Rabu, 03 Desember 2008

Tuhan, izinkanku....

luka menganga
kembali
sekali lagi

harapan sirna
kembali
sekali lagi

Tuhan, izinkanku
marah padaMu
sekali ini

Amin.

Rabu, 19 November 2008

Ku Ingin

Ku ingin
menjadi air yang menitik setetes demi setetes di atas sebuah batu cadas

Ku ingin
menjadi embun yang menetes di atas rumput liar

Ku ingin
menjadi oase di padang gurun

untukmu, semoga...

Harapan, Ku Harap...

untuk gdk

"Dan, aku hanya bisa berdoa bahwa isyarat yang dikirim Tuhan dulu
tak pernah salah...
Bahwa dirimu adalah matahariku ketika pagi datang menjelang...
dan rembulanku ketika malam datang.
Bahwa dirimu adalah malaikat pelindungku, selalu..."

Minggu, 26 Oktober 2008

Kembara Angan

Kemarin, telah ku lepaskan segala angan.
tentang dirimu.
tentang kita.

Kemarin, telah ku lepaskan segala angan.
tanpa keraguan.
tanpa air mata.
tanpa duka.

tak seperti biasanya.

Ku lepaskan semua harapan
yang sempat meraja dalam sukma.

Telah ku tegaskan dalam jiwa,
bahwa Tuhan mungkin punya rencana terbaik dalam hidupku kelak.

Ketika, ku bangun pagi ini di kotamu
telah ku temukan diriku
menjelma kupu-kupu
yang siap terbang
bebas
ke angkasa raya
tanpa ragu

Telah ku tegaskan dalam jiwa,
bahwa tak perlu ada lagi air mata duka.

seorang teman masa kecilku berkata
dalam kelakarnya:

kadang, dirimu itu ibarat Savitri,
begitu mengharap nyawa Setiawan pada Yamadipati.
(begitu gigih, katamu)

kadang, dirimu itu ibarat Sumbadra,
begitu rela membagi belahan jiwa.
(begitu legawa, katamu)

kini, kulihat dirimu ibarat Srikadi,
yang siaga menghadapi Bhisma
dalam Kurusetra
yang sigap menyelesaikan Mahabharata
seorang diri
(begitu ksatria, katamu)

Teman masa kecilku berkata
masih dalam kelakarnya:

nona kecil itu
kini menjelma ratu
yang begitu mirip dengan arca batu
dingin

"kita berdua tertawa, setelahnya"

Akhirnya, teman masa kecilku berkata
masih dalam kelakarnya:

pangeran itu tak akan datang sekarang,
karena ia begitu bodoh
tak mampu melihat mutiara dalam jiwa
tak mampu meraba sutra dalam sukma

pangeran ini, yang akan selalu menjagamu,
dalam tawamu
dalam dukamu
bahkan, dalam tidurmu
karena pangeran ini juga begitu bodoh
mirip dengan kodok,
yang hanya menyanyi dalam hujan
yang hanya mampir sebagai pelipur
yang kemudian kabur...

"kita berdua tertawa
setelahnya, kita berpelukan"

di bawah rintik hujan.

(Yogyakarta, 27 Oktober 2008)

Jumat, 24 Oktober 2008

Ku Tunggu JawabMU

Ketika ternyata...
Perjalanan lalu memberiku sebuah ketakutan lain...
aku hanya mampu terduduk
di sudut sunyi dalam hati

Ketakutan itu terjawab,
menyisakan tanya
menyisakan putus asa

Ketakutan yang membuatku
termangu
ragu
layu

bahwa ku tak mampu
mewujudkan mimpi Ibu
sebelum nafas keluar dari tubuhku

bahwa ku sangsi
mampu menjadi anak berbakti
sebelum ku mati

Ketakutan, yang telah memberiku luka baru
luka yang mungkin tak akan pernah menutup lagi

Ketakutan, yang telah membuatku
kembali pada dosa yang pernah ingin ku tinggalkan
dosa yang membuahkan kepedihan di hati Ibu
dosa yang bukan keinginanku

ketika ku berjanji di bawah kaki Ibu
"aku akan kembali berjalan dengan kepala tegak, Ibu.
meski mereka tak henti memandang hina padaku.
Karena Tuhan tak pernah tidur, seperti katamu."

ketika kini, mereka masih memandangku hina
aku pun bertanya: untuk apa aku berusaha mengubah pandangan mereka tentangku.
biar saja, apa pun pendapat mereka.
ketika akhirnya, aku lakukan dosa yang sama lagi.
akibat pandangan hina itu tak pernah sirna...

pagi ini, ku bersimpuh di kakiMU
dengan airmata penyesalanku
mengharap ampunanMU
untuk kesekian....

sekaligus, ingin ku sampaikan keberatanku padaMU: apa salahku, Tuhan???

mengapa KAU tak pernah berhenti
bermain bola dengan hatiku?

Apakah karena KAU begitu mencintaiku begitu rupa?

Selasa, 14 Oktober 2008

Sebuah Perjalanan

Kemarin, ketika ku berada dalam sebuah perjalanan ke rumahmu
Ada sedikit senang, ragu, dan ketakutan....

Senang???
Ya, senang
Senang, karena akan bertemu denganmu
"seseorang yang telah menemaniku dengan kehadirannya"
Senang, karena akan bertemu dengan Ibumu
"seseorang yang telah melahirkanmu ke dunia"
Senang, karena akan melihat kampung halamanmu
"tempat di mana dirimu tumbuh dan ditempa oleh hidup"

Ragu???
Ya, ragu
Ragu, akankah dirimu orangnya?
"yang telah dikirim Tuhan untuk menemani sisa usiaku"
Ragu, akankah keluargamu menerimaku?
"yang kelak tidak akan melemparku seperti yang lain"
Ragu, akankah tempat itu tidak akan membuatku terluka lagi?
"yang pernah kualami sebelum ini"

Ketakutan???
Ya, ketakutan
Ketakutan, akankah dirimu menerimaku "seutuhnya"?
"yang tak akan mencampakkanku, setelah tahu sebuah rahasia besar"
Ketakutan, akankah keluargamu menerimaku?
"yang tulus menerimaku, lahir dan batin"

Ketika perjalanan itu berakhir, aku hanya menyimpan satu harap:
"bahwa kelak perjalanan itu akan berakhir bahagia
dan bukan hanya mimpi indah semata"

"bahwa kelak aku mampu mewujudkan impian dan doa Ibuku,
ketika nafas masih berada dalam ragaku"

"bahwa kelak, ada seorang Pangeran,
yang bersamanya akan kuhabiskan sisa usiaku"


(Catatan dari Purworejo, 9 Oktober 2008; 23.45)

Selasa, 23 September 2008

sekadar renungan

cinta kadang hanya menurutkan perintah hati,
meski kadang juga menurutkan pendapat otak.

cinta belum berbahaya sebelum mendalam,
jikalau sudah, cinta kadang merusak kemauan dan kekerasan hati.

jika cinta itu tertolak atau terpaksa ditolak oleh keadaan yang ada di sekelilingnya,
maka hapuskan perasaan itu dari hatimu.

jika masih saja terpikir,
maka pikirkan bahwa emas tak setara dengan loyang.
bahwa sutera tak sebangsa dengan benang.

Senin, 22 September 2008

sekadar pemikiran

Sebuah cerita telah membuatku merenung….
Sebenarnya dalam hidup manusia : lahir, rizki, jodoh, dan maut adalah urusan Tuhan.

Andai semua orang paham tentang itu.
Andai orang-orang di sekitarku tak lagi bertanya : kapan aku menikah?
Sayangnya, mereka tak pernah lelah untuk bertanya hal itu terus menerus….

Akhirnya, aku yang lelah menjawab….
Dan, aku lebih memilih untuk tersenyum menjawab, jika aku memang ingin tersenyum seraya berkata: “Mohon doanya saja….”

Dan, aku lebih memilih diam untuk menjawab, jika aku memang ingin diam seraya pergi meninggalkan sang penanya.
Meski kadang dalam hati ku ingin berteriak: tolong hentikan bertanya itu, aaargh !!!!!

Ibu dan Ayahku memang tak pernah bertanya lagi soal kapan aku menikah di hadapanku.
Entah karena apa, mengapa, siapa, dan bagaimana mereka tak lagi bertanya soal pernikahanku selama dua tahun terakhir.
Atau mungkin juga mereka berdua masih sering bertanya soal pernikahanku di belakangku?
Aku tak tahu, dan tak ingin tahu….

Sampai sebuah cerita membuatku merenung….
Ternyata, urusan menikah bukan hanya urusan Tuhan bagi manusia yang “peduli” soal pernikahan orang lain (macam orang-orang di sekelilingku yang selalu bertanya kapan aku menikah, macam lebah-lebah yang berdengung tak henti-hentinya).

Ternyata, urusan menikah juga menjadi tanggung jawab manusia secara sosial.
Dan, secara sosial manusia (apalagi perempuan) harus dihadapkan pada 4 pilihan untuk menentukan dengan siapa ia akan menikah (apalagi jika usianya sudah menginjak kepala tiga seperti diriku).

Pilihan pertama, menikah dengan orang yang kita cintai dan orang itu juga mencintai kita. Pilihan ideal dalam menikah. Cita-cita setiap orang yang menikah bahwa mereka akan hidup selamanya dengan orang yang mereka cintai dan mencintai kita.

(Sepertinya pilihan ini telah kulewati masanya, pilihan ideal itu tak pernah benar-benar ada menurutku. Itu hanya ada dalam dongeng-dongeng yang kubaca sejak kecil. Dongeng yang bercerita tentang seorang putri cantik yang bertemu dengan pangeran tampan, kemudian mereka jatuh cinta, dan menikah untuk hidup bahagia selamanya. They lived happily ever after. Dongeng yang menjerumuskan, karena menurutku setiap orang menikah pasti memiliki motif. Macam orang yang ingin berbuat jahat, perampok misalnya, mereka akan merampok jika mereka punya motif.)

Pilihan kedua, menikah dengan orang yang tidak kita cintai dan sayangnya, orang itu mencintai kita. Sebagai anak (apalagi perempuan), seringkali aku mendapat nasihat dari orang-orang tua di sekelilingku: jangan terlalu mencintai lelaki secara berlebihan, biarkan lelaki itu yang mencintaimu dengan berlebihan, maka hidupmu akan bahagia selamanya, segala kebutuhanmu akan ia sediakan dan ia akan menuruti semua kata-katamu tanpa kecuali….

(Benarkah demikian? Menurut berita-berita di televisi dan media massa cetak yang pernah kusaksikan: pernikahan macam ini malah membawa bencana bagi perempuan dan bukan kebahagiaan. Ketika sang lelaki terlalu mencintai perempuan dengan sepenuh hati mereka, cemburu yang mereka punya pun sepenuh hati. Dan, kita tidak akan pernah bisa berkarya seperti kemauan kita. Tidak boleh berhubungan dengan orang lain, meski hanya sebatas urusan kerja. Atas nama cinta, mereka akan bilang: Karena aku mencintaimu, aku tak ingin kau melakukan ini itu dengan berlebihan. Bagiku, itu bukan cinta. Pemenjaraan perempuan dalam sebuah label pernikahan.)

Pilihan ketiga, menikah dengan orang yang tidak kita cintai dan orang itu ternyata juga tidak mencintai kita. Pilihan seperti ini sering kujumpai dari perjodohan. Biasanya, anak (perempuan) yang telah melewati masa kadaluarsa untuk menikah akan dijodohkan dengan lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya, apalagi dicintainya. Lha, kenal saja belum, bagaimana bisa bilang cinta? Mustahil, kata ABG sekarang. Akan tetapi, menurut orang-orang tua: kami dulu juga menikah dengan cara demikian dan bisa terus langgeng sampai sekarang. Cinta bisa dipelajari. Cinta bisa ditumbuhkan. Macam pohon yang bisa tumbuh dengan subur jika kita menyirami dan memupuknya setiap hari. Bahkan ada pepatah Jawa yang bilang : witing tresna jalaran saka kulina (cinta dapat tumbuh karena adanya kebiasaan).

(Pilihan ini membuatku mengernyitkan dahi. Bagaimana pernikahan yang demikian bisa membahagiakan? Logika yang membingungkan. Contoh-contoh soal yang pernah kulihat tentang pernikahan seperti ini malah memiliki kecenderungan tidak membahagiakan, rumah tangga berantakan, broken home, dan yang terburuk adalah perceraian menjadi pilihan terakhir. Anak-anak yang lahir dari pernikahan seperti ini cenderung terlantar, lahir dan batin. Dan, aku tak ingin anak-anakku mengalami nasib demikian.)

Pilihan keempat, menikah dengan orang yang kita cintai dan payahnya, orang itu ternyata tidak mencintai kita. Ibarat menikah dengan seorang monster, drakula atau makhluk-makhluk menyeramkan lainnya. Tentang ini, Ibuku pernah berkata: “Jangan pernah berharap akan mengubah sifat dan perilaku seseorang. Jangan pernah berharap bahwa kamu bisa mengubah hati seseorang untuk bisa mencintaimu. Tak akan pernah bisa, karena hati manusia kadang lebih keras dari batu hitam yang bisa berlubang oleh tetesan air setiap harinya. Menikah dengan lelaki seperti ini hanya akan menciptakan neraka dalam duniamu.”

(Pilihan ini membuatku merinding. Tentu saja aku tak ingin menciptakan neraka bagiku dan anak-anakku kelak. Dulu, ketika aku masih sangat belia: aku pernah mencintai lelaki dan ku pikir lelaki itu juga mencintaiku. Ternyata tidak, dia hanya mencintai tubuhku. Dan, lantas meninggalkanku ketika ia menemukan tubuh yang lebih menarik dari tubuhku. Tubuh yang lebih ranum, lebih belia, lebih segar. Musang berbulu domba. Ibuku bilang: kelak lelaki itu akan menemui karma-Nya.)

Dan, ketika urusan jodoh menjadi urusan bagi manusia lainnya, aku hanya bisa menyerah….
Ketika seorang lelaki kecil dan mungil tersenyum padaku pada sebuah perjalanan….
Lelaki kecil, malaikat kecil yang telah lama ingin ku miliki, tapi tak mungkin….
Norma masyarakat tak akan pernah mengizinkanku memiliki “malaikat kecil” nan lucu itu sebelum menikah….
Meski aku tak ingin menikah sebenarnya, dengan pertanyaan besar di kepala, yang tak pernah bisa ku jawab hingga sekarang: Apa sebenarnya tujuan orang menikah?

Bahagia? Lantas, mengapa masih banyak kasus KDRT; terikat dalam pernikahan, tetapi juga terlibat dalam perselingkuhan; intervensi pihak-pihak lain dalam sebuah rumah tangga yang membuat keluarga itu jadi “ambruk”, anak-anak korban “broken home”; yang beruntung adalah mereka yang bisa bercerai dengan selamat tanpa tersakiti secara fisik dan mental oleh pasangan (yang awalnya punya cita-cita untuk membahagiakan kita, tetapi buktinya???).

Meneruskan keturunan? Kalau hanya untuk itu, lebih baik adopsi saja anak-anak yang sudah terlanjur lahir sementara orang tuanya malah ingin membinasakan sang anak yang tanpa dosa. Berbuat baik pada sesama sekaligus tanpa membuat jumlah penduduk dunia kian meningkat.

Banyak lagi alasan, dasar, dan pendapat yang diajukan untuk “mengajak” menikah orang-orang yang belum menikah (meski usianya dapat dibilang uzur untuk ukuran masyarakat kita, Indonesia.), tetapi bagiku belum ada dasar yang tepat yang bisa memaksaku untuk menikah dalam waktu dekat, kecuali satu hal: karena aku memang ingin menikah. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan lanjutan: Jika tidak ingin menikah? Jawabnya: Nikmati saja hidup ini seperti sekarang. Bebas. Merdeka !!!!!

Yogyakarta, 23 September 2008

Senin, 08 September 2008

mendung

mentari telah pergi
meninggalkan mendung di hati

kelak, hujan akan turun membasahi bumi
tanpa pelangi mengakhiri

dan, aku hanya bisa berlari
tanpa henti
meninggalkan sepi yang tak terperi...

(yogyakarta, 9 september 2008)

Rabu, 27 Agustus 2008

hanya sebuah catatan

ketika aku dilahirkan ke dunia oleh ibuku 30 tahun lalu,
ayahku memberiku nama rengganis sebagai nama belakangku...
waktu itu, aku belum tahu apa artinya.

ketika aku beranjak dewasa,
aku pun bertanya pada ayah, apa sebenarnya arti nama rengganis itu?
ayah bilang: adalah nama burung berkicau, burung mungil berbulu coklat muda yang rajin berkicau tanpa henti, tanpa kenal lelah menggembirakan orang lain yang mendengar kicauannya.
harapan ayah: aku terus berkarya tanpa kenal lelah untuk orang-orang di sekitarku.
semoga itu terwujud kelak.

ketika usiaku beranjak lebih dewasa,
aku pun mencari tahu, apa sebenarnya arti nama rengganis itu?
satu buku menjawab: adalah nama seorang dewi yang turun dari kahyangan hanya untuk menikmati keindahan taman bunga milik seorang pangeran di bumi.
menikmati dengan memetiki setiap kuntum bunga yang bermekaran di taman itu, membuat sang pangeran sedikit gemas karena ada yang dengan sengaja merusak taman bunga kesayangannya.

ketika sang pangeran ingin mencari tahu siapa gerangan yang telah merusak taman bunga kesayangannya? ternyata seorang putri cantik bernama rengganis.

sang pangeran pun jatuh hati, hingga akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selamanya...

ketika usiaku beranjak lebih dewasa,
aku pun masih mencari tahu, apa arti nama rengganis itu?
satu buku lain menjawab: adalah nama seorang perempuan hebat yang dengan teguh menjaga keperawanan hingga ia menikah, mencarikan madu bagi suaminya, dan menyelamatkan kerajaan suaminya ketika musuh menyerang, seperti Srikandi dalam Kurusetra.

ketika aku merasa telah terlalu tua untuk bertualang,
di sebuah sudut sunyi, kusadari bahwa...
nama itu seperti kutukan untukku...
terlalu berat untuk kusandang...
banyak harapan yang tak terkabul, mungkin...

harapan ayahku, harapan ibuku...
harapan dongeng-dongeng itu....

dan, aku hanya mampu menjadi rengganis, tanpa arti...

"burung itu tak lagi gesit, kedua sayapnya terluka.
meski kedua matanya masih waspada.
hujan hanya sarana menyamarkan airmata, bukan sarana penyemai cinta."

"hujan akan terus turun untuk menyamarkan airmataku,
membasuh darah dari luka baruku, luka yang selalu terbuka kembali sebelum mengatup. dan, aku hanya bisa berkata: keajaiban itu tak pernah ada untukku."

"hujan telah lama turun, beku... reranting telah berbunga sewarna, ungu...
kicauan rengganis masih terdengar miris...
sepasang sayapnya masih terluka, ia tak lagi mampu mengepak."

"ungu itu sendu, kata orang.
ungu itu syahdu, kataku.
ungu itu misteri hati, misteri nyeri, misteri illahi.
ungu itu kalbu, mendayu dalam syahdu, sangat merdu dalam hatiku."

di sebuah sudut, dalam keramaian, hingar bingar..
kalbu menggumam :
"romantika cinta itu milik belia, sepenggal roman picisan
yang mudah usang karena masa,
membekas lara, tanpa airmata.
Duka telah membatu dalam kalbu."

(27 Agustus 2008)

mutiara dan kupu-kupu

"mutiara itu cantik, putih, kemilau, abadi...
berharga, sejak mula...

tidak dengan kupu-kupu, yang mesti berjuang,
dari pupa lalu kepompong...

kecantikan kupu-kupu pun tak abadi, sebelum akhirnya mati"

(untuk lelaki yang tak pernah menganggapku ada dalam hidupnya: ternyata hanya ada mutiara dalam hatimu), 27 Agustus 2008.

aku

saat cinta berbalas dusta,
saat mimpi menjadi nyeri,

aku hanya bisa berkata:
"ternyata aku bukanlah siapa-siapa untukmu"
hanya perempuan dungu, yang terbujuk rayu...

dan itu, aku...

lelah

aku hanya jengah, lelah...
ketika sepasang sayapku patah,
Mahabharata belum usai..
biar Srikandi di jalannya.
biar Sumbadra tetap di jalannya.
hingga angkara Karna paripurna

(1 Juni 2008)

sekadar catatan kecil

aku pernah menatap cinta, tapi tak kuasa...
karena cahayanya terlalu sempurna.
lalu aku ingin memaknai airmata, tapi tak bisa...
karena aku hanya hamba.
akhirnya, aku hanya bisa merangkai kalimat cinta...
bukan untuk siapa saja.
hanya untuk menenangkan hati, bahwasanya aku manusia biasa.

(1 Juni 2008)

lara

rindu membeku dalam kalbu...
sepasang sayap itu, pun tak mampu mengepak...
lemah, tanpa daya...
dan, rindu pun hanya membekas lara dan airmata

(14 Oktober 2007)

Lelaki Pejantan

Semburat senja jingga merona pada helai rambutnya...
Sayu matanya tak pernah lepaskan duka....

"Hai, jantan !!!
Ternyata lidahmu berdusta, ludahmu berbisa..."

(lelaki yang hanya mampu jadi pejantan: selalu ada darma dan karma)
- 21 Agustus 2007 -

Setahun berlalu, ternyata sakit itu masih tertinggal di sana...

persimpangan

persimpangan jalan itu selalu ada...
dan, aku tak tahu kemana aku harus melangkahkan kaki...

(poem for all the men that i ever met, 26 Oktober 2007)

kupu-kupu

untuk bram seto


Kupu-kupu itu cantik
Meski aku tak secantik kupu-kupu...

Kelak, aku ingin jadi kupu-kupumu...
Terbang dan hinggap di hatimu,
tanpa menyakitimu seperti kupu-kupu yang tak pernah menyakiti kelopak bunga...

Kelak, aku ingin terbang di sisimu selamanya...

Jika kau izinkan...


cinta itu apa?

Ketika cinta harus menabrak dinding pembatas
maka cinta laksana ombak menabrak karang di bibir pantai

Ketika cinta harus berhadapan dengan norma
maka cinta laksana dosa terlarang yang haram didekati

Ketika cinta harus berhadapan dengan kasta
maka cinta laksana bumi dan langit terpisah horison, entah dimana

Begitu banyak laksana cinta
meski hanya satu bentuk tersimpan dalam nurani

(14 Juni 2008)

mawar ungu

kelopak ungu luruh satu-satu
duri tajamnya tak lagi mampu menusuk ulu
sembilu telah menghunus dalam akar
menyayat duka, seabadi jingga

(15 September 2007)