Sabtu, 20 Agustus 2011

aku, kau, dan perempuan kita.





(1)
mari kita bicara sebagai sesama lelaki tentang perempuan yang satu. perempuan yang sama menghuni bilik jantungku. pun bilik jantungmu. entah cinta macam apa yang kau punya ketika kau merenggutnya dari pelukanku. sebab perempuan yang satu memilih pergi bersamamu kala itu.

perempuan yang satu, tetap menghuni bilik jantungku. sebab dia adalah denyut jantungku. sebab dia adalah aku.

ketika kau memeluknya erat di ranjangmu setiap malam pekat. mungkin saja kau sibuk bercinta dengannya. melampiaskan rindu yang telah begitu tua menghuni usia. sedang aku menghitung doa di bilik putihku. menunggu Tuhan mengirimmu kembali dalam pelukanku.

(2)
pada sebuah senja yang ungu, perempuan yang satu datang kembali padaku. dalam bening matanya, kulihat biru yang begitu haru. dia bertutur tentang bagianmu yang tumbuh dalam tubuhnya. sedang kau tak punya cukup nyali memenuhi janjimu. janji yang pernah kau ucap ketika kau merenggutnya dari pelukanku.

lelaki macam apa kau ini?

tak mengapa bagiku. mengurus perempuan yang satu dan bagianmu yang tumbuh di tubuhnya. sebab cinta yang kupunya tak seperti cintamu. aku mengasihinya. teramat sangat. dan tak akan pernah kuizinkan airmata menetes, meski aku tahu airmata itu berasal dari lelaki-lelaki sepertimu.

(3)
pada sebuah pagi yang putih, aku dan perempuan yang satu di depan sebuah altar. mengikat janji sederhana untuk bersama selamanya. janji sederhana untuk saling menjaga. teramat sederhana. sebab hanya ada kami berdua.

hanya aku dan perempuan yang satu. menuruni altar. berjalan lurus. tak perlu kembali menengok punggung. sebab kami telah memilih pergi meninggalkan segala yang pernah membesarkan kami.

hanya aku dan perempuan yang satu. masih saja berjalan lurus. meski kadang kerikil-kerikil tajam melukai kaki. tak mengapa, kami saling menjaga. saling menguatkan. hingga hari jatuh menguning kami tetap bersama. menunggu jingga singgah di peraduan.



(20 Agustus 2011)



Kamis, 18 Agustus 2011

Kembali





Pagi ini, aku melihatmu duduk berdua bersama istrimu. Di beranda rumahmu, menikmati kopi pagi dan beberapa potong roti. Koran pagi terbuka di tanganmu, sedang istrimu sibuk mengaduk kopi untukmu. Kalian berdua begitu bahagia di mataku, pagi ini. Aku pun berlalu dari depan rumahmu dalam langkah-langkah kecil setengah berlari menuju tempat belajarku.

Tuhan Maha Baik. Dia tidak membiarkanku terlambat masuk kelas hari ini. Kelas telah penuh terisi, delapan orang telah duduk di bangku masing-masing termasuk aku. Menunggu Sang Guru yang belum kunjung tiba. Aku harus belajar dengan tekun mulai pagi ini. Mengejar ketinggalan kemarin sebab aku tidak mampu berdamai dengan diri sendiri. Sebab aku tidak mampu berdamai dengan hatiku sendiri.

Ketika tiba-tiba bayanganmu dan istrimu di beranda menikmati kopi pagi ini melintas tanpa permisi di ruang benak, aku segera menghalaunya pergi. You were my past, this class is my future. Meski Yogyakarta tidak lagi senyaman dulu untuk ditinggali menurutku. Aku mesti bertahan menghirup oksigen yang sama denganmu setiap detik, hingga waktu itu tiba: Selamat tinggal, Yogyakarta.

Tuhan Maha Baik. Sebab Dia menguatkanku setiap pagi, ketika perjalananku menuju kelas mesti melewati beranda rumahmu. Tuhan menguatkanku lewat rute itu sebab tidak ada jalan lain bagiku, kecuali melewatinya dan menjadi lebih kuat setiap hari. Tuhan Maha Baik dengan segala rencana terbaik yang telah Dia tuliskan dalam catatan hidupku. Aku tinggal menjalani skenario-Nya dengan bersyukur dan tanpa mengeluh. Ya, Tuhan Maha Baik. Sebab Dia telah membiarkanku bernafas hingga pagi ini. Sebab Dia masih menuntunku menuju titik akhir yang entah kapan aku sampai padanya.

Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, aku harus terbiasa melihat kalian berdua duduk di beranda. Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, doa sederhana untuk kalian: semoga selalu bersama dalam suka dan duka hingga ajal Tuhan memisahkan. Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, aku harus kembali menekuni lembar-lembar pustaka demi melanjutkan cita-cita yang sempat tertunda. Bersama-Mu, Tuhan yang Maha Baik.




19 Agustus 2011





Sabtu, 13 Agustus 2011

pada sisa malam




aku telungkup.
menikmati belai jemarimu,
meniti garis punggung.
hingga terjatuh aku pada lelapku
dan melupakan nyeri
menusuk di sepanjang alur.



13 Agustus 2011







Senin, 08 Agustus 2011

Buku Baru - Antologi Karya Bersama

Cuplikan Kisah dalam Janji Dewa & Puan dalam A Cup of Tea for Complicated Relationship:

Ya, malam ini adalah natal ketiga belas. Aku masih menemaninya dan itu bukan masalah. Seperti halnya, malaikat berbaju putih itu tidak pernah berkeberatan menemaniku makan sahur setiap Ramadan tiba. Justru dia yang menyiapkan menu makan sahur setiap malam, membangunkanku dari tidur, dan menemaniku hingga waktu Subuh tiba selama tiga belas Ramadan. Tanpa sedikit keluh keluar dari bibirnya. Sebab kami mengimani Tuhan yang Satu, Tuhan Pencipta Semesta. Meski cara kami bertemu Tuhan memang berbeda, tetapi kami tidak pernah memandang perbedaan itu sebagai sebuah masalah.




COMING SOON...!!! Terbit mulai 18 Agustus 2011


Judul : A Cup Of Tea For Complicated Relationship
Desain Cover : Ike Rosana & Felix Rubenta
Penyunting : Lygia Pecanduhujan & Herlina P. Dewi
Layout Is i : Diandra Creative Design
Harga : Rp40.000,-
Ketebalan : 210 halaman

Kontributor : Angeline Julia - Archa Bella - Dieta Aditya Dewi - Eva Sri Rahayu - Harlis Setyowati – Ichi Aulia Insani - Kiandra Aesha - Lucya Chriz - Mpok Mercy Sitanggang - Mukti A. Farid - Nannet - Nita Tjindarbumi - Oci YM - Puput Happy - Rachmi Rosanti Arifianto - Ririe Rengganis - Yazmin Aisyah - Yuska Vonita

Sinopsis:
Setiap manusia tentunya berharap ingin memiliki cinta yang indah dan abadi. Namun, bagaimana jika cinta yang ada di hadapan kita menjadi begitu rumit? Mulai dari cinta beda agama, cinta segitiga, cinta sesama jenis, sampai dengan poligami dan poliandri.

Bersama buku ini, Anda seperti menemukan teman untuk saling berbagi, betapa cinta memang layak kita perjuangkan. Kalaupun langkah kita mesti terhenti, bukan berarti dunia kita telah berakhir. Mungkin, Tuhan telah menyiapkan sebentuk cinta lain untuk Anda.

Mari, duduklah sejenak. Biarkan hal lain yang harus Anda lakukan menunggu sebentar. Nikmatilah secangkir teh Anda bersama 20 kisah nyata yang ditulis dengan jujur ini, Anda akan menemukan banyak cinta, semangat dan harapan di dalamnya.

----------

“A Cup Of Tea for Complicated Relationship bagi saya adalah sebuah buku yang mampu menjadi refleksi akan kehidupan percintaan anak manusia yang penuh dengan rasa: suka, duka, gembira, kecewa, bahagia dan putus asa.. Buku ini informatif karena memberikan contoh hal-hal yang harus dihindari dalam "bercinta" dan inspiratif karena buku ini juga menyuguhkan nilai-nilai positif dalam "bercinta". Word of advice: just sit back, relax and enjoy your cup of tea!”
(Olla Ramlan – Artis, Model, Socialite)

Buku ini ibarat sungai yang gak akan membuat kita terlarut seperti gula yang lebur jadi manis dalam aliran ceritanya. Kita akan jadi sosok utuh yang dibawa mengaliri setiap arus dan jeram cerita yang memiliki liku dan panorama yang berbeda. 20 hulu yang berakhir di satu titik hilir, cinta. Tentunya semuanya menarik dengan arus dan likunya masing-masing. Nikmati setiap ceritanya.
(Fitri Tropica - Artis, Host dan Penulis Buku "Kening")

"Membaca cerita-cerita dalam buku ini membuat saya teringat dengan kisah-kisah saya sendiri, dan tersadar, cinta tidak melulu soal bahagia, tapi bisa jadi pelajaran berharga yang dititipkan melalui orang yang pernah singgah di hati kita. Jangan putus asa dengan cinta!"
(Ollie - Penulis dan Founder online self publishing NulisBuku.com)

“Membaca buku ini kita merasa tidak sendiri, serasa ada sahabat yang hangat dihati, yang penuh semangat membantu mengambil pilihan untuk keluar dari masalah”
(Ninuk Retno Raras – Penulis dan Pemerhati Perempuan)

"Dengan membaca kisah-kisah di novel ini, kita akan merasa bahagia dan bersyukur dalam waktu bersamaan. Bahagia karena ternyata kita tidak sendirian yang punya kisah cinta menyakitkan. Bersyukur karena apa yang sudah kita punya sekarang sangat luar biasa!! This book makes you feel in good”
(Manik, Vocalist La Luna, Penyiar Hardrock FM Bandung)

-------------
Pre-Order:
Melalui Stiletto Book

Minggu, 07 Agustus 2011

Surat untuk Vyta

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pernah merasakan ketakutan itu. Melintas di depan rumahnya, meski itu tanpa sengaja dalam sebuah bus kota. Degup jantung berlarian tanpa jeda. Memandang fotonya tanpa sengaja ketika membuka berkas-berkas lama, masih saja menyisakan perih luka yang sama.

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pun belum mampu berdamai dengan ketakutanku. Ketakutan yang telah mengirimku pada jurang terdalam. Ketakutan yang telah membuatku jadi pendosa tak terampuni di mata kalian, manusia. Ketakutan yang telah membuatku enggan kembali ke kota itu, meski masih ada janji yang harus dilunasi.

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pun masih menyimpan ketakutan itu pada bagian terdalam diriku. Ia pun enggan keluar dari ruang gelapnya. Melekat pada setiap pori dindingnya.

Aku pahami ketakutanmu, sungguh. Izinkan aku memelukmu. Meleburkan segala ketakutan kita. Mengubahnya menjadi sebuah keberanian untuk kembali berjalan di atas dunia yang tak pernah bersahabat pada kita.




(7 Agustus 2011)


Sabtu, 06 Agustus 2011

menjelang magrib

Memandangmu mengenakan baju koko lengkap dengan kain sarung terlilit di pinggang dan peci putih di kepalamu. Bersiap menuju masjid. Mengingatkanku pada sosok Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami karya AA. Navis.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihatmu mengenakan baju koko lengkap dengan kain sarung terlilit di pinggang dan peci putih di kepalamu. Bersiap menuju masjid. Lima kali sehari. Bahkan lebih dari lima kali sehari bila Ramadan tiba. Sebab kau akan lebih memilih bermalam di masjid hingga waktu sahur tiba. Tidak jarang pula kau akan tiba di rumah ketika matahari sudah tersenyum di ufuk timur.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihatmu pergi meninggalkan rumah dan menuju masjid. Bagaimana tidak? Sebab bagimu, berkencan dengan Sang Pencipta di rumah-Nya jauh lebih penting daripada berkencan dengan istri dan anak-anakmu di rumah sendiri.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihat dahimu yang keras menghitam bekas sujud pada sajadahmu. Bekas yang bisa terbentuk sebab ketekunan ibadahmu. Bekas yang konon bisa menjauhkanmu dari dosa dan siksa neraka.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihat anak-anakmu menangis kelaparan di rumahmu. Setiap melihat istrimu harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anak yang terlahir dari benihmu.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Tentangmu, yang begitu tekun dalam ibadahmu, tetapi melupakan manusia-manusia yang bernafas dalam rumahmu.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Pun sejumlah tanya di kepala yang mungkin harus aku cari sendiri jawabnya kelak bila aku bertemu Tuhan.




(7 Agustus 2011)



Jumat, 05 Agustus 2011

Buku Puisi Terbaru - Ririe Rengganis




Endorsemen Buku Puisi Biji Bunga Matahari - Ririe Rengganis

Aku tercekat dan lantas tercenung.
Mengeja Biji Bunga Matahari adalah membaca penggalan kisah tentang hati yang biru.
Adalah membaca Ririe Rengganis yang menyukai sunyi tak terpahami.
Sunyi, biru, dan kelu. (Nusya Kuswantin, penulis novel Lasmi)


Kekauan, keakuan, dan kekitaan yang mengembang dalam dua kumpulan sajak yang disatukan menjadi Biji Bunga Matahari ini terasa nyalang di pigura dialektika. Kendati suatu dialektika telah banyak digarap penyajak, senantiasa ada ruang untuk menjejak dan menyatakan suatu sikap, meski tidak perlu dengan berteriak. Justru dengan komposisi lirih dan cenderung tidak menyentak, sajak-sajak dalam kumpulan ini mempunyai daya untuk membuka selubung rahasia, seberapa pun tipis dan tirusnya. Adanya ajakan untuk merenungkan lagi rahasia sejumlah relasi kemanusiaan inilah yang saya kira menjadi salah satu kekuatan sajak-sajak Ririe Rengganis di sini. (Ibnu Wahyudi, peminat puisi dan pengajar FIB UI)



Puisi-puisi Ririe Rengganis mengajak kita bagaimana mengelola kekecewaan, kepedihan, dan keterbatasan individual, dan menyiasatinya secara substansial. Puisi-puisinya juga bisa menjadi salah satu strategi bagaimana menawar luka dan kelam terhadap ranggasnya kehidupan dan kemanusiaan. (Dr. Aprinus Salam, dosen Pascasarjana Prodi Sastra FIB UGM)


Membaca buku Ririe Rengganis saya tak merasa membaca puisi yang ditulis oleh penyair yang kebetulan berjenis kelamin perempuan, melainkan saya menemukan jagad dan carapandang perempuan yang senantiasa dibekap luka, dipinggirkan, dan banyak diatur atau dikonstruksikan sedemikian rupa dalam kaitannya dengan relasi perempuan-lelaki. Ririe Rengganis menolak menjadi penunggu hasil buruan sang pemburu, karena sesungguhnya dia bukan saja mampu melainkan juga berhak memanggul panah untuk berburu. Ririe Rengganis dilingkup luka justru karena menggugat konstruksi, dan dia tak menyesalinya jika luka demi luka, kegetiran demi kegetiran, dan celaan demi celaan harus dia sandang. Ya, kenapa mesti berkompromi pada konstruksi jika konstruksi bukanlah guratan takdir Ilahi.... (Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa)