Jumat, 05 Agustus 2011

Buku Puisi Terbaru - Ririe Rengganis




Endorsemen Buku Puisi Biji Bunga Matahari - Ririe Rengganis

Aku tercekat dan lantas tercenung.
Mengeja Biji Bunga Matahari adalah membaca penggalan kisah tentang hati yang biru.
Adalah membaca Ririe Rengganis yang menyukai sunyi tak terpahami.
Sunyi, biru, dan kelu. (Nusya Kuswantin, penulis novel Lasmi)


Kekauan, keakuan, dan kekitaan yang mengembang dalam dua kumpulan sajak yang disatukan menjadi Biji Bunga Matahari ini terasa nyalang di pigura dialektika. Kendati suatu dialektika telah banyak digarap penyajak, senantiasa ada ruang untuk menjejak dan menyatakan suatu sikap, meski tidak perlu dengan berteriak. Justru dengan komposisi lirih dan cenderung tidak menyentak, sajak-sajak dalam kumpulan ini mempunyai daya untuk membuka selubung rahasia, seberapa pun tipis dan tirusnya. Adanya ajakan untuk merenungkan lagi rahasia sejumlah relasi kemanusiaan inilah yang saya kira menjadi salah satu kekuatan sajak-sajak Ririe Rengganis di sini. (Ibnu Wahyudi, peminat puisi dan pengajar FIB UI)



Puisi-puisi Ririe Rengganis mengajak kita bagaimana mengelola kekecewaan, kepedihan, dan keterbatasan individual, dan menyiasatinya secara substansial. Puisi-puisinya juga bisa menjadi salah satu strategi bagaimana menawar luka dan kelam terhadap ranggasnya kehidupan dan kemanusiaan. (Dr. Aprinus Salam, dosen Pascasarjana Prodi Sastra FIB UGM)


Membaca buku Ririe Rengganis saya tak merasa membaca puisi yang ditulis oleh penyair yang kebetulan berjenis kelamin perempuan, melainkan saya menemukan jagad dan carapandang perempuan yang senantiasa dibekap luka, dipinggirkan, dan banyak diatur atau dikonstruksikan sedemikian rupa dalam kaitannya dengan relasi perempuan-lelaki. Ririe Rengganis menolak menjadi penunggu hasil buruan sang pemburu, karena sesungguhnya dia bukan saja mampu melainkan juga berhak memanggul panah untuk berburu. Ririe Rengganis dilingkup luka justru karena menggugat konstruksi, dan dia tak menyesalinya jika luka demi luka, kegetiran demi kegetiran, dan celaan demi celaan harus dia sandang. Ya, kenapa mesti berkompromi pada konstruksi jika konstruksi bukanlah guratan takdir Ilahi.... (Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa)

Tidak ada komentar: