Selasa, 23 September 2008

sekadar renungan

cinta kadang hanya menurutkan perintah hati,
meski kadang juga menurutkan pendapat otak.

cinta belum berbahaya sebelum mendalam,
jikalau sudah, cinta kadang merusak kemauan dan kekerasan hati.

jika cinta itu tertolak atau terpaksa ditolak oleh keadaan yang ada di sekelilingnya,
maka hapuskan perasaan itu dari hatimu.

jika masih saja terpikir,
maka pikirkan bahwa emas tak setara dengan loyang.
bahwa sutera tak sebangsa dengan benang.

Senin, 22 September 2008

sekadar pemikiran

Sebuah cerita telah membuatku merenung….
Sebenarnya dalam hidup manusia : lahir, rizki, jodoh, dan maut adalah urusan Tuhan.

Andai semua orang paham tentang itu.
Andai orang-orang di sekitarku tak lagi bertanya : kapan aku menikah?
Sayangnya, mereka tak pernah lelah untuk bertanya hal itu terus menerus….

Akhirnya, aku yang lelah menjawab….
Dan, aku lebih memilih untuk tersenyum menjawab, jika aku memang ingin tersenyum seraya berkata: “Mohon doanya saja….”

Dan, aku lebih memilih diam untuk menjawab, jika aku memang ingin diam seraya pergi meninggalkan sang penanya.
Meski kadang dalam hati ku ingin berteriak: tolong hentikan bertanya itu, aaargh !!!!!

Ibu dan Ayahku memang tak pernah bertanya lagi soal kapan aku menikah di hadapanku.
Entah karena apa, mengapa, siapa, dan bagaimana mereka tak lagi bertanya soal pernikahanku selama dua tahun terakhir.
Atau mungkin juga mereka berdua masih sering bertanya soal pernikahanku di belakangku?
Aku tak tahu, dan tak ingin tahu….

Sampai sebuah cerita membuatku merenung….
Ternyata, urusan menikah bukan hanya urusan Tuhan bagi manusia yang “peduli” soal pernikahan orang lain (macam orang-orang di sekelilingku yang selalu bertanya kapan aku menikah, macam lebah-lebah yang berdengung tak henti-hentinya).

Ternyata, urusan menikah juga menjadi tanggung jawab manusia secara sosial.
Dan, secara sosial manusia (apalagi perempuan) harus dihadapkan pada 4 pilihan untuk menentukan dengan siapa ia akan menikah (apalagi jika usianya sudah menginjak kepala tiga seperti diriku).

Pilihan pertama, menikah dengan orang yang kita cintai dan orang itu juga mencintai kita. Pilihan ideal dalam menikah. Cita-cita setiap orang yang menikah bahwa mereka akan hidup selamanya dengan orang yang mereka cintai dan mencintai kita.

(Sepertinya pilihan ini telah kulewati masanya, pilihan ideal itu tak pernah benar-benar ada menurutku. Itu hanya ada dalam dongeng-dongeng yang kubaca sejak kecil. Dongeng yang bercerita tentang seorang putri cantik yang bertemu dengan pangeran tampan, kemudian mereka jatuh cinta, dan menikah untuk hidup bahagia selamanya. They lived happily ever after. Dongeng yang menjerumuskan, karena menurutku setiap orang menikah pasti memiliki motif. Macam orang yang ingin berbuat jahat, perampok misalnya, mereka akan merampok jika mereka punya motif.)

Pilihan kedua, menikah dengan orang yang tidak kita cintai dan sayangnya, orang itu mencintai kita. Sebagai anak (apalagi perempuan), seringkali aku mendapat nasihat dari orang-orang tua di sekelilingku: jangan terlalu mencintai lelaki secara berlebihan, biarkan lelaki itu yang mencintaimu dengan berlebihan, maka hidupmu akan bahagia selamanya, segala kebutuhanmu akan ia sediakan dan ia akan menuruti semua kata-katamu tanpa kecuali….

(Benarkah demikian? Menurut berita-berita di televisi dan media massa cetak yang pernah kusaksikan: pernikahan macam ini malah membawa bencana bagi perempuan dan bukan kebahagiaan. Ketika sang lelaki terlalu mencintai perempuan dengan sepenuh hati mereka, cemburu yang mereka punya pun sepenuh hati. Dan, kita tidak akan pernah bisa berkarya seperti kemauan kita. Tidak boleh berhubungan dengan orang lain, meski hanya sebatas urusan kerja. Atas nama cinta, mereka akan bilang: Karena aku mencintaimu, aku tak ingin kau melakukan ini itu dengan berlebihan. Bagiku, itu bukan cinta. Pemenjaraan perempuan dalam sebuah label pernikahan.)

Pilihan ketiga, menikah dengan orang yang tidak kita cintai dan orang itu ternyata juga tidak mencintai kita. Pilihan seperti ini sering kujumpai dari perjodohan. Biasanya, anak (perempuan) yang telah melewati masa kadaluarsa untuk menikah akan dijodohkan dengan lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya, apalagi dicintainya. Lha, kenal saja belum, bagaimana bisa bilang cinta? Mustahil, kata ABG sekarang. Akan tetapi, menurut orang-orang tua: kami dulu juga menikah dengan cara demikian dan bisa terus langgeng sampai sekarang. Cinta bisa dipelajari. Cinta bisa ditumbuhkan. Macam pohon yang bisa tumbuh dengan subur jika kita menyirami dan memupuknya setiap hari. Bahkan ada pepatah Jawa yang bilang : witing tresna jalaran saka kulina (cinta dapat tumbuh karena adanya kebiasaan).

(Pilihan ini membuatku mengernyitkan dahi. Bagaimana pernikahan yang demikian bisa membahagiakan? Logika yang membingungkan. Contoh-contoh soal yang pernah kulihat tentang pernikahan seperti ini malah memiliki kecenderungan tidak membahagiakan, rumah tangga berantakan, broken home, dan yang terburuk adalah perceraian menjadi pilihan terakhir. Anak-anak yang lahir dari pernikahan seperti ini cenderung terlantar, lahir dan batin. Dan, aku tak ingin anak-anakku mengalami nasib demikian.)

Pilihan keempat, menikah dengan orang yang kita cintai dan payahnya, orang itu ternyata tidak mencintai kita. Ibarat menikah dengan seorang monster, drakula atau makhluk-makhluk menyeramkan lainnya. Tentang ini, Ibuku pernah berkata: “Jangan pernah berharap akan mengubah sifat dan perilaku seseorang. Jangan pernah berharap bahwa kamu bisa mengubah hati seseorang untuk bisa mencintaimu. Tak akan pernah bisa, karena hati manusia kadang lebih keras dari batu hitam yang bisa berlubang oleh tetesan air setiap harinya. Menikah dengan lelaki seperti ini hanya akan menciptakan neraka dalam duniamu.”

(Pilihan ini membuatku merinding. Tentu saja aku tak ingin menciptakan neraka bagiku dan anak-anakku kelak. Dulu, ketika aku masih sangat belia: aku pernah mencintai lelaki dan ku pikir lelaki itu juga mencintaiku. Ternyata tidak, dia hanya mencintai tubuhku. Dan, lantas meninggalkanku ketika ia menemukan tubuh yang lebih menarik dari tubuhku. Tubuh yang lebih ranum, lebih belia, lebih segar. Musang berbulu domba. Ibuku bilang: kelak lelaki itu akan menemui karma-Nya.)

Dan, ketika urusan jodoh menjadi urusan bagi manusia lainnya, aku hanya bisa menyerah….
Ketika seorang lelaki kecil dan mungil tersenyum padaku pada sebuah perjalanan….
Lelaki kecil, malaikat kecil yang telah lama ingin ku miliki, tapi tak mungkin….
Norma masyarakat tak akan pernah mengizinkanku memiliki “malaikat kecil” nan lucu itu sebelum menikah….
Meski aku tak ingin menikah sebenarnya, dengan pertanyaan besar di kepala, yang tak pernah bisa ku jawab hingga sekarang: Apa sebenarnya tujuan orang menikah?

Bahagia? Lantas, mengapa masih banyak kasus KDRT; terikat dalam pernikahan, tetapi juga terlibat dalam perselingkuhan; intervensi pihak-pihak lain dalam sebuah rumah tangga yang membuat keluarga itu jadi “ambruk”, anak-anak korban “broken home”; yang beruntung adalah mereka yang bisa bercerai dengan selamat tanpa tersakiti secara fisik dan mental oleh pasangan (yang awalnya punya cita-cita untuk membahagiakan kita, tetapi buktinya???).

Meneruskan keturunan? Kalau hanya untuk itu, lebih baik adopsi saja anak-anak yang sudah terlanjur lahir sementara orang tuanya malah ingin membinasakan sang anak yang tanpa dosa. Berbuat baik pada sesama sekaligus tanpa membuat jumlah penduduk dunia kian meningkat.

Banyak lagi alasan, dasar, dan pendapat yang diajukan untuk “mengajak” menikah orang-orang yang belum menikah (meski usianya dapat dibilang uzur untuk ukuran masyarakat kita, Indonesia.), tetapi bagiku belum ada dasar yang tepat yang bisa memaksaku untuk menikah dalam waktu dekat, kecuali satu hal: karena aku memang ingin menikah. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan lanjutan: Jika tidak ingin menikah? Jawabnya: Nikmati saja hidup ini seperti sekarang. Bebas. Merdeka !!!!!

Yogyakarta, 23 September 2008

Senin, 08 September 2008

mendung

mentari telah pergi
meninggalkan mendung di hati

kelak, hujan akan turun membasahi bumi
tanpa pelangi mengakhiri

dan, aku hanya bisa berlari
tanpa henti
meninggalkan sepi yang tak terperi...

(yogyakarta, 9 september 2008)