Jumat, 31 Desember 2010

Sebab Aku Masih Memiliki Impian, Meski Tanpamu

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.
Ganang & Frida. Begitulah bunyi tulisan dengan tinta emas di atas sebuah kertas tebal berwarna merah marun. Sebuah undangan pernikahan. Baru saja sampai di tangan diantar seorang kurir tadi. Sedikit terkejut menerimanya, tetapi sudah ada pertanda sebelumnya. Beberapa pesan pendek memenuhi kotak pesan dalam telepon selularku seminggu lalu. Dari seorang perempuan bernama Frida. Perempuan yang akan dinikahi lelaki bernama Ganang. Lelaki yang pernah memberiku segenggam impian tentang membangun rumah harapan.

Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Setelah membaca undangan pernikahanmu. Bulan depan, tepat ketika aku harus memulai konsentrasi belajar di kampus biru. Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Sebab ia telah longsor bersama tetes-tetes airmata yang kian menderas dalam diam. Tanpa suara. Sebab ia telah dibongkar paksa tanpa pemberitahuan dari pemberinya.

***

Dingin masih menusuk tulang. Embun masih merangkai rayuan pada ujung-ujung daun di reranting pohon di depan kamar asrama. Tetangga kamar mungkin saja masih merangkai mimpi di peraduan, sedang aku masih terjaga di depan layar monitor. Ada banyak kertas yang harus dibereskan sebelum ayam jantan berkokok pagi ini. Tugas ini dan itu wajib diserahkan lengkap pada Ibu Dosen pagi ini. Tanpa alibi sedang patah hati.

Jemari tangan masih saja sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptop. Sementara mata masih sibuk mencari kata demi kata yang terselip di antara literatur-literatur bertumpuk di sisi lain meja. Setelah seluruh kata terangkai sempurna di atas kertas kerja, tiba saatnya untuk mengguyur tubuh. Mengguyur segala keluh tentang harapan yang luluh. Sedang di luar sana, sayup-sayup berkumandang azan Subuh.

***

Langkah kaki tergesa di atas trotoar sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Menunggu bus kota yang tak kunjung tiba. Ah, semoga tak terlambat, gumamku. Lima menit kemudian, sebuah bus kota berhenti di depan mata menyambut lambaian tanganku. Sepi. Hanya berdua dengan sopir bus yang memperlambat laju kendaraan. Bangku-bangku bus kota kosong. Lumayan, masih ada cukup waktu untuk menertawakan kebodohan diri di bus kota. Cukup sepuluh menit saja, sebelum bus berhenti di depan kampus.

Dan langkah kaki kembali tergesa. Menyusuri koridor gedung menuju ruang kuliah. Ah, untung belum terlambat, gumamku lagi. Masuk kelas bersama dengan Ibu Dosen yang membawa beberapa tas berisi buku-buku tebal bahan kuliah hari ini. Sementara melupakan ruang hati yang melompong akibat bualan omong kosong. Menyimak kuliah dengan seksama. Meluruskan kesalahpahaman hasil belajar semalam dalam diskusi bersama teman-teman di kelas. Menyenangkan. Pengetahuan baru yang kelak akan mengisi kekosongan-kekosongan di ruang kepala.

***

Hari-hari di kampus biru berjalan satu demi satu. Melupakan bilur-bilur biru yang sempat memenuhi ruang hati. Biar saja itu adalah salah satu bagian perjalanan menuju dewasa. Melupakan segala kelu, tetapi tidak melupakanmu. Bukan karena masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Bukan karena tidak bisa memaafkan kesalahanmu karena meninggalkanku tanpa pesan, kecuali pesan dari perempuanmu. Perempuan yang pernah menguji kesabaranku dengan pesan-pesan pendek yang memenuhi kotak pesan telepon selularku setiap pukul dua pagi. Pesan-pesan pendek yang serupa teror bagi kemanusiaanku. Perempuan yang kini mungkin telah menjadi ibu bagi anak-anakmu.

Bulan demi bulan hingga dua tahun berlalu. Aku masih di berdiri di sini. Di kampus biru. Di atas kedua kakiku. Merangkai kembali keping-keping mimpi yang sempat porak-poranda setelah pergimu. Dua tahun berlalu. Aku masih berdiri di sini. Di dunia baruku. Membangun mimpiku, meski tanpamu. Sebab di luar sana, masih ada begitu banyak hati yang menantiku ketika aku pulang. Masih banyak hati yang tulus mencintaiku di luar sana. Mencintai tanpa karena.

***

(2 Desember 2010)

Tidak ada komentar: