Kamis, 16 Juni 2011

pagi ini….

hari masih pagi.
cangkir kopi bahkan belum terisi,
sedang kau telah riuh di ujung teleponmu
tentang segala sumpah-janjimu.

hari masih pagi.
maaf, aku tak ingin dengar apapun lagi
dari mulutmu yang mengunyah janji
dan membuangnya dalam kloset esok pagi.

hari masih pagi.
aku sedang membangun mimpi
tentang rumah berpagar putih
milikku sendiri.

hari masih pagi.
lebih baik kau enyah dari pandang mataku
sebab aku tak hendak merindumu lagi.
tak akan pernah!




(17 Juni 2011)

Rabu, 15 Juni 2011

gigil

pada sebuah lubang, aku bertanya. tentangmu dan tentang Tuhanmu, yang selalu kau sapa lima kali dalam sehari. tentang Tuhanmu, yang kau sembah hingga jidatmu menghitam. tentang Tuhanmu, yang pada-Nya setiap doamu kau tujukan. tentang Tuhanmu, yang mengajarkanmu untuk tidak mengurangi timbangan.

pada sebuah lubang, aku bertanya. tentangmu, yang lupa pada Tuhanmu. tentangmu, yang mengurangi timbangan. tentangmu, yang menggores luka di dinding-dinding hatiku. tentangmu, yang pahit lidah dalam wujud setangkai kembang gula.

pada sebuah lubang, akhirnya aku terdiam. tanpa tanya. sebab luka-luka itu telah menjelma jawab atas segala tanya tentangmu. tentangmu, yang menurutmu telah berjalan lurus. tentangmu, yang telah mengirim gigil ke seluruh aliran darahku.

aku diam. menyimpan kembali pistol itu di bawah bantal tidurku. dan mengurungkan segala niatku membunuhmu.

dalam gigil, aku meredam marahku. kembali menyusuri jalan sunyi. sendiri.




(13 Juni 2011)


Senin, 06 Juni 2011

pecundang

kau bilang hidup ini serupa undian berhadiah.
kadang beruntung. kadang buntung.
hmmm….

lantas ketika kau pergi setelah menabur badai
di pelataran rumahku. ingin aku memaki
dasar pecundang tak punya nyali!

aku buntung pernah mengenalmu.
sebab badai yang keluar dari mulutmu
telah menghancurkan taman bungaku.

aku beruntung pernah mengenalmu.
sebab badai yang keluar dari mulutmu
telah mengajarku jadi lebih tangguh
melawan pecundang sepertimu.





(6 Juni 2011)


seikat belukar di beranda

kisah itu tertulis kembali dalam buku catatanmu. ah, mengapa? terulang kisah yang sama padamu, pada kita. aku mencari jawab pada butir-butir matamu. kisah itu, selalu saja terjadi. atas nama bakti dan mukti, meski berujung nyeri. seikat mawar itu, ternyata belukar yang menikam ulu. dan menusuki langkah-langkah kaki.

ya, seikat mawar itu ternyata belukar. tertinggal di beranda.

belukar yang tertinggal di berandaku telah kubuang beberapa tahun lalu. meninggalkan bekas luka. luka yang membuatku ingat mawar itu bukan belukar. pun luka yang membuatku ingat mawar dan belukar punya persamaan. duri-durinya kelak menggores luka dalam buku catatan.

buang saja belukar di berandamu. sekarang. jangan lagi menunggunya tumbuh besar dan membuatmu terkurung dalam belukar. terbunuh, meski kau sadar.

buang saja belukar di berandamu. sekarang. sebab aku sayang padamu.




(5 Juni 2011)