Minggu, 25 Desember 2011

Januari50K: Pelahap

Ririe Rengganis

Sinopsis


Aku terlahir sebagai manusia. Ibu dan Ayahku pun manusia, yang mengajarkan banyak sekali tentang nilai-nilai kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Sayangnya, suatu ketika aku mesti masuk ke dalam sebuah dunia yang begitu ajaib di mataku. Bagaimana tidak ajaib? Ketika aku melihat seorang manusia melahap meja, kursi, lembaran uang, gedung, bahkan manusia lainnya.

Aku terlahir sebagai manusia dan kini aku terjebak dalam sebuah dunia ajaib. Aku mesti bertahan untuk tetap menjadi manusia. Aku mesti bertahan dan menyelamatkan mereka, embrio-embrio manusia yang baru saja belajar menjadi manusia. Aku mesti bertahan, meski kadang tubuhku dijilat manusia-manusia berkepala besar dan berperut buncit itu. Aku mesti bertahan, meski kadang butir-butir keringatku disedot manusia-manusia bermulut lebar itu.

Aku terlahir sebagai manusia. Ketika aku terjebak dalam sebuah dunia ajaib, aku bertahan untuk tetap menjadi manusia. Mampukah aku berjuang sendiri dalam menyelamatkan embrio-embrio manusia yang baru belajar menjadi manusia itu? Mampukah aku tetap menjadi manusia yang memanusiakan manusia di antara manusia-manusia pelahap itu?



(155 kata)

Sabtu, 24 Desember 2011

Malam Natal yang Lain




Oleh: Ririe Rengganis



Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Malam ini aku melihatmu kembali memimpin misa di gereja kecil di pinggir kota. Tatapan mata yang sama dengan belasan tahun lalu. Bahkan aku masih dapat melihat tatapan mata itu dari bangku paling belakang di gereja.

Lepas misa, beberapa gadis belia menghampirimu. Bahasa tubuh yang terbaca dari mata ini: mereka datang untuk menggodamu dengan alasan ingin diberkati olehmu. Aku tersenyum melihat mereka. Aku tersenyum melihatmu melayani mereka dengan sopan. Memang begitulah seharusnya, menggembalakan mereka memang memerlukan kesabaran lebih.

Lepas misa, kita pulang bersama. Menyusuri jalan itu. Jalan yang masih sama dengan belasan tahun lalu. Aku melihat tatapan mata itu, harapan itu masih ada. Entah kapan harap itu bukan sekadar harap. Kita saling bicara, meski mulut kita tidak pernah terbuka.

Negeri ini masih saja menolak jalan kita. Haruskah kita terbang ke negeri tetangga untuk menyatukan mimpi?

Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Itu saja. Lantas mengapa kita mesti peduli pada negeri ini? Negeri yang mengajari mencaci yang lain, tetapi sering kali melupakan daki di tengkuk sendiri.

Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Tidak ada yang salah. Biarkan saja mulut-mulut mereka berserapah. Toh, kita tidak akan menyerah. Pada segala yang telah tersimpan di dalam hati selama belasan tahun ini. Belasan tahun selanjutnya. Pun puluhan tahun mendatang. Hingga kita berdua menutup mata bersama.

:Bahwa Tuhan itu satu.



(24 Desember 2011)

Sabtu, 17 Desember 2011

ketika hujan tiba senja




Oleh: Ririe Rengganis



hujan menangis.
airmata mengalir
pada jendela.

dalam tangis,
aku merapal
entah doa atau mantra.

tiada beda.
dengan satu harap,
esok kau tersenyum.

dalam sejuk embun,
hangat mentari pagi.
itu saja.



15 Desember 2011

Rabu, 07 Desember 2011

kemarin, hari ini, dan esok.




Oleh: Ririe Rengganis



kemarin, aku mesti belajar berbesar hati. ketika semua caci dilempar ke wajah tanpa henti. ketika semua usahaku mewujudkan mimpi anak-anakku mesti dijegal kata berbelati. ketika semua kataku dianggap sebagai pembelaan diri. ketika semua argumenku mesti berhadapan dengan manusia-manusia tanpa hati dan akal budi. ketika lidah-lidah itu tidak pernah henti menguliti hati.

hari ini, aku mesti belajar berbesar hati. ketika ternyata keringatku tidak pernah cukup memberi minum atas haus anak-anakku. ketika ternyata hela nafasku tidak pernah cukup memberi makan atas lapar anak-anakku. ketika semua lelah langkahku mesti berujung protes ketidakpuasan atas keingintahuan anak-anakku.

esok, aku mesti belajar berbesar hati. untuk sekian ribu ketidakpuasan lain. untuk sekian ribu keinginan. untuk sekian ribu makian. untuk sekian ribu entah.



(8 Desember 2011)

Minggu, 04 Desember 2011

kisah bulan merah




Oleh: Ririe Rengganis



sssttt ….
bulan merah
merekah
di ujung jendela.

cantik dan memikat.
mengundang
bintang-bintang
mendekat. memeluk erat.

satu, dua, tiga
hingga ribuan bintang.
memeluk bulan merah
begitu rupa.

dalam diam, pecah tangis
bulan merah. runtuh
bersama jatuh
sang embun.



(28 November 2011)