Jumat, 18 Februari 2011

sssttt, dengarkan hujan…

hujan pecah di atap rumah
menunggu entah.

sssttt…
dengarkan ia mengetuk jendela
satu-satu dalam irama merdu
menghapus jelaga
pada kelabu rambutmu.

hujan berteriak di beranda
mengirim luka.

sssttt…
dengarkan ia membakar marah
diam-diam dalam pejam
menghitung lelah
pada matamu menghitam



(11 Februari 2011)


enyah !

pagi yang salah
siang yang marah
malam yang entah

sumpah,
aku ingin kau enyah
bawa bibirmu yang basah

sebab airmata terlalu sering tumpah
oleh lidah dan langkah,
yang enggan berubah.



(10 Februari 2011)

tentang cinta yang berbeda

pada sebuah jalan sunyi, aku melangkah kaki. sendiri. tanpa peduli kanan-kiri. hingga sepasang kaki ini melewati kompleks pertokoan yang masih saja ramai. meski ini sudah dini hari. sebentar lagi pasti terbit mentari di ujung langit sana. orang-orang sedang sibuk mempersiapkan pesta rupanya. sebuah pesta hura-hura di mataku. sebuah pesta cinta katamu.

ya, kau dan teman-temanmu sedang sibuk dalam duniamu. demi sebuah pesta merah jambu. demi sebuah pesta cinta bersama kekasihmu. demi sebuah pesta semalam dengan cumbu-rayu sebagai menu utama. hingga kau lupa dengan orang-orang di sekitarmu seolah dunia ini hanya milik kalian saja. hingga kau lupa bila ada yang berduka, sedang kau sibuk hura-hura. hingga kau lupa makna menjadi manusia.

kau bilang ini adalah perayaan cinta, yang datang hanya setahun sekali saja. kau bilang ini masa muda, yang pantas dinikmati dengan hura-hura dan pesta pora. hmmm, memang benar kau lupa makna dewasa. lupa makna menjadi manusia. sebab cinta tidak hanya dirayakan setahun sekali saja, bila kau memang paham makna dewasa. sebab cinta tidak hanya dirayakan berdua saja, bila kau memang paham makna manusia.

maaf, kau tak perlu mengundangku hadir dalam pestamu. maaf, kau tak perlu mengirim puluhan tangkai mawar ke beranda rumahku. maaf, kau tak perlu mengirim sekotak coklat ke depan hidungku. maaf, sebab aku tak merayakan cinta sepertimu. maaf, sebab aku tak percaya cinta yang tersimpan dalam kepalamu. sebab cinta yang tersimpan dalam kepalaku adalah cinta yang berbeda.

kau tak perlu bertanya atau berbisik-bisik di belakang sana, tentang aku yang betah berjalan sendiri ke mana saja. kau tak perlu ragu tentang cinta yang kupunya. sebab aku pun masih manusia. sebab ini tentang cinta yang berbeda, yang tak pernah bisa kau pahami dengan logika biasa.



(9 Februari 2011)

Sabtu, 05 Februari 2011

perempuan bermulut belati yang datang ke rumahku pagi-pagi

pada sebuah pagi buta, seorang perempuan datang di beranda. mengetuk pintu rumahku, yang biru. perempuan cantik dengan mulut belati. telah datang pagi-pagi. memaki tanpa henti bahwa aku telah merebut lelaki, sang pujaan hati.

SORRY, kataku dengan nada tinggi. siapa yang tidak akan emosi bila mendapat hantaran sepiring maki pagi-pagi. bukan aku yang merebut itu lelaki. sebab aku tidak pernah memberi hati apalagi janji pada itu lelaki. ia datang sendiri tanpa permisi.

kau bilang lelaki itu menyimpanku dalam benaknya. lantas itu salah siapa? kau bilang itu salahku. sebab aku pernah melintas di beranda hatinya. dan bayanganku tertinggal di dalamnya. lantas itu salah siapa? tanya saja pada udara, itu salah siapa.

SORRY, kali ini tidak dengan nada tinggi. aku tidak tertarik pada itu lelaki. apalagi menjadi penghuni benaknya. atau simpanannya. sebab aku bukan siapa-siapa di antara kalian berdua. bila kau masih bertanya itu salah siapa? tanya saja pada udara. mungkin saja ia punya jawabannya.

kau bilang kalian akan menikah bulan depan. dan memintaku enyah dari pandangan kalian. agar bayanganku tidak lagi mengganggu benak lelakimu. sebab ia selalu membandingkanmu dengan diriku. sebab di mata lelakimu, aku selalu lebih baik dari dirimu. aku terbahak mendengar kata-katamu, lantas mengapa kau masih saja mau menikah dengannya? tanyaku, yang kau jawab dengan bisu.

SORRY
, kataku terakhir kali. aku bukan benda, yang bisa kau pindah-pindah. pun bukan sampah, yang bisa kau minta enyah demi sebuah pesta nikah. aku manusia, yang punya rasa dan bebas melangkah ke mana saja, suka-suka. bila kau tidak suka, lebih baik kau yang pergi. dan bawa saja lelakimu dengan rantai anjing, yang tersembunyi di balik kuku-kuku tajammu.

aku berlalu dari hadapanmu. sebab tidak ada lagi yang perlu dibicarakan denganmu, perempuan bermulut belati. aku berlalu dan menutup kembali pintu rumahku, yang biru.



(5 Februari 2011)

padamu yang tuba

pada ludahmu yang tuba
kau mengeja cinta dengan seksama

pada airmatamu yang tuba
kau meminta cinta dengan segala

padamu yang tuba
kau mengharap cinta datang segera

dan aku harus menelan segala tuba,
yang kau antar di depan mata
entah untuk siapa

kau atau ibumu



(31 Januari 2011)

lingkaran

pada perjalanan lalu, aku berjalan pada sebuah jalur melingkar. pada sebuah lingkaran. dan pada setiap lingkaran itu langkah-langkah nafas menjelma nyawa. aku harus terus berjalan, meski kadang kerikil dan batu mencumbu ujung kaki. aku harus terus berjalan, meski kadang beling dan duri menciumi telapak kaki. sebab aku harus menuntaskan perjalananku. mencari ujung lingkaran, yang tak pernah kutemu.

perjalanan hari ini, aku masih saja mencari ujung lingkaran di ujung kaki. kerikil dan batu masih saja setia mencumbu. pun beling dan duri masih gemar menciumi. aku harus tetap berjalan sembari menahan nyeri yang setia. meski terkadang sungai kecil mengalir diam ketika malam menyapa. sering aku bertanya pada kerikil dan batu. pun bertanya pada beling dan duri, mengapa kalian begitu setia mengikuti langkah-langkah kakiku? menunggu sia-sia. tanya tanpa jawab. hingga sebuah suara menyapa dalam gelap, tak perlu mengeluh sebab mereka adalah bagian perjalananmu. bila kau ingin mereka pergi dari jalur perjalananmu, kau harus mencuci darahmu dengan air yang kau temu pada perjalanan ini.

perjalanan hari ini, aku bertemu dengan air di telaga matamu. jernih, sebab ia bersumber dari hati yang bening. setiap pagi, aku meneguk air di telaga matamu. air yang mungkin bisa mencuci darahku. setiap malam, aku membasuh tubuh dengan air di telaga matamu. air yang mungkin bisa menghapus segala nyeriku. hingga suatu pagi, tak lagi kurasa nyeri, meski kerikil dan batu kadang masih teronggok di jalur perjalananku. pun beling dan duri yang masih setia menemani langkah-langkah kaki. sebab air di telaga matamu lebih menenangkan dari segala kerikil dan batu. pun segala beling dan duri.

perjalanan hari ini, biarkan aku tinggal dalam air di telaga matamu. biarlah air di telaga itu mencuci darah di sekujur tubuhku. sebab air di telagamu adalah penghapus nyeri dalam perjalananku. sembari berharap tak akan lagi kutemu segala batu dan kerikil pada perjalanan esok pagi. sembari berharap tak akan lagi kutemu segala beling dan duri pada lingkaran yang lain. pada lingkaran yang akan datang.

perjalanan hari ini, biarkan aku tinggal dalam air di telagamu. sebab di dalamnya segala nyeriku sirna. sebab di mataku, air itu selalu lebih kental dibanding darah. biarkan tubuhku tenggelam dalam air telagamu. pun jangan pernah memintaku pulang pada jejak darahku.




(29 Januari 2011)

jejak luka

(1)
pedang lidahmu
masih saja terus mengunyah
hati yang telah meremah,
menggenang darah.

(2)
oh, inikah buah cinta
yang pernah kau pinta
ketika senja bergantung
di ujung rambut kita?

(3)
biarkan langkah-langkah ini
terus menemu sunyi,
memunguti damai
pada kuncup-kuncup melati.



(28 Januari 2011)