Sabtu, 31 Oktober 2009

sensasi, senang sana senang sini

kau selalu berpesan,
tanyalah hati, jagalah hati
setiap akan melangkah kaki
karena hati adalah ruang kemudi
bagi setiap diri

ah, kau hanya pandai basabasi
pandai menutup identitas sejati

bagiku, kau sama sekali
tak punya hati, apalagi nurani
tak pernah jujur pada istri
tentang poligami yang kau jalani
menjual ayatayat suci demi nama diri
menjual harga diri demi uang korupsi
menjilat sanasini demi sebuah konspirasi
meniduri perempuanperempuan sunyi
atau sekadar onani di kamar sendiri
sembari membayangkan tubuh molek miyabi

ah, ternyata kau gemar buat sensasi
demi ketenaran diri
entah apalagi kau buat setelah ini

let's wait and see




(31 Oktober 2009)

kisah tentang mawarmu

pernah kau jatuh cinta
pada sekuntum mawar di sudut jendela
pekat aroma melekat dalam jiwa
ah, benarbenar menggoda

sayang, mawar berpaling segera
begitu kemarau tiba
meninggalkan luka di relungrelung jiwa
meninggalkanmu terpana penuh tanya

tertinggal kenangan tentang mawar
meninggalkan mata gusar
meninggalkan kata tawar
meninggalkan hati hambar

biar saja, mawar berpaling segera
hilanglah mata gusar
hilanglah kata tawar
hilanglah hati hambar

tunggu sebentar, hujan segera datang
menumbuhkan mawar lain di ladang
dan hatimu kembali riang




(31 Oktober 2009)

ternyata cintamu berduri

ternyata cintamu berduri
serupa mawar yang kau beri
sembari memberi ciuman di pipi
setiap mentari pagi menghampiri

ternyata cintamu berduri
serupa tusukan kawat berduri
menggores dinding hati
meninggalkan nyeri

ah, cinta berdurimu
memberi serangan tetanus di hatiku




(31 Oktober 2009)

jengahmu itu, lelahku....

: untukmu, yang mencintai gunung


masih ku lihat jengah
masih ku lihat lelah
dalam setiap aksara terdedah

marahmu pada kisah tentang entah
masih terbaca jelas, meski ia telah berlalu
serupa angin tak pernah kembali

dendammu tak sudah pada ayah
masih terasa kelu, mengalir dalam darahmu
tak pernah menguap dalam setiap tanda serumu

entah sampai kapan
akan terus kau simpan
jengahmu pada kisah tentang entah
marahmu pada dendam tak sudah

kau tak pernah tahu
jengahmu itu, lelahku
selalu mendesah dalam ruang hatiku
marahmu itu, denyutku
selalu menderu dalam mesin tubuhku

pergilah jengah
pergilah marah
tidakkah kau lelah ?




(31 Oktober 2009)

Jumat, 30 Oktober 2009

mawar hitam

lempar saja
semua warna
ke tubuhku

merah
hijau
ungu
coklat
kelabu
biru

dan, tertinggal hitam
selegam mawar hitam
melekat di tubuhku
bila masih ada warna lain
ingin kau lempar padaku
silakan saja




(30 Oktober 2009)

rindu tentangmu

detak jantungmu
ada dalam tubuhku
aku rindu, ingin bertemu
melukis rindu membiru
berganti merah jambu

rindu,
ingin kembali ke kotamu
menghirup aroma kotamu
memandang setiap sudut kotamu

rindu,
renyah tawamu
riuh bincangmu
merdu denting gitarmu
pekat kepulan asap rokokmu,
meski pedih mataku
dan sesak nafasku

ah, entah kapan rinduku
bertemu rindumu




(30 Oktober 2009)

kau: mawar

telah lama ku dengar kabar
tentangmu, sang mawar
tumbuh di antara semak belukar
tetap saja harummu semerbak menebar
membuat jantung siapa saja berdebar-debar

kaulah sang mawar,
tumbuh di antara semak belukar
tak perlu kau gusar
lalui semua dengan sabar
kelak, kau akan mendapat kabar
bahwa kau adalah mawar
pujaan sang belahan jiwa




(29 Oktober 2009)

Kamis, 29 Oktober 2009

kau: batu

bagiku,
kau adalah batu
yang pandai merayu
perempuan-perempuan lugu

teruslah begitu
teruslah berburu
perempuan-perempuan lugu
hingga puas segala nafsu
sungguh, aku tak cemburu

bagiku,
kau adalah batu
lupa bila punya seorang ibu
yang telah melahirkanmu

teruslah begitu
teruslah berburu
perempuan-perempuan lugu
hingga bertemu karmamu

tunggu saja,
waktu itu segera tiba




(29 Oktober 2009)

murungmu, senja ini

lebahlebah kembali mendengung
berputarputar dalam bingung
awanawan pun kian membumbung
memahami makna berkabung

dan, kau mulai berhitung
tentang bingung
tentang murung
yang kian tak rampung

aku pun lelah,
melihatmu terkurung
telah ku buka pintu sangkarmu
kembali terbanglah bebas
serupa camar
tak gentar pada halilintar




(29 Oktober 2009)

pagi ini, ketika kau pergi

pagi ini,
kau bertemu sang permaisuri
entah kapan kau kembali
ingin sekali ku tak peduli
sayang, hati tak mampu sembunyi
dan, airmata ini mengalir kembali

pagi ini,
kau bertemu sang permaisuri
membawa setengah hatiku pergi
meninggalkan segala sunyi
bersama sang pengganti
yang bahkan tak memahami nyeri

pagi ini,
kembali ku nikmati nyeri
bersama janji yang tak kau lunasi
tentang seribu satu candi

pagi ini,
aku kembali berlari
tak perlu kau memintaku berhenti
pun mengejarku kembali

pagi ini,
biarkan aku sendiri
menikmati segala nyeri
menjalari seluruh pembuluh arteri

pagi ini,
pergilah bertemu sang permaisuri
dengan segenap hati





(29 Oktober 2009)

Rabu, 28 Oktober 2009

aku mengenalmu, bukan dalam seminggu

senin,
menjalin mimpi baru
sembari merengkuh mata birumu
di pelukan rindu

selasa,
menjala cinta
sembari berdoa segala tentang kita
akan baik-baik saja

rabu,
menghitung rindu
sembari jujur pada kalbu
tentang kau dan aku

kamis,
menepis cemburu
sembari mengais rindu
tentang masa lalu

jumat,
melipat segala jerat
sembari menghemat cinta
terumbar dari bibirmu

sabtu,
mengatur kembali laku
sembari menyimpan ego
tentang kau dan aku

minggu,
menggulung segala rindu
sembari menyimpan cinta
hingga harap itu nyata tiba

seminggu,
kau bilang hanya seminggu
aku bersamamu
kau keliru, sungguh

aku mengenalmu,
lebih dari tiga ribu hari lalu
mengenal segala tentangmu

pun masih tersimpan jejakjejakmu
ribuan pesan singkatmu
dalam kotak masuk selularku
ribuan kertas suratmu
dalam kotak kardus di kamarku
dan ribuan kenangan tentangmu
terekam utuh dalam benakku

aku mengenalmu,
bukan hanya seminggu
dan belajarlah memahamiku
serupa aku memahamimu
bukan dalam seminggu




(28 Oktober 2009)

malam ini....

malam ini,
aku ingin sendiri
sekadar ingin kembali
pada diri sendiri

malam ini,
aku ingin sendiri
sekadar ingin kembali
bertanya pada nurani

malam ini,
aku ingin sendiri
hanya berteman sunyi
menggali ingatanku kembali

malam ini,
aku ingin sendiri
kembali merajut mimpi
setelah kemarin terhenti

malam ini,
biarkan aku sendiri
aku hanya ingin kembali
pada duniaku sendiri

malam ini,
padamu ku berjanji
akan ku nyalakan seribu lilin
untuk menemanimu
berdoa tentang jalan takdir
yang ingin kau ingkari
hingga aku kembali





(28 Oktober 2009)

Selasa, 27 Oktober 2009

another lesson about love

mereka menyebutnya agama
kita menyebutnya dogma

mereka bilang menyembah Tuhan yang berbeda
kita bilang menyembah Tuhan yang sama

mereka bilang kita tidak sejalan
kita bilang mereka banyak aturan

mereka bilang kita tidak seiman
kita bilang mereka yang tidak beriman

malam ini,
kau tanya padaku
haruskah kita pergi ke negeri tetangga demi membangun impian ?

malam ini,
aku jawab tanyamu
entahlah, aku pun tak tahu

malam ini,
kau bilang padaku
aku sayang padamu karena Tuhanku

malam ini,
aku bilang padamu
pun aku sayang padamu karena Tuhanku

jadi ???
kita tak pernah ada masalah
mereka suka cari-cari masalah

lantas ???
entahlah



(27 Oktober 2009)

tentang kita

siklus,
tak selalu mulus

kemarin,
kita telah mengawali pagi

hari ini,
kita belajar menjalani hari

esok,
masihkah kita akan menikmati senja ?

jalani saja
tak perlu tergesa
tak perlu memaksa
biarlah waktu berbicara
tentang kita





(27 Oktober 2009)

ajari aku

: untukmu



ajari aku memahamimu. ajari aku mengasihimu. ajari aku mencintaimu. bahwa kau adalah aku dalam tubuh berbeda. bahwa kau adalah belahan jiwaku. ajari aku bersyukur padaMu, telah mengirimmu dalam hidupku. bahwa kau adalah denyut jantungku. tanpamu, nafasku tak akan berhembus. tanpamu, darahku tak akan mengalir.




(27 Oktober 2009)

Senin, 26 Oktober 2009

benar adalah benar, bukan makar

kami ini hanya berkata benar
dan, kalian tuduh kami berbuat makar

kami ini hanya berkata benar
dan, kalian masih saja tawar-menawar
serupa tengkulak-tengkulak di pasar

kami ini hanya berkata benar
dan, kalian masih saja gemar menampar
serupa preman-preman di pasar

kami akan tetap berkata benar
meski tak henti kalian menuduh kami berbuat makar
meski tak henti kalian tawar-menawar
meski tak henti kalian menampar

kami telah bersumpah bagi negeri
dengan segenap jiwa raga kami
benar adalah benar
tanpa ada tawar-menawar
karena kami bukan preman-preman pasar
yang gemar main tampar
apalagi tawar-menawar

kami telah bersumpah bagi negeri
dengan segenap jiwa raga kami
tak akan gentar
menghadapi kalian dan rencana makar
demi membakar benar

kami telah bersumpah bagi negeri
dengan segenap jiwa raga kami
menjadi pandu bagi Ibu Pertiwi
karena kami punya nyali
memerangi korupsi
memerangi sistem kolusi
memerangi egoisme petinggi
demi kemajuan negeri

kami telah bersumpah bagi negeri
dengan segenap jiwa raga kami
bahwa kami tak akan berhenti
hingga segala angkara kalian mati







(26 Oktober 2009)

a lesson about love

pada sebuah pantai,
di penghujung senja
hanya ada kita
sedang belajar bersama

mengeja kasih
membaca cinta
merangkum rindu
dalam dekapan senja
bersamamu





(26 Oktober 2009)

hasrat purba

ah, kau masih sama
begitu manja
serupa hasrat purba
menari-nari dalam kepala
sang raja rimba

ah, kau masih sama
dengan segala pesona
mengumbar sanjung-puja
mencari mangsa
memperdaya wanita
menimbun harta
mengejar tahta
dengan segala cara

demi sebuah hasrat purba
: berkuasa






(26 Oktober 2009)

kisahmu

dalam resah
dalam jengah
pun dalam lelah
tetap kau tengadah
mencari jawab atas entah
pada sebuah kisah





(26 Oktober 2009)

ketika pagi masih berkabut

: untukmu, yang mencintai laut



pagi masih berkabut
pandangmu kalut
di telingamu ku sebut,
aku ingin ke laut

ingin ku lihat lumut
di mana kita pernah
menanam sejumput rindu
di mana kita pernah
menabur remah-remah cinta

ingin ku lihat laut
ketika pagi masih berkabut
di dalam pelukmu, tanpa kalut
di dalam tatapmu, lembut

ingin ku lihat laut
ketika pagi masih berkabut
bersamamu, yang mencintai laut






(26 Oktober 2009)

Minggu, 25 Oktober 2009

aku tahu, kau pun tahu....

aku tahu,
kau mencintaiku
kau mengasihiku
sepenuh hatimu
dengan caramu

kau pun tahu,
aku mencintaimu
aku mengasihimu
sepenuh hatiku
dengan caraku

dan, caraku mencintaimu
caraku mengasihimu
adalah dengan membebaskanmu,
bukan dengan mengikatmu

ku bebaskan dirimu terbang bebas,
serupa merpati menggapai mentari esok pagi





(25 Oktober 2009)

mawar putih

: untukmu



dalam ruangan serba putih,
kau merawatku penuh kasih
pun tanganmu tak pernah jirih
menampung ceceran muntah dari mulutku
menghapus aliran darah dari hidungku
menghapus tetes keringat dari tubuhku

ah, entah kapan aku mengenalmu dulu
ketika serangan pertama datang padaku
enam tahun lalu,
kau masih seorang dokter muda waktu itu
terlalu banyak bertanya tentang ini itu padaku
sembari tak lupa mencandaiku
tentang perawat-perawat yang nyinyir padaku
atau mencandaiku tentang tubuhku
kian menggelembung setelah terapi pertamaku

pun ketika waktu telah berlalu,
kau masih saja ada untukku
setiap serangan itu datang padaku
dan, malam ini adalah malam ke sekian
kau terjaga untukku
menjaga stabil suhu tubuhku
agar tak sia-sia cairan kimia itu dalam darahku

ah, mengapa kau begitu kasih padaku ?
masihkah kau simpan kasihmu itu untukku ?
sedang aku telah memintamu membuangnya dulu

maafkan aku,
aku pun mengasihimu, amat mengasihimu
sayang, aku pun tak ingin menyakitimu
aku ingin melukis senyum di bibir indahmu
aku ingin melukis pelangi di ruang hatimu

tak ingin ku lukis sungai di kedua mata indahmu
tak ingin ku lukis mendung di ruang hatimu
kelak, ketika telah tiba waktuku

maafkan aku,
biarlah kau hidup dalam hatiku
menjadi pengingat dan penyemangatku
tanpa perlu kau hidup dalam nyataku
di luar sana, masih banyak perempuan sempurna
yang sanggup berimu bahagia

maafkan aku,
kau tetaplah kekasih hatiku
kau tetaplah mawar putihku
hingga kelak tiba waktuku






(25 Oktober 2009)

Kamis, 22 Oktober 2009

buka saja itu topeng, biar ku lihat wajahmu

matamu merah saga
nafasmu alkohol
tampangmu penuh dusta
pun tingkahmu masih tolol

pergilah,
kau hanya sampah





(23 Oktober 2009)

mawar biru

: untuk astu prasidya




masih biru,
di balik tawamu
terlihat sendu, matamu
serupa mawar biru






(22 Oktober 2009)

doa senja: tiga sahabat

: untuk andrey, tetuko, dan bram seto


1
rosariomu,
menarik mataku
dan aku belajar tentangmu
belajar menghargaimu
sebagai sahabatku

2
doa-doamu,
terdengar merdu di telingaku
dan kembali kau ajariku
melantunkan doa-doa di tanah-Mu
dengan segenap jiwaku

3
puja darmamu,
begitu nyata di mataku
serupa karang tangguhmu
menghapus segala airmataku
pun mengajari memahami karmaku





(22 Oktober 2009)

Rabu, 21 Oktober 2009

musim angin tiba

: untuk seorang kakak




musim angin tiba
enyah segala dusta
musnah segala luka
: tertinggal bahagia







(21 Oktober 2009)

kisah sepotong keju dan segelas anggur

semalam, kau menjamuku dengan sempurna. candle light dinner, istilah kerennya. makan malam berdua di tengah temaram cahaya dari tiga batang lilin di tengah meja. kau beri aku setangkai mawar merah sebagai pembuka, sembari memuji penampilanku yang bercita rasa. itu rayumu padaku. dan, alunan musik mulai terdengar dari seorang pemain biola yang kau sewa entah dari mana, menemani makan malam kita. begitu sempurna, begitu kata gadis-gadis belia. sayangnya, aku bukan gadis belia, yang mudah termakan rayuan sang cassanova.

semalam, ku ikuti saja permainanmu dengan segala pura-puraku, serupa niat kelabu dalam ruang hatimu. bila kau bertanya padaku bagaimana aku tahu tentang niat kelabumu, maka aku bilang dari sorot matamu itu. sayang, kau tak bertanya tentang itu. dan, aku pun masih pura-pura tak tahu niat kelabumu.

semalam, ketika makanan penutup terhidang di atas meja. aku makin melihat niat kelabumu itu. di hadapanku, terhidang sepotong keju dan segelas anggur. di hadapanku, ku lihat bibirmu tersenyum palsu dan meluncurkan kata-kata tak jujur. dan, aku beranjak pergi. meninggalkanmu sendiri. meninggalkan makan malam romantis impian tuan-tuan putri. bagiku, sebuah harga diri tak akan terbeli, meski kau mati tertembak peluru besi.

semalam, ku bilang padamu tak perlu lagi, segala puji yang terdengar basi. tak perlu lagi, makan malam romantis di atas gedung tinggi. tak perlu lagi, sungguh, kataku. kau tak bisa membeli seorang bidadari dengan uang hasil korupsi. tak akan pernah bisa, Sayang. bila kau masih memaksa, relakan saja nyawamu melayang. karena akulah sang bidadari, yang diutus turun ke bumi, membenahi segala kekacauan di muka bumi, membasuh segala luka di ruang-ruang hati, pun menyemai kembali cinta di setiap penjuru bumi. hingga tiba waktuku kembali ke dalam surgaku sendiri, suatu hari nanti.






(21 Oktober 2009)

Selasa, 20 Oktober 2009

kau tak pernah sendiri

: untuk seorang adik lelaki



kau bilang, setiap sudut kota masih menyimpan memori manis tentangmu dan dia. setiap jeda waktu masih menyimpan kisah lugu tentangmu dan dia. pelukan eratnya di pinggang masih terasa hangat di punggungmu. celoteh manja dari bibirnya masih riang terngiang di telingamu. pun segala kisah tentang entah masih tersimpan rapi di benakmu. nyeri, katamu, mengingat semua itu.

aku tahu, kataku. lantas mengapa masih kau simpan dalam benakmu ? buang satu demi satu kenangan itu. biarlah hanya jadi sejarah masa lalumu. biarkan ia menguap bersama udara panas menyelimuti kota. tunggu saja, hujan sebentar lagi tiba, menghapus segala nyeri lalu. kau dan belahan sejatimu bisa kembali bermain hujan bersama, menyemai benih-benih cinta.

buang saja segala memori nyeri, buang saja segala kisah lalu. biarlah berlalu, serupa jingga senja berganti hitam malam. dan, hitam malam berganti hangat mentari pagi. jalani saja hari dengan pasti. percaya saja belahanmu telah menunggu, meski kau tak pernah tahu. percaya saja, kau dan belahan sejatimu telah disatukan dalam genggaman Sang Maha dan janji itu bukanlah dusta.

biarlah waktu berlalu, jelang bahagiamu. langkahlah kaki dengan segenap hati bersama sejuk embun pagi, bersama hangat mentari pagi. percaya saja, kau tak pernah sendiri.





(21 Oktober 2009)

sinting

wajahmu bikin pusing
cara bicaramu garing
gayamu sok penting
adamu benar-benar ga penting

argh, kau sinting !!!





(20 Oktober 2009)

ngungunmu, semalam

: untukmu, yang mencintai gunung



diam dalam murung
kau hitung bingung
terkurung serupa burung






(20 Oktober 2009)

semalam

: untukmu, Cinta


suaramu resah
tangismu pecah
: aku pun gundah






(20 Oktober 2009)

kau anggap aku sahabat ???

bila kau anggap aku sahabat
tak perlu kau menghujat
dengan kata-katamu membabat
serupa pisau bermata dua

berkali ku bilang padamu
aku tak pernah cemburu
apalagi jatuh cinta padamu
atau terbuai romansa semu

bagiku,
kau tak mampu mendengarku
kau tak mampu membacaku
kau tak mampu memahamiku
kau tak mampu jujur padaku
mengkhianati uluran persahabatanku

sekali lagi ku bilang padamu,
aku tak pernah cemburu padamu
aku tak jatuh cinta padamu
karena jauh sebelum bertemu denganmu
jiwaku telah terikat pada belahanku
dan itu bukan dirimu

sekali lagi ku bilang padamu,
aku hanya ingin menjaga persahabatanku
denganmu, seperti pintamu dulu
seperti janjiku dulu
tanpa ragu, tanpa cemburu

dan bila kau masih ragu padaku
masih pula mengacungkan pisau bermata dua itu
boleh ku tanya satu hal padamu
: inikah persahabatan yang kau ulurkan padaku ?






(20 Oktober 2009)

berlalulah itu luka, menjelma tawa

: untuk seorang adik perempuan



bila jiwamu sempat terluka oleh kata cinta
setelah sang cassanova bermain-main di sana
bila ruang hatimu masih porak poranda
setelah sang cassanova bersemayam di sana

tetaplah tegar memandang dunia
teruslah melangkah demi ayah bunda

meski ku tahu, jiwamu telah tertoreh luka cinta
meski ku tahu, ruang hatimu tak akan pernah sama

pintaku,
percaya saja kelak karma atau apapun namanya
pasti bekerja dalam lingkaran dunia

pintaku,
tak perlu lagi mengalir airmata dari indah matamu
tak perlu lagi mengalir serapah dari bibir indahmu
lapanglah ruang hatimu
dan luka jiwamu niscaya terlupa

pintaku,
biarlah musim lalu berlalu dari pandangmu
karena musim lain segera hadir di hadapmu

pintaku,
percayalah masih ada cinta terbaik
yang telah Tuhan gariskan dalam jalanmu
tunggulah hingga saat itu tiba
dan kelak kau bahagia bersama
selamanya







(20 Oktober 2009)

Senin, 19 Oktober 2009

doa senja

senja kala
lilin nyala
asap dupa
hening puja

semoga kau bahagia
bersama belahan jiwa
selamanya






(19 Oktober 2009)

dirimu, lelaki lugu itu....

beberapa hari lalu
datang seorang lelaki lugu
di hadapanku

tak pandai merayu
apalagi menyanyikan lagu rindu
ah, benar-benar lugu

iya, kau begitu lugu
bahkan tak tahu siapa aku
meski berani hadir di hadapanku
dan mulai mewarnai langitku
dengan hadirmu

tetaplah kau jadi lelaki lugu
tak perlu kau cari tahu
siapa aku atau masa laluku
aku tak hendak hidup di sana bersamamu

tetaplah kau jadi lelaki lugu untukku
dan ajari aku mencintaimu
menghapus segala luka masa lalu
bersamamu

tetaplah kau jadi lelaki lugu
dan tegar berdiri di sisiku
selalu







(19 Oktober 2009)

Minggu, 18 Oktober 2009

berhentilah berpura-pura

tak perlu kau bilang akan memeluk
ternyata itu malah membuatku suntuk

tak perlu kau bilang akan mencium
ternyata pikiranmu itu hanya mesum

tak perlu kau bilang akan berkunjung
ternyata janjimu itu memang busung

tak perlu kau bilang aku menyindir
ternyata justru kau melempar satire

tak perlu kau berpura-pura di hadapku
karena aku telah hafal gayamu

berhentilah berpura-pura
karena aku tak pernah suka
apalagi cinta
jadi, maaf saja

bagiku,
cinta itu tanpa pura-pura
tanpa dusta
atau bermanis mulut dan muka

bagiku,
kau tak punya logika
tak pandai mengolah rasa
hanya pandai berpura-pura






(19 Oktober 2009)

lelaki biru

: untukmu, sekali lagi



statusmu biru
seolah kau rindu
seseorang memahamimu
di antara perempuan-perempuanmu

duh, lelaki biru
ku sediakan bahu
bila kau ingin bersandar padaku
ku sediakan telingaku
mendengar segala resahmu
ku sediakan tanganku
membelai segala jengahmu
ku sediakan bibirku
mengecup segala kisahmu

duh, lelaki biru
aku selalu di sini, untukmu




(18 Oktober 2009)

dasar penjilat !!!

bila kau meminta aku
untuk menjilat pantat pejabat
demi sebuah pangkat

maaf,
ibuku tak pernah melahirkan
seorang penjilat

maaf,
ayahku tak menyimpan benih
seorang penjilat

bila kau meminta aku
untuk menjadi seorang keparat
demi makan uang rakyat

maaf,
ibuku tak pernah melahirkan
seorang keparat

maaf,
ayahku tak menyimpan benih
seorang keparat

ibu dan ayahku
telah mendidikku sebagai orang terhormat
lebih baik hidup melarat
daripada makan uang rakyat
dan berlagak sebagai konglomerat hebat
tak paham kemiskinan rakyat

maaf,
tak perlu lagi kau menghujat
tentang apapun melekat
padaku

bagiku,
kau hebat dalam menjilat
demi pangkat
kau hebat berlagak keparat
seolah kau konglomerat
yang paham kemiskinan rakyat

bagiku,
kau hanya seorang keparat penjilat
lebih miskin dari rakyat

bagiku,
bantuanmu hanya sebatas muslihat
demi sebuah pangkat


dasar penjilat !!!








(18 Oktober 2009)

kosong

kosong
melompong
bengong

tanpamu
Cintaku






- 18 Oktober 2009 -

Sabtu, 17 Oktober 2009

terima kasih, kekasih-kekasihku....

: untuk kalian, cerita segala rasa



selasa
berburu pustaka
menyusuri ruang baca
melihat anak-anak muda
memadu asmara
lewat tatapan mata
atau bisikan manja
menghindari tatap mata penjaga

setelahnya,
makan siang bersama
adik tercinta
di sela-sela kepulan asap
di sebuah sudut gelap

berbincang bersama
teman-teman tercinta
menyusuri kembali setiap cerita
di sebuah beranda tua
berbagi tawa bahagia
hingga malam menjelang
dan kembali menghilang pulang



rabu
di antara angin beku
bersama adikku
menyusuri jalanan di atas motormu

menyusuri kampus biru
dalam temaram lampu
menikmati bincang bersama
di antara kepulan asap
dan denting gitar mengerjap

menikmati suguhan musik
dengan syair menggelitik
kembali bertemu denganmu
dalam haru biru
kembali bertemu kalian
yang begitu menyenangkan

menghapus resah
menafikan jengah
menikmati malam indah
bersama kalian

mengakhiri malam
dengan senyum terlukis
dan tak akan pernah terkikis
berkat kalian teman-teman termanis









(17 Oktober 2009)

*terima kasih tulusku untuk kalian, untuk malam yang indah*

catatan iseng di malam minggu

bila tiba malam minggu
kau dilarang mengganggu
malam ini milikku
tanpamu

bila telah tahu maksudku
kau tak perlu belagu

kalau kau masih mengganggu
atau masih juga belagu
kau bisa dikutuk jadi batu
pengganjal pintu

mau ?







(17 Oktober 2009)

musim sakura

berjumpa kita
ketika musim sakura
tertawa bersama
penuh cinta





(17 Oktober 2009)

tanyalah mata

mata adalah jiwa
tak perlu kau bertanya
hanya ada cinta di sana
untukmu, selamanya






(17 Oktober 2009)

Jumat, 16 Oktober 2009

dasar katak !!!

katak-katak
riuh bersuara saling timpa
dalam dunia mereka

katak-katak
berpura-pura bijak
meski hanya paham tempat berpijak

katak-katak
bunyimu serak memekak
berhentilah menggertak
atau kalian akan terinjak







(16 Oktober 2009)

kisah lain tentang tanda seru

selama ini,
telah aku jaga hatimu
karena sayangku padamu
tetapi tak pernah kau pahami itu

masih saja kau
bicara padaku dengan tanda seru
meski kau bilang tak marah padaku
tetapi tanda serumu
jelas terbaca olehku

ah, kau tak pernah tahu
setiap kau bicara padaku
dengan tanda serumu
kau membuatku tersedu

senja ini,
adalah senja ke sekian
kau bicara padaku dengan tanda seru
tepat di depan mataku









(16 Oktober 2009)

Kamis, 15 Oktober 2009

kali ini, biarkan aku menangis....

kali ini,
biarkan aku menangis
sekali saja

airmata ini
untukku sendiri
tentangku sendiri

air mata ini
bukan tentangmu
bukan tentang kekasihmu

kali ini,
biarkan aku menangis
sekali saja

setelahnya,
akan ku bagi bahagia
dan kita tertawa bersama
tanpa duka tersisa
seperti biasa






(16 Oktober 2009)

sayang, kau tak pernah tahu....

: untukmu



di antara ratusan mereka
hanya kau paham gejolak jiwa
diam-diam memandang di sudut sana
dari belahan berbeda

membaca setiap huruf tereja
dengan segala rasa
hingga kau paham setiap duka
pun setiap bahagia

sayang, kau tak pernah tahu
bahwa kau adalah pelukis senyumku

sayang, kau tak pernah tahu
bahwa kau serupa malaikat pelindungku
selalu memandang dengan indah matamu
selalu berdoa dengan indah bibirmu
tulus dari relung hatimu

sayang, kau tak pernah tahu
meski isyarat telah begitu jelas dalam pandangmu

sayang, kau tak pernah tahu
dan aku pun tak hendak memberitahumu
dengan bibirku







(16 Oktober 2009)

sekali lagi, tentangmu

rindumu palsu
hatimu batu
mulutmu sembilu
membuatku beku




(16 Oktober 2009)

begitu sulit memahami

begitu sulit memahamimu
datang sekejap
mendendangkan lagu rindu untukku
mengendap-endap di belakangku
mencuri kotak rindu
dalam ruang hatiku

begitu sulit memahamimu
pergi sekejap
tanpa satu pun kecap
terlontar dari bibirmu
tentang kisah lalu
dan aku tak hendak bertanya padamu

begitu sulit memahamimu
tentang segala celamu padaku
biarlah ku simpan segala tanyaku
dalam ruang benakku

dan aku tak hendak bertanya padamu
tentang harap yang pernah kau semai
mungkin itu hanya sekedar buai
sebelum lelap menguasai mata

begitu sulit memahamimu
dengan segala tingkah polahmu
dan aku tak hendak bertanya padamu

bagiku,
kau serupa kisah-kisah lalu
menancapkan sembilu berbalut rindu
dan hanya itu ku pahami tentangmu

pergilah
berbahagialah








(16 Oktober 2009)

butir-butir waktu

biarkan butir-butir waktu berlalu
dan segala tentangmu
akan terjawab oleh waktu

biarkan butir-butir waktu berlalu
pun segala tentangku
akan terjawab oleh waktu

aku tak akan memburu
pun tak suka diburu
biarlah segala berjalan
bersama butir-butir waktu

hingga tiba waktu melebur rindu
bukan sekadar nafsu
dalam syahdu
dan tak ada lagi tabu
di jalanmu
di jalanku
bersama-Mu







(15 Oktober 2009)

pejantan penikmat malam

menikmati malam
di antara para pejantan
kepulan asap rokok kian pekat
memenuhi rongga paru-paru

gelas-gelas telah kosong
pun di antara botol-botol kosong
tersisa aroma alkohol
dan percakapan tolol

mata-mata itu telah memerah
mulut-mulut itu mulai mendesah
tangan-tangan mulai menjarah
tubuh perempuan telanjang pasrah
di antara pejantan yang berdesah

ah, pejantan kura-kura
hanya pandai berpura-pura
di antara seribu rupa

ah, pejantan ular
hanya berlagak sok pintar
di antara seribu koar

tak perlu lagi kelakar tolol itu
kalian hanya pejantan bagi perempuan itu
kalian hanya mampu menancapkan nafsu
dan, setelahnya berlalu
tanpa malu-malu

tak perlu lagi basa-basi itu
mulut kalian bau
tubuh kalian bau
bagi kalian, libido adalah nomor satu

biarlah segala berlalu
serupa pagi
telah menjemput malam pergi
dan esok kalian pasti kembali
menikmati tubuh-tubuh tanpa hati







(15 Oktober 2009)

kau keliru

jika kau pikir aku cemburu
maka kau keliru
sama sekali, aku tak berhak cemburu
padamu

telah ku buang cemburu
di masa lalu
tak ada lagi dalam ruang hatiku
sosok cemburu itu

jika kau pikir aku cemburu
maka kau keliru
maafkan aku karena tak cemburu
padamu

orang bilang, cemburu berarti rindu
tetapi tak berlaku untukku
tak perlu cemburu untuk sebuah rindu
maafkan aku

jika kau pikir aku cemburu
maka kau keliru
telah ku buang di masa lalu
dan, tak hendak ku ambil cemburu itu
hanya untuk mengatakan aku rindu padamu







(15 Oktober 2009)

rindu ayah

tiba-tiba rindu ayah
begitu resah
menjelajah gundah
segala berubah
dan, kau tetap ayah
bagiku

dan, aku tetap putrimu
meski kadang masih suka membantah
enggan kembali mengangkat busur panah
atau membuatmu resah dengan segala ulah
aku tetap putrimu, ayah....

dan, kelak kau pun akan bangga padaku
seraya kau berkata:
kau adalah putri ayah
yang telah membanggakan ayah








(15 Oktober 2009)

Rabu, 14 Oktober 2009

pertemuan

pertemuan itu,
adakah benar
hanya ada kau dan aku
atau juga kekasih hatimu ?

sunyi
melenggang hening

pahit
pertemuan itu
sulit






(15 Oktober 2009)

argh !!!

kisah tentang para pandu
telah benar-benar mencuci otakku
membuatku kembali ke masa lalu
dan, bertanya siapakah aku ?

kisah tentang para pandu
yang tak pernah menjawab tanyaku
yang selalu memintaku bertanya pada hatiku
belum juga ku temukan jawab itu
kecuali pening setiap pagi di kepalaku

kisah tentang para pandu
telah benar-benar membawaku menyusuri alam bawah sadarku
mencoba mengingat siapa aku dalam hidupmu
benarkah aku bagian dari hidupmu ?
benarkah aku bagian dari masa lalumu ?
belum juga ku temukan jawab itu
kecuali bayangmu yang hadir di alam bawah sadarku

dan, kau tak pernah benar-benar rela melepasku
sedang kau juga terikat pada belahan lainmu

kisah tentang para pandu
membuatku tak henti bertanya selalu
tentang aku
tentang kau

aaaaarrrrrggggghhhhh !!!




(15 Oktober 2009)

another perfect stranger

hampir tengah malam,
ketika dering telepon
membuatku terjaga dari lelapku
ternyata darimu

sebuah percakapan asing di telingaku
nada bicaramu kaku
bukan kau yang ku kenal dulu
setiap tanyaku tak pernah terjawab olehmu
hanya basa-basi semu bagiku
dan, kau benar-benar telah asing bagiku

mengapa ?
karena ada yang lain bersemi dalam hatimu
dan, itu bukan aku

aku tahu itu
pengalaman telah mengajarku
dan, aku tak hendak menangisi apapun
karena airmataku bukan untuk siapapun

pergilah,
jika kau ingin pergi
tak perlu menengok kembali
dan, kisahmu akan tetap hidup dalam hati
meski tak pernah abadi
pada langkah kaki



(15 Oktober 2009)

kau, terkasih....

senja tadi,
ku lihat kau begitu letih
setelah seharian bergumul perih

dalam matamu,
segala hal terlihat tumpang tindih

tak perlu bersedih
pun tak perlu merintih
di hadapku,
perempuan bergaun putih

bagiku,
kau tetap terkasih
di antara para kekasih
yang selalu membuang letih
di atas ranjang bersprei putih
setiap malam merajam
menjelma jahanam

kau,
adalah pangeran berkuda putih
ketika malam beranjak letih




(13 Oktober 2009)

tak perlu kau bicara padaku

tak perlu kau bicara padaku tentang harkat
di mataku, kau tetap laknat

tak perlu kau bicara padaku tentang derajat
di mataku, kau tetap bangsat

tak perlu kau bicara padaku tentang martabat
di mataku, kau tetap keparat

bagiku,
kau tetap manusia bejat
pengumbar syahwat

maaf,
aku tak pernah berminat padamu
karena aku
bukan pemuas syahwatmu




(13 Oktober 2009)

kaukah lelakiku ?

ingin ku tulis kisah tentangmu
tetapi aku tak pernah mampu

kaukah lelakiku ?

tak henti kau cumbui aku
hingga ke alam mimpiku

kaukah lelakiku ?

tak henti suaramu
memenuhi rongga kepalaku

kaukah lelakiku ?

dan, hari-hariku tak pernah sama
bila tanpamu

kaukah lelakiku ?

ingin ku hanya satu:
mendengar suaramu selalu
mendendangkan kidung kehidupan untukku
selalu

kaukah lelakiku ?





(13 Oktober 2009)

Senin, 12 Oktober 2009

kau

ku lihat mendung
: matamu

ku lihat senja
: parasmu

ku lihat layu
: tubuhmu

ku cium aroma tanah basah
: dirimu

ketika kau mencumbu tubuhku
dalam temaram malam
di atas ranjangmu








(12 Oktober 2009)

rindu ini tabu

kau pernah bilang rindu padaku
meski kau tahu rindumu tabu

dan, aku bilang rindu padamu
aku pun tahu rinduku tabu

kita hanya mampu termangu
tertunduk dalam aturan-Mu
menunggu waktu
menunggu temu
dalam lingkaran-Mu




(12 Oktober 2009)

mentari dan rembulan

kau dan aku
tak akan ada dalam satu temu

kau serupa rembulan
berkawan seribu bintang dalam gugusan

aku serupa mentari
hangat ketika terbit di pagi hari, mencairkan kebekuan malam
terik menyengat di siang hari, melelehkan segala jengah
merona jingga di petang hari, ketika para pencinta janji berjumpa

kau dan aku
tak akan ada dalam satu temu
meski kita tak pernah lelah berkejaran

mentari dan rembulan
tak akan pernah ada dalam satu lintasan

kau dan aku
tak akan pernah ada dalam satu temu

ingatlah itu !!!






(11 Oktober 2009)

sayap patah

tak lelah kaki melangkah
ketika sebelah sayapku patah

tak lelah kaki melangkah
mencari belahan lain jiwa yang lelah

menjalani beribu kisah tentang entah
kadang jengah, kadang entah

tak henti kaki melangkah
hingga kelak aku tetirah
rebah di kaki-Mu




(11 Oktober 2009)

Sabtu, 10 Oktober 2009

sempurna

tak perlu kau menjadi sempurna
hanya untuk memikat hatiku
sedang hatimu penuh cela padaku

tak perlu kau menjadi sarjana
hanya untuk menjadi raja di hatiku
sedang hatimu penuh dusta padaku

tak perlu kau menjadi kaya raya
hanya untuk membeli cintaku
sedang hatimu penuh hutang padaku

bagiku, kau sempurna
ketika yang lain memandangmu tak sempurna
karena aku selalu memandangmu
dengan caraku yang sempurna






(10 Oktober 2009)

sayangku....

sayangku,
kau bilang ingin segera meminangku
orang yang kau sayang sepenuh hatimu
dan itu adalah aku

sayangku,
kau bilang tak perlu pikir panjang
menerima pinanganmu
karena aku adalah bidadarimu
seperti kau bilang dalam setiap rayumu

sayangku,
aku bilang akan menerima pinanganmu
dengan ku pinta janjimu

kelak kau tidak akan mengurungku
dalam sangkar emasmu

kelak kau akan tetap izinkanku
melayang bebas di langit biru
dengan kedua sayapku

kelak aku adalah permaisurimu
hanya aku satu-satunya milikmu
tanpa selir-selirmu

sayangku,
aku bilang akan menerima pinanganmu
jika kau mampu sanggupi pintaku

sayangku,
bagaimana ?
mampukah dirimu menyanggupi pintaku ?








(10 Oktober 2009)

rindumu serupa tebu

tak perlu kau
nyanyikan lagu rindu buatku
yang sempat melenakanku

tak perlu kau
janjikan akan mengunjungiku
kelak di kotaku

tak perlu kau
memberi madu di setiap katamu
yang akan meracuniku

tak perlu kau
berikan apapun untukku
karena perilakumu telah banyak bicara tentangmu
kau perlakukan aku serupa tebu
menghisap habis manis gulaku
membuang sepahnya setelah itu

tak perlu kau
katakan apapan padaku
pun tak hendak aku bertanya apapun tentangmu
setelah kau perlakukan aku serupa tebu

maaf, bagiku rindumu pun serupa tebu
dan aku pergi dari hadapmu
penghisap gulaku
tanpa sesal di hatiku







(10 Oktober 2009)

Sumpah Drupadi

Aku bersumpah....
Demi langit dan bumi
Demi harkatku sebagai Puteri Agni
Aku tak akan mengikat rambutku
Sebelum mencucinya dengan darah Dursasana
(Sumpah Drupadi)




lima tahun lalu
ku baca sumpahmu dari sebuah buku
dan ini yang menguatkanku
tetap melangkah maju
menjadi terbaik bagi ayah dan bundaku

lima tahun lalu
telah ku ucap pula sumpahku
tak akan ku pulas bibirku dengan pemerah
sebelum aku mengalahkan dirimu yang membuatku gerah
dengan segala tingkah polah yang membuatku jengah

lima tahun lalu
telah ku ucap pula sumpahku
tak akan ku panjangkan rambutku
sebelum aku membuatmu terpanggang atas segala perilakumu menantang
dalam muslihat yang kau gadang di atas ranjang

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
sebagai perempuan
mengesampingkan segala urusanku
demi kalian, perempuan-perempuanku
memberi kalian penyadaran
tentang harkat kalian sebagai perempuan

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
demi kalian, perempuan-perempuanku
tak lelah hatiku, mengajarimu
tak lelah mulutku, memperingatimu
tak lelah kaki, melangkah padamu
menghapus segala perihmu
menghapus segala dukamu

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
demi kalian, perempuan-perempuanku
yang memahami harkatmu sebagai perempuan
bahwa kalian adalah makhluk Tuhan
terlahir sebagai Hawa ke dunia
dan bukan setan penggoda Adam

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
demi kalian, perempuan-perempuanku
jadilah ibu yang baik bagi anak-anakmu
jadilah istri yang setia bagi suamimu
jadilah guru yang bijak bagi murid-muridmu
jadilah anak yang berbakti bagi orangtuamu
jadilah saudara yang manis bagi saudaramu
karena dunia ini adalah taman surgamu

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
demi kalian, perempuan-perempuanku
meski kadang kau tak henti mencibirku
atau menggunjing di belakangku
aku telah menulikan telingaku
aku telah membutakan mataku
pada perempuan-perempuan seperti itu
karena jalanmu bukanlah jalanku

lima tahun lalu
telah ku ucap sumpahku
dan aku akan tetap setia pada sumpahku
hingga segalanya kembali pada-Mu








(10 Oktober 2009)

Jumat, 09 Oktober 2009

segala rasaku tentangmu

: untuk Astu Prasidya




dulu,
aku tahu namamu
ternyata Astu
setelah satu semester berlalu
dan aku tetap memperhatikanmu diam-diam
dari balik jendela kelasku

dulu,
kau tak pernah tahu
segala rasaku tentangmu
hingga aku lulus dari tempat itu

kini,
aku tahu dirimu
masih seperti dulu
tetap menjadi pujaan bagi perempuan-perempuanmu
pun aku masih sama seperti dulu
malu-malu memperhatikanmu dari jarakku

kini,
aku harap kau tahu
tentang segala rasaku
tentangmu
meski kelak, kau bukan milikku






(10 Oktober 2009)

pelangi

aku terlahir sebagai pelangi
dalam darahku pun mengalir pelangi
sesuatu yang tak mungkin ku pungkiri
dan aku selalu menikmati pelangi

aku terlahir sebagai pelangi
dan kau tak perlu pahami
jika memang kau tak mengerti
karena dalam darahku mengalir pelangi

mataku sipit, serupa mata nenekku
meski kulitku sawo matang, serupa kulit kakekku

kadang, aku selembut ibuku
jika kau bersikap manis padaku
kadang, aku sekeras ayahku
jika kau bersikap tak senonoh padaku

aku terlahir sebagai pelangi
sesuatu yang tak mungkin ku pungkiri
karena darahku adalah pelangi
mengalir hingga ke setiap pembuluh nadi

dan aku selalu menikmati pelangi
ketika rinai berhenti menyapa bumi







(9 Oktober 2009)

'A'

: untuk Astu Prasidya



dulu,
aku hanya mampu memandangmu
tanpa tegur sapa
hanya pipi bersemu merah bicara
ketika pandang beradu
tanpa sengaja

kini,
kau begitu dekat
meski hanya gambarmu ku pandang lekat
tetapi leherku selalu tercekat
ketika hendak ku sampaikan sesuatu
yang telah lama melekat dalam jiwa
tentang kau
tentang aku
dan, semoga tentang kita

kini,
kita begitu dekat
ketika kau mampir menulis sesuatu,
kau melukis senyum di wajahku
kau menghapus gundah di hatiku
ketika aku mampir menulis sesuatu,
aku menulis dengan senyum di wajahku
aku menulis dengan segala rasaku
dan, kau tak pernah tahu itu

duh, aku ingin kau tahu
sebuah hati selalu menunggu hadirmu
sejak dua belas tahun lalu
dalam diam-diamku

kini,
semoga kau tahu
tentang aku






(9 Oktober 2009)

kemarin

: untuk Astu Prasidya


kemarin,
aku datang ke kotamu
hanya ingin memandangmu
seperti dulu
ketika usiaku masih belasan
dan selalu tertunduk malu ketika kita berpapasan

kemarin,
aku datang ke kotamu
hanya ingin memandang mata indahmu
tersembunyi di balik kacamatamu

kemarin,
aku datang ke kotamu
hanya ingin menikmati indahmu

sayang,
kau sedang tak ada di sana
tempat kita melalui masa remaja
dan aku hanya mampu memandangmu dari balik jendela




(8 Oktober 2009)

bangsat !!!

tak perlu berdebat
tentang segala hasrat
yang kau punya

tampangmu tak pernah memikat
jiwamu serupa keparat tak pernah tobat
tawaranmu sebatas muslihat
dan segala hal tentangmu serupa bangsat
menggerogoti buku-buku tua

tak perlu menawariku emas atau berlian
tak perlu menawariku vila atau mobil mewah
aku tak hendak menukarnya dengan tubuhku atau jiwaku
apalagi cintaku

tak perlu lagi berdebat
tentang segala hasrat
yang kau punya

bagiku,
lebih baik hidup selibat
daripada hidup seatap
atau berbagi ranjang dengan bangsat sepertimu




(8 Oktober 2009)

runtuh segala teguh

semalam,
segala tanyaku
telah terjawab dengan segala pilu
segala rasaku
telah bertemu ujungnya dalam segala kelu

aku percaya
lingkaran itu ada
dan bukan sekadar mitos semata
karena dalam kitab-Mu pun Kau telah tuliskan
segala rupa dan kisah nyata

semalam,
telah ku rasakan benturan itu
meruntuhkan segala teguhku
telah ku rasakan logika itu
bertentangan dengan segala rasaku

kau tahu,
selama ini telah ku jaga hatiku
menunggu belahan jiwaku
tanpa menyakiti belahan jiwamu

semalam,
kau jawab segala tanyaku
dengan segala kisahmu
bahwa aku adalah belahan jiwamu
di masa lalu
tepatnya salah satu belahan jiwamu

dan segala teguhku
runtuh di hadapanmu
dalam tangisku tanpa malu-malu

kau tahu,
selama ini ku berontaki poligami
dan telah ku pilih jalanku sendiri
karena aku tak ingin menyakiti jenisku

semalam,
kau kisahkan padaku
tentang lingkaran reinkarnasi itu
dan aku adalah salah satu belahan jiwamu

karena aku adalah arjuna
sang lelananging jagad
sementara aku adalah perempuan
yang telah berikrar setia
menunggu kelahiranmu kembali

semalam,
segala teguhku
runtuh di hadapanmu
dalam tangisku tanpa malu-malu

ketika kau kisahkan aku adalah istrimu
dan kau adalah suamiku
di masa lalu
ribuan tahun lalu

dan, kini kita jalani kisah
dalam tubuh berbeda
meski jiwa kita masih sama
entah sampai kapan
kita akan bertahan
dalam labirin impian









(8 Oktober 2009)

uhuy !!!

pagi ini
pertama kali
mendengar suara lelaki
yang amat ku kagumi

pagi ini
pertama kali
mendengar suara lelaki
yang mengajariku berani

pagi ini
pertama kali
mendengar suara lelaki
yang sempat membuatku patah hati

pagi ini
pertama kali
mendengar suara lelaki
: sang pelukis pelangi di hati

uhuy !!!





08.10.2009.06.53

biarkanlah

biarkanlah jiwa terus bergerak
meski tanpa derak
serupa tubuh memahami setiap detak
dan tak ada yang mampu mengelak
dalam garis hidup milik Sang Maha Mutlak






(7 Oktober 2009)

Minggu, 04 Oktober 2009

setelah gempa

kemarin ku jelajahi setiap sudut kota
setelah gempa sempat mengguncangmu
bukan hanya untuk seorang atau dua orang saja

kemarin ku jelajahi setiap sudut kota
karena aku manusia
punya rasa
mampu merasakan luka
bukan semata hura-hura
sembari menenteng kamera
pasang senyum manis di wajah
di antara reruntuhan bangunan
di antara tubuh-tubuh bergelimpangan

kemarin ku jelajahi setiap sudut kota
demi mereka,
anak-anak terpisah dari ayah bunda
atau jasad-jasad tertimbun dalam tanah
akibat bencana
datang tiba-tiba ketika senja menyapa

kemarin ku jelajahi setiap sudut kota
demi mereka,
menghapus airmata duka
meski mungkin hanya sementara
karena duka mereka
tak mungkin hilang begitu saja

kemarin kami jelajahi setiap sudut kota
tanpa kamera
karena mata kami adalah kamera
yang mampu memotret duka mereka
dengan sama rata

tanpa banyak tanya
karena bibir kami lebih suka bercerita
untuk anak-anak yang kehilangan ayah bunda
berharap senyum kembali
tersungging di bibir mungil mereka

tanpa banyak perintah
karena tangan kami lebih suka bekerja
membantu memandikan jasad-jasad tanpa nama
sebelum diambil kembali keluarga mereka

kemarin kami jelajahi setiap sudut kota
karena kami manusia
punya rasa
mampu merasakan luka
akibat bencana
datang tiba-tiba ketika senja menyapa

kemarin kami jelajahi setiap sudut kota
membantu kalian
semampu kami bisa lakukan
dan kami tak perlu tanda jasa
atau sanjung puja

karena yang kami ingin sederhana saja
melihat senyum kembali
tersungging dari bibir-bibir kalian
dan itu telah memberi damai
di hati kami

sebelum akhirnya kami pergi
meninggalkan kalian menjalani hidup kembali
melukis pelangi di langit kalian kembali








(4 Oktober 2009)

purnama

memandang purnama
dari beranda

dan kita memandang purnama
yang sama
meski di tempat berbeda

dan kita memandang purnama
yang sama
meski rindu kita berbeda

dan kita memandang purnama
yang sama
dengan jengah yang sama
dengan luka yang sama

dan kita memandang purnama
yang sama
meski kita lagi saling bicara

dan kita memandang purnama
yang sama
meski ingkar telah berbicara
pada kita







(4 Oktober 2009)

Language and Gender

While the most obvious function of language is to communicate information, language also contributes to at least two other equally important, but less often recognized, functions: (1) to establish and maintain social relationships, and (2) to express and create the social identity of the speaker.

These functions may be recognized less often because information such as class or race is conveyed not as much through what we say, as through how we say it. In other words, information is conveyed as much by how we compose our utterances as through the precise character of our thought. This is certainly true of gender.

Early Studies

People have long known that gender and language use are connected. Early anthropological studies on gendered language focused on non-Western cultures, for which it was reported that men and women spoke different languages, although these reports were ultimately discovered to be exaggerated.

Gendered language in industrial societies was not taken as a serious topic of study until the 1960s, and did not explode as a subfield in its own right until the publication of Robin Lakoff's book Language and Woman's Place in 1975.

A programmatic, feminist piece, Lakoff's book presents impressionistic conclusions regarding the speech of (heterosexual, white, middle class, American) women. Some of the features of what Lakoff calls "women's language" include specialized color terms (for example, mauve), words to "hedge" the strength of a statement (such as sort of, maybe), expressive so (as in It is so cute), tag questions (such as This room is quite hot, isn't it?, which is "softer" than This room is quite hot.), rising pitch in declarative statements (so that they sound like questions), and avoidance of swearing and other taboo words. Lakoff argues that women use these features because they are denied means of strong expression within a male-dominated society.

Lakoff's book, while groundbreaking in the field, is also problematic. First, it largely confounds the notions of sex (as an inborn, essentially binary opposition) with gender (as a learned, socially-constructed continuum). For example, the work ignores the fact that women in high status positions (such as corporate CEOs) may portray a very different image of femininity than, for example, a sex worker.

Second, Lakoff implicitly views female language as deviant from a male norm. Finally, distinctions other than heterosexual-male and heterosexual-female (or even variability within these categories!) are not discussed beyond stereotyped statements such as that gay men use some of the characteristics of "women's language" (for example, a wider range of color terms).

Cross-gender Communication as Cross-cultural Communication

Many later studies recapitulated this focus on heterosexual, white, middle class women, and many accepted Lakoff's observations about language use. At the same time, however, explanations for "women's language" have changed.

For example, Tannen's best-selling book You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation (1990) argues that gender differences are parallel to cross-cultural differences. She claims that when interpreting the cultural information encoded by language, men and women rely on different subcultural norms. Female subculture uses language to build equal relationships, while male subculture uses language to build hierarchical relationships.

Thus, when a man says "I didn't sleep well last night," a woman will interpret the man's original statement as a request to build an equal relationship by showing that both people are the same, and she may respond with a similar complaint: "I didn't sleep well either." The man, however, would interpret the woman's response as an attempt to deny his uniqueness, putting him in a subordinate position in the conversation.

In other words, Tannen argues that differences in language between women and men result from a misunderstanding of the intent of the other sex, and not (necessarily) from the dominant position of men in society. While Tannen's book was harshly criticized by many feminists for denying societal inequality, a theoretical shift ultimately demonstrated that these two explanations--subcultural difference vs. social dominance--are not necessarily contradictory.

"Performing" Gender through Language

In the late 1980s, study of the relationship between language and gender moved towards viewing language as performative of gender and not simply reflective of it. In short, people create gender through speech (and other actions). If people perform gender roles, it is expected that the performance will vary from one context to the next, and different theories may explain different situations.

Gender may be performed through language in a variety of ways. As a single example, Penelope Eckert investigated the speech of Detroit high school students who could be categorized as either "jocks" or "burnouts." She found that girls pronounced three vowels differently from boys, but did not themselves constitute a uniform group. Instead, the girls were using language in order to polarize themselves as either jocks or burnouts. In other words, the girls were using language to perform both a gender and a jock or burnout identity.

Eckert argued that language was used to create social identity specifically because self-definition through action (such as by being a star athlete) was unavailable for girls. Studies such as Eckert's have been important for understanding the ways that gender is performed within context, and the degree to which both gender and its linguistic expression can vary from one situation to the next.

The Place of GLBTQ Language Studies


The idea that gender is performed opened the door for studies on the speech of non-heterosexual groups, although the importance of glbtq language studies for language and gender studies generally is not yet clear.

The speech of gay males has, to date, received the most attention. There is a growing literature on lesbian language use, and a few studies each on drag queens and transgender people, but by comparison with other areas of research on language and society, evidence for a gay language has been lacking.

Don Kulick, currently one of the most outspoken critics of existing research on gay and lesbian language, goes so far as to say that previous research "has failed to come up with any structural, morphological, or phonological features that are unique to gay men or lesbians."

He argues that the lack of concrete results, among other reasons, suggests that sexuality should be studied as an example of desire, not an example of gender. In short, he (implicitly) denies that sexuality is a social identity of the same sort as "woman" or "African American," subject to expression through language. Kulick argues that research should instead focus on "the role that fantasy, repression, and unconscious motivations play in linguistic interactions."

Not all researchers would state the condition of the field in such bleak terms, and even fewer would accept the position that sexuality (either as a subcategory of gender or as a distinct phenomenon) is not a social identity that is expressed through language.

However, if we allow that the linguistic creation of glbtq identities exists, this phenomenon is less well understood than, for example, the linguistic creation of a heterosexual African-American urban male identity. In short, the study of the speech of glbtq people has great promise within a performative framework, but that promise has yet to be fulfilled.

Summary

Language and gender studies were historically concerned with the study of heterosexual, white, middle class women. Early studies focused on how the oppression of women in society is manifested through language (especially in America), while some later work conceptualized gender difference as being parallel to cross-cultural difference. However, as linguistic research in the 1990s shifted towards investigating the ways in which people use language to "perform" gender, studies of men, non-heterosexual, and other gender identities have become of increasing interest, and those topics promise to be more central to the field in the future.


Andrea D. Sims



taken from: http://www.glbtq.com/social-sciences/language_gender.html

Bibliography

Barrett, Rusty. "Markedness and Styleswitching in Performances by Drag Queens." Codes and Consequences: Choosing Linguistic Varieties. Carol Myers-Scotton, ed. New York: Oxford University Press, 1998. 139-61.

Eckert, Penelope. "The Whole Woman: Sex and Gender Differences in Variation." Language Variation and Change 1 (1989): 245-67.

Gelfer, Marylou Pausewang, and Kevin J. Schofield. "Comparison of Acoustic and Perceptual Measures of Voice in Male-to-Female Transsexuals Perceived as Female Versus Those Perceived as Male." Journal of Voice 14.1(2000): 22-33.

Kulick, Don. "Gay and Lesbian Language." Annual Review of Anthropology 29 (2000): 243-85.

Lakoff, Robin. Language and Woman's Place. New York: Harper and Row. 1975.

Tannen, Deborah. You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation. New York: Morrow, 1990.

Subjects of the Visual Arts: Hermaphroditus

Hermaphroditus, son of Hermes and Aphrodite. When he bathed in her spring, she forcibly embraced him. As Hermaphroditus struggled to free himself, Salmacis prayed that they never part. The gods granted her wish, and the two became a single being with both male and female sexual characteristics. (Ovid, Metamorphoses, 4.285 ff.)

In ancient art Hermaphroditus, either specifically or as a generalized type, is a common subject. He is either nude or lifts his garment to expose his genitals; alternatively, a satyr, who mistakes him for a woman, assaults him. The most famous portrayal represents Hermaphroditus asleep, lying on his stomach, head turned to the side, and torso twisted just enough to reveal his breast and genitals. (National Museum of the Terme, Rome, and the Louvre, Paris.)
Sponsor Message.

Hermaphrodites disappear from post-classical art history until the Renaissance, when writers of alchemical treatises rediscovered them as non-erotic symbols for the union of opposites (a potent image for later Jungian psychology), and emblem books portrayed them as symbols of marriage. (For a modern interpretation, see Marc Chagall's Homage to Appollinaire, 1911.)

The tale of Hermaphroditus and Salmacis was portrayed occasionally in Renaissance and Neoclassical art. Among the depictions are the following: Jan Gossaert [Jan de Mabuse], The Metamorphosis of Hermaphroditus and the Nymph Salmacis (1505), Bartholomaeus Spranger, Salmacis and Hermaphroditus (1581), Francesco Albani, Salmacis Falling in Love with Hermaphroditus (ca 1660) and Salmacis Kissing Hermaphroditus in the Water (1660), and François-Joseph Navez, The Nymph Salmacis and Hermaphroditus (1829).

Since the Renaissance, hermaphrodites have most commonly been depicted as medical anomalies or sideshow freaks. However, contemporary scholars, such as Anne Fausto-Sterling, have demonstrated that hermaphrodites represent a naturally occurring alternative to the rigid designation of sex as exclusively male or female.

This new appreciation of hermaphrodites has affected the visual arts. See, for example, the notion of hermaphroditic architecture in Günther Feuerstein's Androgynos and the treatment of transsexuality in Charles Moffat's paintings, Archive XIV: The Hermaphroditus/Salmacis Series.



Martin D. Snyder

taken from: http://www.glbtq.com/arts/subjects_hermaphrodites.html

Bibliography

Ajootian, Aileen. "The Only Happy Couple: Hermaphrodites and Gender." Naked Truths: Women, Sexuality, and Gender in Classical Art and Archaeology. Ann Olga Koloski-Ostrow and Claire L. Lyons, eds. London: Routledge, 1997. 220-242.

Clarke, John R. Looking at Lovemaking: Constructions of Sexuality in Roman Art 100 B.C.-A.D. 250. Berkeley: University of California Press, 1998.

Fausto-Sterling, Anne. Sexing the Body: Gender Politics and the Construction of Sexuality. New York: Basic Books, 2000.

Gilbert, Ruth. Early Modern Hermaphrodites: Sex and Other Stories. New York: Palgrave, 2002.

Raehs, Andrea. Zur Ikonographie des Hermaphroditen: Begriff und Problem von Hermaphrodismus und Androgynie in der Kunst. Frankfurt am Main: P. Lang, 1990.

Subjects of the Visual Arts: Androgyny

Androgyny, as opposed to hermaphroditism, is based on gender ambiguity rather than the display of dual sexual characteristics. An androgyne is a figure of uncertain gender in whom identifying sexual characteristics are stylized or combined.

In practice, however, artists have had little reason to observe such fine distinctions, and as a subject in art, androgyny and hermaphroditism have often been confused. Thus, the history of androgyny in visual culture is somewhat tortuous and vaguely defined; however, it nevertheless constitutes a significant and recurrent subject in art, and one that has often held special significance for glbtq people.

As a subject, androgyny has occurred in diverse geographical contexts throughout the history of art. Androgynous figures crop up in ancient Egyptian representations of gods and goddesses; likewise, Hindu deities, with their vast multitude of avatars, or personae, may simultaneously exist as both sexes, and artistic representations frequently express this fact. The Shiva Ardhanisvara, for instance--seen in numerous examples in both painting and sculpture--is male on one side and female on the other.

In times and places in which the representation of humans is forbidden or under suspicion (as occurs at various moments in both Christian and Islamic art), figures were stylized to avoid excessive naturalism, and in the process distinguishing sexual characteristics were sometimes blurred or eliminated.

In fact, probably the most famous androgynes in western art are angels, who have no sex, consistent with the belief that the angel of the Annunciation played no role in the conception of Christ. A good example of this kind of representation is Fra Angelico's famous Annunciation (ca 1437) in the monastery of San Marco in Florence.

The contemporary image of the androgyne as a beautiful youth of indeterminate sex is at least partly a legacy of Johann Joachim Winckelmann, the "father" of modern art history. The homosexual Winckelmann's adoration of Greek art (and European interest in Greek culture in general) included in many cases an undercurrent of fascination with the ancient Greek idolization of the beautiful boy, whose beauty was frequently compared to that of a woman.

Conceptions of the androgyne from the Renaissance onward in the West largely relied on such classical ideas, including the notion that the original state of humankind was androgynous (a theory attributed to Herodotus). The continuing popularity of the beautiful, androgynous inhabitants of Edward Burne-Jones's Song of Love (1868-1877) demonstrates the androgyne's ongoing appeal.

The notion of the homosexual as a sort of feminine man or masculine woman (an "invert") has contributed greatly to the popular connection of androgyny with homosexuality. Oppressed and secretive gays of earlier generations could use such images as coded references for mutual identification; and they frequently identified with androgynes as a symbol of their difference. Thus, androgynous figures in visual culture have continued to resonate with a gay and lesbian audience.



Joe A. Thomas

taken from: http://www.glbtq.com/arts/subjects_androgyny.html

Bibliography


Feuerstein, Günther. Androgynos: Das Mann-Weibliche in Kunst und Architektur. Stuttgart: Edition Axel Menges, 1997.

MacLeod, Catriona. Embodying Ambiguity: Androgyny and Aesthetics from Winckelmann to Keller. Detroit, Mich.: Wayne State University Press, 1998.

O'Flaherty, Wendy Doninger. Women, Androgynes, and Other Mythical Beasts. Chicago: University of Chicago Press, 1980.

Zolla, Elémire. The Androgyne: Reconciliation of Male and Female. New York: Crossroads, 1981.

Subjects of the Visual Arts: Narcissus

The myth of Narcissus as told in Ovid's Metamorphoses was probably intended as a moral fable against excessive pride. The son of a river god and a nymph, Narcissus was a beautiful youth loved by both men and women. Because of his good looks, however, he was very proud, and he spurned the advances of everyone who approached him.

The nymph Echo (who had been punished by Juno to repeat the words of all who spoke to her) saw him wandering in the woods one day and fell in love with him. When Narcissus realized he was lost and cried out for help, Echo responded. Eventually she revealed herself, and he spurned her as he had all who loved him.

To punish him for his pride, the gods cursed him: he would feel the unrequited love he instilled in others. When he bent to drink from a lake, he saw his own reflection and fell in love with it. His efforts to reach out and kiss himself proved fruitless, but because he was so in love with his reflection, he could not leave. He eventually died and was transformed into a flower.

Narcissus, like Ganymede, has functioned frequently in the arts as a symbol of same-sex passion. This meaning has been ascribed to the figure probably because of the affection of men for him and because he finally fell in love with a man (himself). Narcissus has also been seen as masturbatory because of his self-love and effeminate because of his focus on his own beauty.

The term "narcissism" was first used by the sexologist Havelock Ellis to define "self-love." Sigmund Freud later expanded the notion of narcissism. He viewed the Narcissus myth as symbolically homosexual in its context, the love of one for another of the same gender who shares identical interests and appearances with the narcissist.

The Oxford Guide to Classical Mythology in the Arts, 1300-1990s cites about 100 visual works of art featuring Narcissus. Among the more famous artists who depicted him are Raphael, Domenichino, Cellini, Caravaggio, Poussin, and Lorrain.

Early representations of Narcissus usually show him as a teenaged, sometimes cherubic, youth staring longingly into water. He is often seen in these works at the moment when he has discovered his reflection.

Late Baroque and Rococo depictions often place Narcissus in Arcadia and tend to emphasize the idealism of classical culture rather than the myth itself.

More modern representations are narrative and illustrate the temptation of youthful beauty. Solomon J. Solomon's Echo and Narcissus (1895) shows Echo swooning over Narcissus while the handsome youth ignores her and stares at his reflection. Gustave Moreau's Narcissus (ca 1890) depicts the youth nude as an odalisque surrounded by lush foliage, his eyes staring at the viewer rather than at himself.


Roberto C. Ferrari





taken from:
http://www.glbtq.com/arts/subjects_narcissus.html


Bibliography

Reid, Jane Davidson. "Narcissus." The Oxford Guide to Classical Mythology in the Arts, 1300-1990s. New York: Oxford University Press, 1993. 2:692-702.

Sabtu, 03 Oktober 2009

ternyata....

ternyata....
semalam
kau menghilang juga
tanpa kabar

setelah senja,
gempa datang menyapa
meninggalkan gundah
pada siapa saja
yang pernah bersama

ternyata....
kau telah pergi
pagi ini
ketika tetangga menemukanmu
dalam puing reruntuhan rumahmu

pagi ini,
kami datang di hadapanmu
mengurus segala sesuatu
dan untuk terakhir kali
menatap senyum di wajahmu






(1 Oktober 2009)

ganjil - genap

ingin ku tulis kisah tentangmu di hatiku
ketika kisah lalu tak pernah usai

ingin ku sebut namamu di setiap detak jantungku
ketika detak jantungku sempat terhenti

ingin ku hela dirimu di setiap hembus nafasku
ketika desah nafasku pun sempat terhenti

adakah dirimu sebelah sayapku itu ?
adakah kau ganjil yang membuatku genap ?
adakah dirimu setengah jiwa yang hilang itu ?
adakah kau genap yang membuatku ganjil ?






(30 September 2009)