 2012

bukan kisah cinderella




Oleh: Ririe Rengganis




aku tak percaya kisah cinderella.
sebab itu dongeng belaka,
di kehidupan nyata itu tak pernah ada.

lantas salahkah bila sekali saja
aku ingin bahagia
bersamanya?




(13 Juni 2012)

Jumat, 08 Juni 2012

menunggu purnama, menunggu moksa







Oleh: Ririe Rengganis


kemarin,
menunggu purnama
dengan sukacita.
sekian puisi cinta
tertulis serupa belia
dalam kutukan asmara.

purnama tiba,
dan aku menunggu moksa.



(8 Juni 2012)