Sabtu, 23 April 2011

senyum keabadian

pagi ini aku terbangun dari mimpi. meninggalkan sebuah rumah yang begitu nyaman. berjalan sendiri di lorong panjang dan gelap. tunggu dulu, di depan sana ada sebuah cahaya terang. dan serupa kanak-kanak, aku berlari menuju itu cahaya. aku melihat begitu banyak sekali manusia dengan berbagai bentuk wajah. oval. persegi. bulat. segitiga. dengan satu persamaan: senyum tersungging di bibir mereka. senyum yang begitu mengkilat. serupa mata pisau yang siap menjilat urat leher.

aku tersenyum pada si wajah bulat dan berkulit coklat. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba kulihat darah mengalir dari lenganku. darah yang begitu lekat. ternyata senyum itu menggores lenganku.

aku tersenyum pada si wajah oval dan berkulit putih. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari pelipisku. darah yang begitu beku. ternyata senyum itu menusuk pelipisku.

aku tersenyum pada si wajah persegi dan berkulit kuning. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari mataku. darah yang begitu mengucur. ternyata senyum itu membutakan mataku.

aku tersenyum pada si wajah segitiga dan berkulit hitam. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari ulu hatiku. darah yang begitu merdu. ternyata senyum itu menikamku. tepat sasaran. membuatku rebah tanpa nyawa di sebuah beranda.

aku melihat tubuhku tersungkur di depan kalian. si oval. si persegi. si bulat, si segitiga. aku melihat kalian tertawa di atas kematian tubuhku. aku menunggu kalian datang. satu demi satu di pintu rumahku. aku menunggu kalian mendapat satu senyum. senyum keabadian.





(20 April 2011)

kisahmu, yang lupa menjadi manusia.

ini kisahmu. terlahir sebagai belut dari rahim ibumu. licin dan licik. pandai mengelak. pandai menipu. kadang kau pun serupa biawak, yang lidahnya bercabang banyak. pandai menjilat demi posisi yang nikmat.

ini kisahmu. pemakan bangkai sesamamu. pemerkosa hak-hak sesamamu. mencatut nama lain demi membersihkan citramu yang terlanjur busuk di mataku. pun di mata sesamamu. kenyangkah perutmu? puaskah syahwatmu?

ini kisahmu. seorang bajingan dalam tubuh dewa, yang menyandang keris di balik punggungmu. keris yang kau pakai membunuhku dan sesamamu. demi rupiah memenuhi kantongmu. demi kilau namamu, yang sekemilau jidatmu.

ini kisahmu. meski aku harus meninggalkan nyawa setelah berkisah, bukan masalah. sebab kesadaran itu selalu ada dalam kepala. melawanmu, yang lupa pada nurani. melawanmu, yang lupa menjadi manusia.




(5 April 2011)

karya kolaborasi

menyimpan kelabu di sudut waktu yang rapuh



Kris Budiman & Ririe Rengganis





(1)
menghitung lupa
di pucuk-pucuk cemara
pada jejak langkahmu.

menunggu embun
menetes satu-satu
di sudut mataku.


(2)
reranting hijau berangsur
kelabu. mengabur
rapuh. jejarumnya
menusuk-nusuk masa lalumu
entah di mana.


(3)
menyimpan kelabu
padamu. diam-diam
di sudut ingatku.

menunggu hujan
pecah. menghapus debu
di ujung-ujung sepatu.




(penghujung maret 2011)