Rabu, 28 Januari 2009

Pengkhianat Berwajah Malaikat

: untuk gdk


ketika ku bertemu denganmu
setahun lalu
di ruang tamu rumahku,
ku pikir dirimu berbeda
meski kadang kerja pikiran tak selalu benar
karena kebenaran itu relatif (seperti kuliah filsafat, yang seringkali kau dengungkan)

perjalanan waktu,
ku lihat ada yang mulai berubah darimu
mulai sering naik pitam, untuk alasan-alasan yang kadang tak jelas
alasan-alasan yang kadang kau buat
untuk memicu pertengkaran
seperti bensin yang kau tuang pada api yang kau buat sendiri

kemarin, lepas lebaran
ketika kau undang diriku
datang ke rumahmu
untuk kenal dengan keluargamu
kau tawarkan setumpuk harap
tentang impian
(ternyata memang hanya impian)

kemarin, sebelum tulisan ini ku buat
seorang perempuan datang padaku lewat sms
mengatakan bahwa aku ini pecundang yang merebut
calon suami orang
perempuan yang baru kau kenal 20 hari lalu

pesanku hanya satu:
menikahlah dengannya jika memang dirinya lebih sempurna
menikahlah dengannya jika memang dirinya dapat membuatmu nyaman
menikahlah dengannya
dengan satu syarat: tinggalkan aku dan didik istrimu untuk tidak mengatakan orang lain sebagai pecundang, sementara dirinya adalah pecundang yang hadir di antara kita.
didiklah istrimu untuk lebih memahami perasaan perempuan
meski kemarin ia berbicara "atas nama sesama perempuan",
maaf, kalau boleh aku mengumpat: BULLSHIT !!!
semua kata-kata istrimu itu adalah sebenarnya
"damai-damai palsu yang kelak akan mengurung kebebasanmu,
kebebasan pikiranmu, kebebasan perasaanmu"
(seperti kau pernah bilang padaku dulu)

ketakutanmu akan pernikahan seperti yang pernah kau kutbahkan padaku
akan terjadi segera.
sama persis seperti yang kau bayangkan.

dengan jelas, tampak di depan mataku
ketika kau sama sekali tak memiliki privacy
hanya untuk menerima pesan singkat dari keluargamu.
dia akan jadi bayanganmu, yang membelenggu kebebasan
yang selalu kau inginkan.

hari ini, ketika ku sampai pada satu kesimpulan:
bahwa dirimu adalah
pengkhianat berwajah malaikat

hingga teman kecilku, datang pagi ini
ketika semalam, ia tahu aku menangis di sudut kamar semalaman
menangisi kebodohanku, karena mempercayai lidah ularmu
selama setahun ini

menangisi kebodohanku, telah membuang waktu dan tenaga
untuk lelaki pengecut
yang bahkan tak berani menatap mataku
ketika kita berbicara
untuk lelaki pengecut
yang tak berani meminta maaf pada Ibuku
atas harapan-harapan yang telah dituai sendiri.
untuk lelaki pengecut
yang selalu berlari dari
masalah yang dibuatnya sendiri

(terima kasih, teman kecilku.
untuk menampung tangisku, di dada bidangmu
untuk mendengar kecewaku
untuk mengelus punggungku, seraya berkata:
kelak KARMA Tuhan akan berlaku padanya,
orang yang selalu menyakiti hatimu, hati Ibumu)

Jumat, 09 Januari 2009

perjalanan

ketika seorang putri
dilahirkan di antara para ksatria
tak ada yang istimewa, seperti yang diharapkan seharusnya: biasa-biasa saja

sejak itu pula, hari-harinya dilalui dengan biasa-biasa saja...

ketika ia beranjak dewasa sekali pun, hari-harinya masih biasa-biasa saja
ditempa di kawah candradimuka bersama para ksatria
entah apa tujuan, sang resi...

ketika putri-putri lain bercerita tentang pangeran hati mereka,
ia hanya mendengar, tak bercerita sepatah pun
tetapi ia dapat merasakan suka cita teman-temannya..

ketika putri-putri lain bercerita tentang pangeran hati mereka, yang tak sesuai keinginan mereka
ia pun hanya mendengar, masih tak bercerita sepatah jua
tetapi ia mampu merasakan duka cita mereka...

meski wajahnya, biasa-biasa saja
terpapar kerasnya tempaan hidup,
dalam hatinya, ia adalah putri cantik
tercantik, bahkan

ia selalu tersenyum
meski hatinya menangis