Rabu, 30 September 2009

lelaki tanda seru

: untuk Aryo Yudistira



kau, teman baruku
rambut panjang, kumis melintang
semoga rambutmu tak penuh tengu

kau, teman baruku
gayamu lugu, meski otakmu penuh ilmu
suka bertanya ini dan itu

kau, teman baruku
tak pernah serius, suka melucu
dan gemar menulis tanda seru

kau, teman baruku
semoga kau selalu jadi temanku
dan berbagi cerita-cerita lucu
pengusir penatku






(29 September 2009)

permen kapas

kau penikmat permen kapas
lidahmu melumat hingga tandas
dan kau tertawa menikmatinya
serupa kanak-kanak yang enggan dewasa

kau penikmat permen kapas
lidahmu melumat hingga tandas
seolah kau menikmati pestapora
dalam sebuah pasaraya

kau penikmat permen kapas
lidahmu melumat hingga tandas

sayang, aku bukan permen kapas
dan kau tak bisa melumatku hingga tandas

sayang, aku bukan permen kapas
dan kau tak bisa merampas kebebasanku






(29 September 2009)

Selasa, 29 September 2009

mawar

bila kau tak siap menanam mawar
maka jangan kau tanam mawar
apalagi dalam hatimu

mawar memang cantik
mawar memang menarik
aromanya mampu membuatmu terlena
hingga membawamu terbang ke nirwana

dan aku hanya ingin bertanya :
siapkah dirimu tertusuk duri-durinya ?
bila kau tanam dalam hatimu
maka hatimu yang akan tertusuk duri-duri itu
ngilu serupa sembilu

siapkah dirimu bila badai datang
memporakporandakan rumpun mawarmu
hingga tak bersisa ?
siapkah hatimu tetap tegak berdiri
seusai badai berhenti ?







(29 September 2009)

cerita segala rasa

ketika aku mengenalmu dulu,
kau bilang padaku tentang cerita segala rasa

dan kau menempaku begitu rupa
mengajariku menulis kata
mengajariku mencermati rasa
mengajariku memahami cerita

dan kau menempaku begitu rupa
berbagi tawa
berbagi luka
berbagi cinta

dan kau menempaku begitu rupa
meneguhkanku pada setiap luka
mengingatkanku pada setiap tawa
menyemaikanku pada setiap cinta

dan kau menempaku begitu rupa
kau mengajariku tentang puisi
kau mengajariku tentang prosa
kau mengajariku tentang drama
kau mengajariku mencintai sastra

dan kau menempaku begitu rupa
pun mengajariku mengagumi lelaki itu
yang diam-diam ku lihat dari balik jendela kelasku
sedang duduk bersandar di tembok gedung sebelah
sibuk melukis sesuatu di atas kertas gambarmu

pun mengajariku mencintai lelaki itu
yang diam-diam ku lihat dari balik jendela kelasku
sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahmu
di tempat pembakaran keramik atau membatik

adakah dirimu tahu
jika aku memperhatikanmu diam-diam
dari balik jendela kelasku ?







(29 September 2009)

it's not a beautiful mess

tak perlu kembali ke masa lalu
jika itu menambah lukaku

karena kau memang bukan untukku
hati dan tubuhmu bukan milikku
milik ratu penunggu itu
yang selalu cemburu padaku

tak perlu kembali ke masa lalu
jika itu menambah lukaku

karena kau memang bukan untukku
karena aku bukan tebu bagimu

telah ku lupakan masa lalu
karena aku tak hendak hidup di sana
hidupku adalah hari ini dan esok hari
meski apapun terjadi

karena aku adalah aku
tubuhku milikku sendiri
hatiku milikku sendiri
dan seseorang yang bahkan ku tak tahu
seseorang yang menghargaiku sebagai aku
seseorang yang menghargaiku utuh
sebagai manusia, bukan sebagai batu








(29 September 2009)

Minggu, 27 September 2009

cemara

kemarin kita berbincang
tentang kerikil-kerikil tajam
tentang hempasan badai
tentang dingin salju

dan kau bilang aku ini serupa cemara
tumbuh tegap di tengah hutan
tetap tegak ketika badai datang menghempas
tetap tumbuh ketika dingin salju menyelimuti bumi

dan aku menatapi cemara dalam diriku
iya, aku serupa cemara itu
akulah cemara itu

tak perlu secantik mawar untuk menarik kumbang
karena aku miliki kecantikanku
ketika burung-burung pipit itu berteduh di dahanku

tak perlu seharum kenanga untuk menarik lebah
karena aku miliki keharumanku
ketika sepoi angin menghembus pucuk-pucukku

karena aku miliki diriku utuh, serupa sauh
karena aku mampu tumbuh dengan teguh
badai tak mampu membuatku rubuh
salju tak mampu membuatku luluh

akulah cemara itu
ketika terik menyengatmu
ketika dingin menggigitmu
tak perlu kau ragu
tetaplah bersamaku

akulah cemara,
akulah pohon terang
dalam gelap malammu









(28 September 2009)

bintang hatiku

ku rindu padamu, bintangku
telah lama kelam malamku
tanpa kerlipmu di atas langitku

dan semalam ku bermimpi
bintang itu jatuh di atas pangkuanku
menjelma bintang kecil di hatiku








(28 September 2009)

catatan malam: tentangmu

tak pernah lelah kau sapa aku
di setiap malamku
menghapus segala penatku
dengan segala candamu
atau mendendangkan lagu
sebagai pengantar tidurku

tak pernah lelah kau sapa aku
di setiap malamku
dan kau adalah sahabat sejatiku

kelak, kita rangkai waktu
dan biarkan segala berlalu
tentang pedihmu
tentang pedihku
hanyutkan ke laut lepas
biarkan segala bebas

dan kita tak akan terhempas
karena di setiap malamku
ku nyalakan seribu lilin untukmu
sebagai doa berkatmu

jalani hari dengan hati berseri
tak perlu kau risau
karena aku selalu ada untukmu

selalu, sahabatku









(28 September 2009)

catatan pagi: tentangmu

pagi ini, mentari pagi
menimpa wajahmu ramah
hingga pipimu begitu berseri
memerah serupa tomat

melihatmu pagi ini
semerah tomat, berseri
tetaplah begitu
dan kau adalah sahabat sejati

melihatmu pagi ini
semerah tomat, berseri
tetaplah begitu
dan kita akan selalu berbagi
tentang cerita hati
tentang apa saja
tentang dunia
di bawah kaki kita

sesuka kita
tak perlu peduli kata mereka







(27 September 2009)

di bawah rindang itu

mengapa rindu
selalu biru
dan aku selalu menunggu
di bawah pohon rindang
depan perpustakaan
ketika kelasmu belum usai

mengapa rindu
selalu biru
dan kau selalu menunggu
di bawah pohon rindang
depan perpustakaan
ketika kelasku belum usai

dan di bawah rindang itu
kita selalu bertemu
setiap minggu
menikmati waktu
menikmati riuh
menikmati gaduh

dan di bawah rindang itu
kita selalu bertemu
berharap rindu tak pernah layu
meski kelak waktu berlalu






(27 September 2009)

Sabtu, 26 September 2009

semangkuk es krim coklat

ku tatap senyum dinginmu
masih saja beku
entah mengapa begitu

ku tatap lekat parasmu
masih seperti dulu
semanis madu

dan kita ada masih sama
duduk berhadapan tanpa bicara
menikmati semangkuk es krim coklat
berdua

melumat gundah
mengusir resah
memahami gelisah
menjalani kisah tentang entah
hingga waktu pun jengah








(26 September 2009)

mata indahmu

matamu adalah anugerahku
ketika kau memandang
ketidaksempurnaanku
dalam sempurna pandangmu

dan biarkan matamu
jadi penuntunku
menuju surga-Mu







(26 September 2009)

cinta

: untuk seorang adik perempuan



ketika kau masih belia
cinta terasa jauh dari logika
bukan pula sekadar hitungan matematika
atau sederetan angka semata

ketika kau masih belia
cinta tak kenal hitungan ekonomi
tak kenal laba atau rugi
kau lakukan semua dengan rela hati

ketika kau masih belia
cinta serupa gula-gula
dan ketika kau terluka olehnya
duniamu serasa berhenti rotasi

sayang, kau bukan lagi belia
cinta juga perlu logika
cinta juga perlu matematika
pun melibatkan sederet angka
pun mengenal rugi dan laba
pun serasa sepahit buah maja

tak mengapa, nikmati saja
karena itulah yang membuatmu dewasa








(26 September 2009)

Lelaki Terindah

: 14 Agustus 2004
kisah tercecer dari Lembah UGM




suatu ketika dulu, aku pernah dihanyut asmara
tetapi tak pernah ku tenggelam karena kekuatan cintamu
telah menjadi perahu dan dayungku

aku ingin menggandeng tanganmu
di saat aku ragu

aku ingin lari ke dalam pelukanmu
di saat aku takut

aku ingin membaca peristiwa
di antara helai rambutmu

aku ingin memahami hidup
di setiap garis wajahmu

hanya engkaulah yang mampu
melenyapkan ragu menjadi tahu
memupuskan kelu menjadi deru

hanya engkaulah yang bisa
menggantikan tawar menjadi rasa
menghadirkan tiada menjadi ada

karena hanya engkaulah
lelaki terindah dalam hidupku





(diedit 26 September 2009)
*) judul terinspirasi novel Lelaki Terindah karya Andrei Aksana
terbitan Gramedia Pustaka Utama, April 2004

a beautiful mess

telah begitu lama
aku tak duduk di beranda
sekadar menghabiskan senja
bersama Bunda

telah begitu lama
aku tak bercerita tentang apa saja
dan hanya berbicara padamu seperlunya
karena duniaku terlalu menyita mata dan tenaga

telah begitu lama
aku terbang di luar sana
hinggap di pucuk-pucuk cemara
mengumpulkan biji-biji ara
berbagi kasih dan cinta dengan sesama
seperti kau pernah ajarkan padaku

telah begitu lama
aku tak meluangkan diriku untukmu
meski sekadar menikmati secangkir teh hangat buatanmu
atau mendengar segala resah dan petuahmu

telah begitu lama
kadang aku lebih nyaman bersembunyi di dalam gua
mengeja makna literatur-literatur
hingga membuatku tertidur
di atas tumpukan literatur dalam ruang tidur

telah begitu lama
dan pagi ini ku dengar keluhmu
merasa kehilangan gadis kecilmu
di antara sarapan pagiku yang terburu

maafkan aku, hanya itu kataku
dan aku tak melanjutkan sarapanku
lidahku mendadak kelu

benarkah aku telah hilang darimu ?
tanyaku dalam hati
tak hendak aku berdebat denganmu

entah apa terlintas dalam benakmu
ketika melihat gadis kecilmu termangu
dan tiba-tiba meluncur sesuatu dari mulutmu
apa pun yang kau lakukan di luar sana
tetaplah jaga dirimu, jaga hatimu
jaga kehormatanmu, jaga namamu
jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu
termasuk mengganggu lelaki beristri
meski luka-luka lalu telah menggoresmu begitu rupa

busyet, dah !!!
apa yang ada dalam kepala Bundaku ?
tanyaku dalam hati

aku bukan penggoda, Bunda
jikalau mereka tergoda, bukan salahku kan ?
kataku sembari terbahak dalam hati
tak berani aku berkata apapun di depanmu

iya, doakan saja, aku tetap ada di jalan lurus
hanya itu keluar dari mulutku
Bunda, aku menikmati hidupku
menikmati duniaku
dan aku tak hendak merusaknya
demi kenikmatan semu semata

dan aku menjalani hariku dengan kacau
setelah mendengar petuahmu
dalam sarapan pagiku yang terburu









(26 September 2009)

Jumat, 25 September 2009

tuluskah jabatmu ?

tanya pada hatimu
siapakah aku ?

ketika kau katakan:
jadilah temanku selalu
aku mengangguk lugu
karena aku percaya padamu
kau adalah temanku

ketika waktu berlalu
kau mengajariku
mengertimu, duniamu
dan aku pahami itu
setiap jengkalmu, setiap langkahmu
setiap nafasmu, setiap denyutmu
setiap tawamu, setiap tangismu

ketika waktu makin berlalu
mengapa kau makin menjauh
dengan segala angkuh
meski aku tak pernah berniat menjauh

tanya pada hatimu
siapakah aku ?

dan aku punya satu tanya untukmu:
ketika kau terima jabat tangan pertemananku, tuluskah itu ?








(26 September 2009)

mentari dan merpati

membaca lagi catatan-catatanmu hari ini
aku hanya mampu berdiam diri
tak ada guna aku berbenah diri selama ini
ketika di dalam hatimu hanya ada benci

dan aku biarkan segalanya pergi dari hati
tak ada guna membalas benci dengan benci
biarkan aku berdiam diri
mendengar segala caci dari bibirmu
membaca segala benci dari wajahmu

dan aku biarkan segalanya pergi dari hati
karena kau adalah guruku
kau serupa mentari pagiku
tak akan pernah lelahku terbang ke arahmu
meski terikmu kadang membakar tubuhku

dan aku biarkan segalanya pergi dari hati
karena kau serupa mentari
kadang hangat, kadang terik
kadang bersahabat, kadang serik

karena aku hanya merpati kecil
tak berarti dalam jeli matamu








(25 September 2009)

lelaki terakhir di perpustakaan itu

telah beberapa kali ku baca kisahmu
telah ku balut lukamu
telah ku hapus airmatamu
mengapa masih saja ngungun setiap malammu ?

tak perlu lagi kau tundukkan kepalamu
terbanglah kembali
mengejar segala mimpi
di sela-sela matahari
dan bintang terang di atas sana

tak perlu lagi kau tundukkan kepalamu
berjalanlah kembali
di muka bumi dengan percaya diri
dan senyum dari hati
kelak kau akan temui
sang belahan hati








(25 September 2009)

Kamis, 24 September 2009

perempuan

perempuan
bangunlah dari mimpi masa kecilmu
kau telah dewasa
dan bukan lagi masa suka-suka
atau canda tawa semata

perempuan
bangunlah dari mimpi masa kecilmu
karena hidup bukan sekadar mimpi
tentang dongeng sang putri
yang dipinang sang pangeran
dengan segala kemewahan
dengan segala kenyamanan

perempuan
bangunlah dari mimpi masa kecilmu
karena hidupmu lebih mulia
dari sekadar menghamba pada cinta

perempuan
kaulah itu cinta
tak perlu lagi kau meminta
kelak di rahimmu, cinta akan tumbuh sempurna
menerobos liang vagina dan menghuni dunia

perempuan
kaulah itu cinta
menahan sakit pun demi cinta
maka tak perlu kau begitu menghamba
ketika kau terluka, karena cinta bukanlah luka
yang ada hanya luka bersemir cinta

perempuan
kaulah itu cinta
di tanganmu, generasi dunia dipertaruhkan
entah cerah, entah mendung
tergantung pada apa yang kau kandung
dalam otakmu, dalam pikirmu
dalam lakumu, dalam bibirmu
dalam tubuhmu, dalam seluruhmu

perempuan
kaulah itu cinta
seteguh karang, setangguh ombak
sehangat mentari, sesejuk embun
seluas samudera, seindah bintang

perempuan
kaulah itu cinta
dan kau tak perlu menghamba padanya
karena cinta telah bersemayam dalam tubuhmu

perempuan
bangunlah dari mimpi masa kecilmu
karena hidup bukan sekadar mimpi
tentang dongeng sang putri
dan belajarlah berlari
membangun impianmu sendiri
dengan segala potensi diri
yang telah kau miliki

perempuan
kaulah sakti, ketika kau menjadi ibu
kaulah jiwa, ketika kau menjadi istri
kaulah bakti, ketika kau menjadi putri
kaulah cinta bagi dunia
dan kau tak perlu lagi menghamba padanya







(24 September 2009)

satu jiwa, dua tubuh

kau dan aku memang terlahir beda
dan itu memang wajar
karena kau lelaki, aku perempuan
kau berpenis, aku berbuah dada

kau dan aku memang terlahir beda
dan itu memang wajar
karena kau berasal dari mars, aku berasal dari venus
kau ada di kutub utara, aku di kutub selatan

kau dan aku memang terlahir beda
dan itu memang wajar
karena perbedaan kelak menyatukan kita
karena kita sesungguhnya satu jiwa
dalam tubuh berbeda

kau adalah setengahku
aku adalah setengahmu

kau adalah sisi lainku
aku adalah sisi lainmu

tak perlu kau risau
tak perlu ku galau
kelak kita akan bertemu
meski begitu berliku jalan di depanmu
meski begitu berliku jalan di depanku

tak perlu kau ubah apapun milikmu
tak perlu ku ubah apapun milikku
karena itulah penghubung jiwa merindu

aku pinta satu hal padamu
jangan pernah lelah menjawab setiap tanyaku
dan aku selalu pahami satu hal darimu
aku tetap tersenyum di setiap tanda serumu







(24 September 2009)

lelaki semanis ceri

lelaki semanis ceri
sedang duduk sendiri
dan menangis seorang diri
di ujung senja ini

ah, lelaki semanis ceri
siapa gerangan telah tega hati
meninggalkanmu sendiri
dengan luka membuncah di hati

lelaki semanis ceri
biarlah senja membawa dukamu pergi
tak perlu kau risau malam ini
karena bintangmu akan bersinar kembali
menemani segala sepi
menghapus segala nyeri

lelaki semanis ceri
tersenyumlah kembali
karena kau memang lelaki semanis ceri
yang tak perlu risau tentang elegi patah hati







(24 September 2009)

Rabu, 23 September 2009

senja di Prambanan

senja itu
di pelataran Prambanan
kau telah berjanji padaku
membangun seribu satu candi baru
yang tak pernah ku pinta padamu

senja itu
aku hanya tersenyum padamu
dan kau bersikeras padaku
kelak akan kau tepati janjimu

senja itu
ku bilang padamu
tak perlu berjanji
jika kau tak mampu menepati

senja itu
ku bilang padamu
aku tak perlu seribu satu candi baru
karena aku hanya perlu dirimu
ada di sisiku

selalu

dan kau menghilang setelah itu
serupa senja menghilang ditelan malam








(24 September 2009)

rosariomu

dalam jubah putihmu
kau tetap sama dalam pandangku
lelaki bermata teduh
dan senyum ramahmu

tak pernah lepas rosario itu
dari genggamanmu

tak pernah jengah hatimu
melayani Tuhan dan umatmu

tak pernah lelah mulutmu
menyenandungkan doa untukku

dan aku tak pernah lelah memandangmu
dalam setiap misamu
meski hanya dari kejauhan
karena kau adalah kekasih Tuhan, kini







(23 September 2009)

embun

biarkanku jadi embun
membasuh resah setelah mimpi burukmu
semalam

biarkanku jadi embun
membasuh jengah dalam segala lelahmu
kemarin

biarkanku jadi embun
selalu menyapamu santun
di setiap pagimu yang ngungun






(23 September 2009)

Selasa, 22 September 2009

mawar merah jambu

: untuk Lintang Kejora


mawar merah jambu
pengganti rindumu
telah mengering di sudut ruangku

tak perlu lagi kau
kirimi aku mawar merah jambu
sebagai pengganti rindumu

mawar merah jambu
pengganti rindumu
duri-durinya memberiku kelu

mawar merah jambu
pengganti rindumu
dan kau telah berlalu
dari hidup dan hatiku

tak ada niatku
memanggilmu kembali
karena kau telah bersamanya
dan aku tidak menerima sisa

tak ada niatku
memanggilmu kembali
bagiku, sekali kau pergi
tak ada jalanmu kembali

tak ada niatku
memanggilmu kembali

biarkan saja semua berlalu
berbahagialah bersama lelakimu
dan aku telah memilih jalanku
bersama perempuan-perempuanku







(22 September 2009)

pembunuh rindu

telah kau bunuh rindu
dengan manis
dengan sebilah keris
yang tersembunyi
di balik punggungmu

telah kau bunuh rindu
dengan manis
dengan sebilah keris

dan tak ada lagi
yang perlu kau kenang
karena kau telah membuang
rindu ke dalam liang
tadi siang

dan rindu telah mati
dengan tenang
tadi siang







(22 September 2009)

rindu dalam kotak biru

telah ku titipkan rindu padamu
dalam kotak biru itu
semua untukmu
tak ada lagi sisa untukku

telah ku titipkan rindu padamu
dan simpan dalam hatimu

telah ku titipkan rindu padamu
ketika kau asyik bercumbu
dengan belahan jiwamu

telah kutitipkan rindu padamu
hanya ingin kau tahu
ada sebuah hati lain menunggu
di malam-malammu







(22 September 2009)

edelweiss

tak ada lagi yang ingin ku tulis
tentangmu, tentangku
tentang kita

bukan karena aku tega
karena kau lupa
berpamitan
atau entah memang kau sengaja
agar aku lupa
tentang segala janji kita

tak ada lagi yang ingin ku tulis
kini, aku ingin duduk manis
memandangi kisah cinta kalian yang manis

tak ada lagi yang ingin ku tulis
kini, aku ingin duduk manis
serupa edelweiss
di lereng gunung itu








(22 September 2009)

jus brokoli untukku, tomat untukmu

dulu,
kau kirimi aku puisi serupa jus brokoli
yang harus ku minum setiap pagi
sebagai sebuah terapi

dan aku nikmati jus brokoliku
karena itu baik bagi darahku

kini,
kau kirimi aku puisi serupa pisau sepi
rindu menyayati buah tomat
yang diam-diam kau lumat
dalam mulut lamat-lamat
sebagai terapi bagi prostat

nikmati saja buah tomatmu
karena itu lebih baik bagi prostatmu








(22 September 2009)

retak

semua tak akan pernah sama
setelah kau lempar gelas itu

retak
tinggal menunggu sedikit sentuhan
menunggu hancur

dan aku tak akan menyimpan
sisa-sisa retakan
yang akan menggoresku
bahkan melukaiku

retak
tinggal menunggu sedikit sentuhan
menunggu hancur

dan aku akan menguburnya
agar tak sempat menggores
atau melukai yang lain





(22 September 2009)

teddy bear

kau ada dalam setiap gundahku
memberiku sandaran dan pelukan
dalam setiap hela nafasmu

kau ada dalam setiap tawaku
bercerita dan tertawa bersamaku
dalam setiap denyut jantungmu

cause you are my teddy bear


aku ada dalam setiap gundahmu
memberimu sandaran dan pelukan
dalam setiap hela nafasku

aku ada dalam setiap tawamu
bercerita dan tertawa bersamamu
dalam setiap denyut jantungku

cause i am your teddy bear

kita selalu bersama
berbagi apa saja
entah gundah
entah tawa

cause we are a couple of teddy bear
for each other









(21 September 2009)

Senin, 21 September 2009

di ujung jalan itu

akan ku tunggu dirimu
di ujung jalan itu
setelah kembaramu

akan ku tunggu dirimu
di ujung jalan itu
setelah lelahmu

akan ku tunggu dirimu
di ujung jalan itu
tempat istirahmu

karena telah ku putuskan
bahwa aku bukan selir
yang hanya pandai mencibir

karena telah ku putuskan
menjadi permaisurimu
meski harus menunggu

karena telah ku putuskan
memahat namamu dalam relungku
dan hanya namamu







(21 September 2009)

sang penakluk

di bawah tatap mata itu
aku telah tunduk

takluk

telah kau panjati tebing-tebing tinggi
pun telah kau panjati dinding hati ini
pemanjat dinding hatiku
telah membuat korsleting otakku

telah kau susuri gunung-gunung tinggi
pun telah kau susuri palung jiwa ini
penyusur palung jiwaku
telah membuat bingung langkahku

kau hanya perlu tahu
di bawah tatap matamu
aku telah tunduk
aku telah takluk

takluk







(21 September 2009)

ketika malam

dalam diam
ku pandangi beberapa batu candi
wujud beberapa puisi
yang telah kau tulisi
dan kau beri bagi sang putri

dalam diam
dan hanya dalam diam

biarkan aku bungkam
dan tak perlu kau tanya tentang malam
ketika segala kembali kelam

biarkan aku bungkam
ketika malam






(21 September 2009)

Minggu, 20 September 2009

aksara

berpuluh tahun lalu, aku mulai mengenalmu
belajar mengejamu
dan masih saja belajar mengejamu
hingga usia tak lagi kanak-kanak

mengutak-atik dirimu
jika dirimu sendiri, kau hanyalah bunyi tanpa arti
jika dirimu bergabung beberapa, kau menjelma kata

dirimu itu sakti
mampu mengubah suasana hati
mampu mempengaruhi diri
mampu menggambar citra diri
pun mampu membunuh diri

ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia
di dalamnya ku temukan rupa-rupa
fonem, morfem, dan leksem
sintaksis, semantik, dan pragmatik
hingga tata bahasa

ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia
karena logika berawal dari bahasa
itu menurutku, entah menurutmu
hingga seorang teman mencecarku, dulu
berapa harga sekilo fonem?
ada kenaikan harga morfem minggu ini?

aku tak ambil peduli
kami pun tak ambil peduli
karena kau pun makhluk berbahasa
karena kalian pun makhluk berbahasa

ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia

sayang, aku tak mahir dalam tata bahasa
profesorku selalu membuatku melilit di kelas pagi
dengan tatapan dingin dan suara nyaring
meski aku telah belajar keras, amat keras
dan aku memang tak mampu jadi dokter kulit
begitu kata profesorku

iya, aku tak mahir dalam tata bahasa
dan profesorku yang lain berkata
bahwa aku lebih berbakat menjadi dokter jiwa
mengobati jiwa-jiwa terluka
dengan puisi-puisi cinta
atau menjadi dokter jantung
mengembalikan kembali denyut jantung
jiwa-jiwa murung yang terpasung











(20 September 2009)

rimbun sakura merah jambu

di sepanjang jalan itu
pada rimbun sakura merah jambu
kita pernah bertemu
kau dan aku
sebuah kisah lalu

di sepanjang jalan itu
pada rimbun sakura merah jambu
kau pernah bilang menungguku
dan ku bilang aku pasti kembali untukmu

di sepanjang jalan itu
pada rimbun sakura merah jambu
sebuah janji pernah berpadu
hanya menunggu waktu
nyata dari sebuah kisah lalu








(20 September 2009)

perjalananmu

: untuk seorang adik lelaki


entah apa yang kau cari dalam perjalananmu
entah apa yang kau cari dalam perempuan-perempuanmu
dan aku hanya mampu memandangmu
dari sudut mataku
karena kau enggan menjawab setiap tanyaku

entah kau lupa bila ibumu seorang perempuan
entah kau lupa bila saudarimu seorang perempuan
entah kau lupa bila kelak anakmu pun seorang perempuan

tuntaskan perjalananmu
karena kau telah berani memulainya
tuntaskan perjalananmu
karena kau adalah lelaki
yang seharusnya berani menghadapi
dan bukan melarikan diri

tuntaskan perjalananmu
sebelum sesal menghampirimu
kelak dalam perjalanan lainmu










(20 September 2009)

senja kala (2)

tak mampu membaca apapun
sepasang mataku sedang tak bersahabat denganku
sementara setumpuk literatur terus memanggilku

tak mampu menulis apapun
jemariku sedang tak bersahabat denganku
sementara setumpuk resume terus menantiku

tak mampu berpikir apapun
otakku sedang tak bersahabat denganku
sementara setumpuk kertas terus menanti ditulisi

dan aku memilih menghabiskan senja
bersama satria-satria badung
yang selalu menjagaku tidak menjadi badung

dan aku memilih menghabiskan senja
bersama satria-satria badung
yang selalu mengajariku menjadi petarung
yang selalu memberiku tempat berlindung
ketika aku mulai dirayapi bingung

dan aku memilih menghabiskan senja
bersama satria-satria badung
hingga malam kembali menelikung












(20 September 2009)

durian

suatu ketika seseorang
menyebutku serupa durian
tajam penuh duri
menghujam hingga ke ulu hati

dan aku bilang padanya
iya, lebih baik bagiku menjadi durian
daripada menjadi kedondong sepertimu

pohonku hanya tumbuh lurus ke atas
cabang-cabangnya pun tumbuh tegas
meski buahku terlihat berduri
tetapi manis dan legit di dalam
pun aroma harum menggoda

iya, lebih baik bagiku menjadi durian
daripada menjadi kedondong sepertimu
mulus di luar, berduri di dalam
pun berasa asam

iya, lebih baik bagiku menjadi durian
dan tangan-tangan jahil tak akan
mampu menikmatiku sebelum
mampu menaklukkan duri-duriku








(20 September 2009)

Sabtu, 19 September 2009

merpati

: untuk seorang adik perempuan


biarlah segala pergi
serupa arah angin selalu berganti

biarlah segala pergi
dan mulai benahi diri
karena masa lalu tak akan kembali

biarlah segala pergi
karena hidupmu tak boleh berhenti
oleh sebuah janji yang tak ditepati

biarlah segala pergi
dan belajar menata hati kembali
tanpa perlu meratapi diri
agar hatimu kembali damai

biarlah segala pergi
karena bagi bunda dan ayahmu
kau tetap merpati kecil
belajar mengepakkan kembali sayapmu
setelah persinggahan lalu

biarlah segala pergi
karena kau adalah merpati
yang belajar terbang tinggi
mengejar matahari
menepati sebuah janji pada diri
menjadi anak berbakti
pada bunda dan ayah yang setia menanti









(19 September 2009)

lebaran

"saling memaafkan tak perlu menunggu lebaran tiba"
begitu pesan kakek ketika aku masih kanak-kanak dulu

"minta maaf tanpa mengubah perilaku dan kata itu percuma"
begitu pesan nenek ketika aku masih kanak-kanak dulu

dan aku masih harus belajar tentang itu
sampai uban mulai tumbuh di sela-sela rambutku
sampai garis halus mulai mengalur di sekitar mataku

dan aku masih sering bertanya pada diri
apakah lebaran itu hanya sekadar tradisi
serupa mudik dan jalanan berisik
yang selalu membuat hati terusik

bagi kanak-kanak,
lebaran selalu menyenangkan
malam lebaran penuh petasan
nyala kembang api beraneka warna
baju baru dan lembaran uang baru
ketupat dan opor ayam tersedia di atas meja

bagi orang tua,
lebaran masihkah menyenangkan ?
lebaran masihkah tetap demikian ?

lebaran semestinya perubahan
dan memperbaiki kesalahan
setelah saling memaafkan

semoga,
lebaran bukan hanya nyala petasan
lebaran bukan hanya nyala kembang api
lebaran bukan hanya baju dan uang baru
lebaran bukan hanya ketupat dan opor ayam

semoga,
lebaran menjadikan hati semakin lebar
memaafkan segala kesalahan
memperbaiki segala kesalahan
menuju sebuah perubahan
dan menghargai setiap perbedaan

semoga










(19 September 2009)

Jumat, 18 September 2009

teratai

: untuk seorang adik perempuan



ku pahami pedihmu
karena kau dan aku terlahir sama
sebagai perempuan
pun terlahir dari seorang perempuan

ku pahami pedihmu
tak perlu kau meratapi nasibmu
tetaplah berjalan dengan anggun
tak perlu kau tunduk pada apapun
tak perlu kau tunduk pada siapapun

jadilah serupa teratai
tumbuh dengan cantik
meski di atas lumpur

jadilah serupa teratai
tak mudah patah
meski arus menebah

jadilah serupa teratai
cantik dan anggun
meski air selokan pernah membasuhmu

jadilah serupa teratai
dan biarlah hatimu damai
meski hujan menangis serupa rinai









(18 September 2009)

Rabu, 16 September 2009

sebuah kotak untukmu

Who, like the moon, unblemished, pure,
is clear and limpid, and in whom
delights in being a consumed,
that one I call a Brahmin True.
(Chapter 26, The Brahmana, Verse 413: Learning The Charm)




: untuk Bram Seto


terlahir sebagai putra Ayah dan Bunda
dan sebuah nama sebagai anugerah
melekat serupa nama dewa: Brahmana
serupa asa melekat dalam jiwa

dan menjadi sahabatmu adalah hadiah terindahku
memahami dirimu adalah tugas terbesarku
memasuki hidupmu adalah anugerah terindahku
melangkah bersamamu adalah pelajaran terhebatku

berbagi tawa bersamamu adalah kebahagiaan bagiku
berbagi tangis bersamamu adalah kehormatan bagiku
berbagi kisah bersamamu adalah kebanggaan bagiku

kau telah menjadi teman, berbagi senyuman
kau telah menjadi sahabat, berbagi dekat
kau telah menjadi guru, berbagi ilmu

ketika usiamu beranjak
aku hanya mampu memberi beberapa baris sajak
itu pun jika memang pantas disebut sajak
sebagai balasan atas kata-kata bijak
yang tertinggal serupa jejak-jejak

ketika usiamu makin dewasa
aku hanya mampu menyebut namamu di setiap doa
itu pun jika memang pantas disebut doa
sebagai balasan bagi jiwa yang selalu terjaga
serupa malaikat penjaga

ketika usiamu makin beranjak
padamu, aku menitipkan sebuah kotak
bukalah ketika hatimu sudah tak lagi bergejolak
dan aku selalu menunggu serupa kanak-kanak
yang enggan beranjak ketika melihat coklat sekotak










(17 September 2009)

"happy birthday, Ako Bram...."

senja kala (1)

menatap mentari senja penuh takjub
membiarkan kemilau jingga membelai kulitku
membiarkan pasir menyapu ujung jemari kakiku
membiarkan angin senja berhembus bebas
berlarian di antara helai-helai rambutku

senja kala sempurna
semoga kita selalu bersama
selamanya

senja kala sempurna
biarlah segalanya sirna
ditelan kelam malam








(16 September 2009)

sapi

menatap sapi-sapi merumput
membuang segala kalut
yang telah lama melumut

menatap sapi-sapi merumput
mengingatkanku padamu
pelukis senyumku

menatap sapi-sapi merumput
duh, betapa sapi-sapi yang imut

dirimu, sahabat terhebat
benua dan samudra berbeda
bukanlah penghalang tawa kita
pun berbagi airmata bersama
semoga selamanya










(16 September 2009)

lelaki berhati merah jambu

tak ada niatku menyakitimu
lelaki berhati merah jambu

tak ada niatku menyakitimu
kita berjalan di dunia yang berbeda
dengan mereka, katamu

mungkinkah itu ?
serupa lelaki lain sebelum dirimu
memberi senyum palsu
di balik kelambu kelabu
menawar rindu pada setiap pahatanku
dan bukan diriku

tak ada niatku menyakitimu
kau adalah milik sang ratu
dan aku hanya sekilas kisah dalam hatimu
penghuni setengah hatimu

tak ada niatku menyakitimu
tak ada niatku menyakiti ratumu
karena aku percaya satu:
kelak Karma akan menghukumku

masihkah kau ada di sana untukku,
membebaskanku dari Karma itu ?










(16 September 2009)

Tanda Cinta Kami Pada Sang Resi

: A Tribute to HMA. Icksan





pagi itu, kuliah pertamaku dalam kelasmu
datang agak terlambat, angkot selalu penuh
dan aku harus duduk di barisan terdepan
sebagai ganjaran atas keterlambatanku

pagi itu, kuliah pertamaku dalam kelasmu
matakuliah Teori Sastra
diawali dengan satu pertanyaan singkat
dengan jawaban yang mengundang debat
masih ku ingat pertanyaanmu:
apakah itu kursi ?
dan kelas pun menjadi riuh
sementara aku hanya diam termangu
mendengar jawaban teman-teman
yang berdengung serupa lebah madu

kau menunjukku, karena duduk di depanmu
dan sejak tadi hanya termangu menatapmu,
aku jawab sekenaku:
dalam makna denotasi
kursi itu tempat duduk, apapun bentuknya
selama berfungsi sebagai tempat duduk
dalam makna konotasi
kursi identik dengan kekuasaan

dan kau hanya mengangguk
berganti menunjuk teman-teman yang lain
satu demi satu

dan aku begitu terkesima memandangmu
lelaki seusia kakekku
rambut gondrong, telah memutih seluruhnya
putih keperakan, terikat serupa ekor kuda
dengan semangat yang tetap muda
langkah-langkah kakimu pun masih setegap pemuda

pagi itu, kuliah pertamaku dalam kelasmu
dan kau berpesan sesuatu pada kami semua:
tak begitu penting bagaimana penampilanmu di kelas ini
bagiku yang penting adalah bagaimana otakmu bekerja
bagiku yang penting adalah bagaimana rasamu bekerja

dan itu pelajaran pertama untukku:
don't judge the book by it's cover

dan hingga kini aku pun masih belajar sepertimu
tak memandang orang lain dari wujud wadag semata
menilai orang dari kemampuannya mengendalikan lidah
menilai orang dari kemampuannya mengendalikan amarah
menilai orang dari kemampuannya mengendalikan tingkah polah

pagi itu, kuliah pertamaku dalam kelasmu
awal langkahku menjadi diriku
mengasah rasa, mengasah asa, mengasah peka

dan kau adalah pujangga bagi kami
memahat kata di setiap nafas kami
memahat kata di setiap langkah kami
menyenandungkan balada di setiap kuliah kami
mengasah rasa, mengasah asa, mengasah peka

dan kau adalah resi bagi kami
mengajari langkah kami dengan tradisi
mengajari kami memahami nurani
mengisi hati kami dengan puisi
mengasah rasa, mengasah asa, mengasah peka

pagi ini, tak lagi ada lagi aku dalam kuliah di kelasmu
masih ada pahatanmu dalam hatiku
masih ada pahatanmu dalam nafasku
masih ada pahatanmu dalam langkahku

pagi ini, tak ada lagi aku dalam kuliah di kelasmu
dan kami tetap ada di sini,
menjaga tradisi
menggunakan nurani
mencintai puisi
dalam sebuah silaturahmi











(15 September 2009)

the other side

tersentak dan terhenyak
ketika ku baca catatanmu pagi ini

selama ini,
ku kagumi dan ku hormati dirimu
sebagai guru
sebagai kakak
sebagai teman
sebagai sahabat
dan tak ada niatku menyakitimu

tersentak dan terhenyak
ketika ku baca catatanmu pagi ini

ternyata ???
tak perlu menyumpahiku mati
kelak aku juga akan mati
dan aku memang sudah mati
dalam hatimu, dalam hidupmu

pernah aku bertanya padamu:
apa salahku ?
kau memintaku diam
dan aku diam seperti pintamu
ku jaga hatimu
karena kau adalah temanku
karena kau adalah sahabatku
karena kau adalah kakakku
karena kau adalah guruku

pagi ini
kata-katamu adalah belati
dan aku tak akan pernah mati
meski kau tusuk aku seribu kali

kau tak mengenalku
tak mengenal dunia nyataku
selama ini pandangmu adalah cermin semu
mengenal sebatas dunia mayaku
the other side of me
apa ini mengganggumu ?
apa kau ingin aku berhenti menulis ?
katakan padaku
dan akan kugantung penaku

pagi ini
kata-katamu adalah belati
dan aku tak akan pernah mati
meski kau tusuk aku seribu kali

karena dalam dunia nyataku
aku tetaplah Srikandi dengan busur dan panah
perempuan yang tak pernah menyerah kalah
perempuan yang tak pernah menangis karena lelah

karena dalam dunia nyataku
aku tetaplah karang yang tak pernah goyah
meski ombak menerjangku tanpa sudah
aku tetaplah embun yang selalu belajar santun
meski kau selalu mencelaku tanpa ampun

maaf, aku telah bersabar
memandangmu di kejauhan
dan aku tak akan membuatmu gusar
karena aku yakin kita adalah sama
punya dua sisi berbeda
dalam tubuh yang sama

maaf, aku tak akan mencelamu
seperti kau lakukan padaku
karena aku menghormatimu
karena kau hebat di mataku
di mata teman-temanmu
dan aku hanya sebutir debu
dalam pandangmu

maaf, aku tak akan mencelamu
karena aku menghormati dirimu
karena kau adalah guruku










(14 September 2009)

Sepotong Kisah di Warung Kopi

Srinthil mengantar kopi pesanan Kang Parman dengan senyum manis terlukis di bibirnya. Ya, Kang Parman adalah pelanggan setia warung kopinya. Juga semua orang yang sedang menikmati kopi di warung ini, sembari ngobrol atau sembari memperhatikan yang lain.

"Buku apa itu, Kang?" tanya Kang Parman pada Kang Sarimin di seberang sudut tempatnya duduk.

"Bukan buku apa-apa," jawabnya singkat sembari tersenyum. Senyum yang lebih mirip dengan seringai. Ada gamang dalam wajahnya.

Kang Parman hanya mengangguk. Menyeruput kopi yang tak seberapa manis itu sedikit demi sedikit. Asap masih mengepul dari dalam gelasnya. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya hingga membentuk lingkaran-lingkaran asap di udara. Binatang-binatang malam telah menyanyikan ode di luar sana. Merdu. Syahdu.

Kenikmatan Kang Parman ini tiba-tiba dikejutkan suara Kang Sarimin yang telah duduk di sebelahnya. "Kang, bagaimana dengan Srinthil?" tanya Kang Sarimin dengan mata memandang Srinthil yang sedang sibuk membuatkan kopi untuk seorang langganan yang baru saja datang dan memesan segelas kopi jahe.

"Kenapa dengan Srinthil?" tanya Kang Parman balik. Tak paham arah pertanyaan Kang Sarimin.

"Dia cantik, supel, dan mandiri. Dibanding perempuanku yang dulu, yang juga cantik itu. Sayangnya, dia selalu membuatku lelah dan jengah. Dia selalu bercerita tentang resah dan gundah. Dia selalu memandangku serupa sampah, Kang." Kang Sarimin akhirnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini disimpannya sendiri.

"Ya, Srinthil memang cantik, supel, dan mandiri. Semua terserah padamu, karena kau yang akan menjalani ini semua selanjutnya. Bukan aku." jawab Kang Parman kemudian. Kopi di gelasnya diseruputnya kembali. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya kembali.

Kang Sarimin terdiam sejenak. Ya, Srinthil memang cantik sama cantiknya dengan perempuannya dulu. Srinthil punya kelebihan yang tak dipunyai perempuannya dulu. Senyumnya tulus pada semua orang, itu yang membuat warung kopinya tak pernah sepi. Sebagai mantan penari, gemulai geraknya masih terlihat hingga kini. Sebagai mantan penari terkenal, sebenarnya dia tak perlu lagi membuka warung kopi ini. Toh, uangnya masih sangat berlimpah, sanggup menghidupi dirinya hingga tua kelak. Srinthil selalu bilang pada pelanggan-pelanggannya, warung kopi ini adalah sarana eksistensinya di masyarakat, begitu katanya sembari senyum manis tetap mengembang di bibirnya.

Kang Parman sepertinya memahami kegundahan Kang Sarimin, sahabatnya itu. "Kang, pertimbangan yang ku berikan selama ini adalah pertimbangan manusia semata. Jika kau ingin pertimbangan yang lebih mantap, pergilah ke musholla, bertanyalah pada Yang Punya Hidupmu."

"Benar, Kang. Terima kasih atas saranmu. Mulai malam ini aku akan menginap di musholla, bertanya pada Yang Punya Hidup," jawab Kang Sarimin. Sisa kopi di gelasnya dihabiskan hingga tandas. Dan, ia mulai beranjak dari tempat duduknya.

"Pamit ke musholla dulu, Kang," kata Kang Sarimin kemudian. Kang Parman hanya mengangguk sembari tersenyum memandang kepergian sahabatnya yang menghilang setelah melewati pintu keluar warung kopi ini.

"Ya, Srinthil memang cantik, supel, dan mandiri," gumam Kang Parman pada diri sendiri. Dan, Kang Parman memainkan kembali asap rokok yang keluar dari mulutnya. Lingkaran-lingkaran asap yang kemudian menghilang ditelan udara malam. Binatang-binatang malam makin merdu bermain musik di luar sana.












(14 September 2009)

[Menjawab Tantangan Iklan Kang Sarimin dalam note Andrean Fahreza Nur Wicaksana]

Minggu, 13 September 2009

segelas air dalam dahagaku

ketika Kau mengambil satu demi satu milikku,
aku tak pernah mengeluh padaMu

ketika Kau memberiku sakit dalam aliran darahku pun,
aku tak pernah memaki padaMu

ketika Kau mengambil satu demi satu kekasihku,
aku tak pernah mencela diriMu

karena aku yakin semua itu adalah ujian bagiku
karena Kau amat sayang padaku
karena Kau amat kasih padaku

ketika malam beranjak pekat
aku selalu menantiMu dalam gelap
berlutut di hadapanMu
memohon satu hal padaMu :
jangan Kau ambil dia kembali dari sisiku
Lelaki hatiku

mercu suar dalam lautanku
bintang dalam langit malamku
mentari dalam setiap pagiku

ketika malam beranjak pekat
aku selalu menantiMu dalam gelap
berlutut di hadapanMu
memohon satu hal padaMu :
izinkan aku melepas nafasku
di dalam pelukan Lelakiku

pemompa denyut jantungku
oksigen dalam paru-paruku
segelas air dalam dahagaku

satu, dirimu








(13 September 2009)

sahabat

berbincang dengan sahabat
memuntahkan segala penat
ketika kau menatap mataku lekat
dan merengkuh tubuhku erat

biarlah mata-mata itu menatap lekat
atau memandang kita sepasang bangsat
karena hanya kau pahami diri ini begitu dekat

dalam diammu, dalam tatapmu
ketika kau menyanjungku, ada binar bintang dalam legam matamu
dalam diammu, dalam tatapmu
ketika kau memarahiku, ada muntahan kata dari bibir indahmu
dalam diammu, dalam tatapmu
ketika kau merindukanku, ada kecupan manis bibirmu di keningku

berbincang dengan sahabat
sembari memeluk tubuhmu erat
dan menatap matamu lekat

ketika malam beranjak pekat
kita berpisah di depan gerbang
dan kau memelukku erat
sembari berkata: selamat malam, Sayang








(13 September 2009)

catatan dari panti

menghabiskan senja
mencium aroma-aroma surga
dari tubuh-tubuh mungil mereka

menghabiskan senja
menatap wajah-wajah lugu
tanpa dosa dan dusta

menghabiskan senja
memahami dunia sahaja
bersama tawa riang mereka

menghabiskan senja
menjemput malam
bersama malaikat-malaikat mungil
membuat hati tersentil
bahwa hidup tak melulu urusan komersil

menghabiskan senja
menjemput malam
bersama malaikait-malaikat mungil
yang kadang berbuat usil
ah, kalian makhluk-makhluk centil

menghabiskan senja
menjemput malam
mengantar kalian kembali ke peraduan
satu demi satu
membetulkan letak selimut
dan mencium kening-kening kalian
seraya mengucap selamat malam

semoga esok,
mentari bersinar lebih ramah
bagi kalian semua
malaikat-malaikat mungil

semoga esok,
angkuhnya dunia lebih mudah
digenggam dalam tangan-tangan kalian

semoga esok,
kerasnya dunia lebih mudah
ditundukkan di bawah kaki-kaki kalian









(12 September 2009)

Jumat, 11 September 2009

momiji

dingin musim gugur
membekukan tubuhku
detak jantungku serupa tambur
dan biarlah segala berlalu

momiji mulai memerah
serupa nyala gairah
pada jiwa yang lelah
dan segala terlihat indah

ketika kita benarbenar berserah
pada Sang Maha Indah




(11 September 2009)

kuku

kemarin kau bilang padaku
cintamu tak setinggi gunung
cintamu tak seluas samudera
iya, bagiku itu hanya bualan remaja

kemarin kau bilang padaku
cintamu serupa kuku
akan terus tumbuh, meski dia memotongnya
iya, begitulah seharusnya
karena kau bukan lagi remaja
karena dia bukan lagi remaja
dan kalian seharusnya bahagia
dengan segala yang kalian punya

kemarin ingin ku bilang padamu
cintaku serupa rambut di kepalaku
akan terus memanjang, meski aku memotongnya
akan kembali menghitam, meski aku mewarnainya

sayang, tak ku katakan itu
karena aku tak pernah punya keberanian itu
pun enam tahun lalu
ketika kita sering berjumpa di sudut perpustakaan itu

sayang, tak ku katakan itu
karena kau telah berbeda, telah berbahagia bersamanya
karena aku telah berbeda, telah memilih bahagiaku

sayang, tak ku katakan itu
biarlah semua berlalu serupa rambut dan kuku
akan terus tumbuh, meski kita memotongnya
akan terus tumbuh, meski hanya kita yang mengerti
tentang asa dan cinta








(11 September 2009)

seribu lentera

telah ku nyalakan seribu lentera untukmu
demi terang dalam hidupmu
begitu saran temanku

telah ku gantung seribu bangau kertas untukmu
demi kebebasan dalam hatimu
begitu saran temanku

dan kau masih ada di sana
membisu serupa arca
membuat hati kembali hampa
membuat langkah kembali sia-sia
membuat lidah kembali tanpa kata







(11 September 2009)

Rabu, 09 September 2009

kau: lollipopku

semburat jingga masih menggantung di ujung-ujung rambutmu
aroma malam mulai menggelitik hidung
dan kau masih ada di sana untukku

mengingatkan waktu yang terus memburu di belakangku
detik demi detik
mengingatkan hari yang terus meninggalkanku
satu demi satu
mengingatkan buku yang harus ku lahap dengan mataku
lembar demi lembar
mengingatkan tubuh yang juga perlu rehat
jenak demi jenak
mengingatkan adamu begitu penting bagiku
hari demi hari

tetaplah di sana untukku
menghembus angin di jenuhku
mewarnai pelangi di jengahku
meski hatimu bukan milikku

karena dirimu adalah permen lollipopku








(9 September 2009)

ke mana dirimu

ke mana dirimu
ketika tsunami melanda desaku

ke mana dirimu
ketika lumpur merendam desaku

ke mana dirimu
ketika longsor menimbun desaku

ke mana dirimu
ketika badai menghembus desaku

ke mana dirimu
ketika banjir menggenang desaku

ke mana dirimu
ketika gempa mengguncang desaku

ke mana dirimu
ah, mengapa kini kau tak peduli padaku
setelah dulu kau begitu merebut simpatiku
setelah dulu kau begitu mencuri hatiku

ke mana dirimu
sedang sibuk berpesta pora di istanamu ?
sedang sibuk bermain di taman bermainmu ?

ke mana dirimu
ketika aku sangat membutuhkanmu
menghapus tangisku
meringankan bebanku

ke mana dirimu ?
aku tak mampu menemukanmu
bahkan di dalam airmataku
yang telah mengering bersama angin








(9 September 2009)

debu

aku ini serupa debu dalam matamu
itu sebabnya kau menutup mata di depanku
itu sebabnya kau mencuci matamu
agar aku segera pergi dari pandanganmu

aku ini serupa debu dalam hidungmu
itu sebabnya kau menutup hidung di depanku
itu sebabnya kau selalu bersin di depanku
agar aku tak mengotori udaramu

aku ini serupa debu di kulitmu
itu sebabnya kau menjauh dariku
itu sebabnya kau selalu menepisku
agar aku tak mengotori kulitmu

aku ini serupa debu
dan kau telah berhasil menghembusku
dengan badaimu









(9 September 2009)

sekotak coklat

berhentilah memberi madu di bibirmu
hanya tinggal sejengkal madu itu menyentuh bibirku
haruskah aku menikmati madu di bibirmu itu
dan tersengat lebah ratu setelahnya ?

berhentilah mengirimiku sekotak coklat
di depan pintu rumahku
aku tak ingin sakit gigi karenanya
aku tak ingin gula darah meninggi karenanya

berhentilah
sungguh, aku tak ingin madu di bibirmu
meski itu menggodaku
sungguh, aku tak ingin sekotak coklatmu
meski itu menggodaku

karena setelahnya
hanya akan tertinggal pahit dalam mulutku
hanya akan tertinggal getir dalam darahku


berhentilah
berhentilah
berhentilah







(9 September 2009)

Selasa, 08 September 2009

balada penjaja cinta

menjejakkan kaki kembali di kotamu
setelah sekian tahun lalu, ku tinggalkan dirimu
dengan selembar surat bersampul ungu
di depan pintu kamarmu
sungguh, tiada niat untuk menyakitimu
dan aku tak pernah berpamitan padamu

menjejakkan kaki kembali di kotamu
melihatmu kembali di hadapanku
masih sama seperti dulu, enam tahun lalu
ketika semua mata perempuan tertuju padamu
dan aku malah memalingkan pandanganku
karena kau terlalu indah untuk mataku

paras tampanmu
kulit putihmu
mata indahmu
sempurna tubuhmu
pahatan terindah itu dirimu
dan aku selalu menghindari tatapanmu
biarlah para perempuan memujamu

hingga satu malam, kau mengetuk pintuku
berlutut di depanku dengan tersedu
entah ada apa gerangan denganmu
aku hanya bisa menunggu tangismu mereda
itu saja
tak ada niat memberimu pelukan
sekadar untuk meredakan tangismu

hanya ku berikan sekotak tisu padamu
"ada apa gerangan?" tanyaku
dan kau mulai bercerita tentangmu
segalanya, tak ada lagi rahasia
entah mengapa kau pilih aku
sebagai pendengarmu, malam itu

kau bercerita tentang kampungmu
kau bercerita tentang ibumu
kau bercerita tentang adik-adikmu
kau bercerita tentang perempuan-perempuanmu
dan aku mendengarmu
biarlah ini menjadi rahasia bagiku

malam itu, aku tahu satu hal tentangmu
perempuan-perempuan itu memuja wujudmu
bukan hatimu, hati setipis kertas tisu

malam itu, aku tahu satu hal tentangmu
kau menjual tubuhmu demi adik-adikmu
kau menjual tubuhmu, bukan hatimu

malam itu, aku tahu satu hal tentangmu
perempuan-perempuan itu sekadar kamuflase
untuk membuatku cemburu
dan aku terbahak mendengar pengakuan terakhirmu
ups, maaf, bukan maksudku

malam itu, ku katakan padamu
aku memang mengagumimu, bukan cemburu
mengagumi track record-mu
daftar perempuan-perempuan yang mengitarimu
sementara aku, bukan apa-apa di matamu

malam itu, kau katakan padaku
kau mengagumiku, ingin membuatku cemburu
dengan segala sepak terjangmu
juga perempuan-perempuan itu

malam itu, ku katakan padamu
aku bukan perempuan seperti itu
dan tak dilahirkan untuk cemburu

malam itu, kau berikan janjimu
setelah usai tugasmu membesarkan adik-adikmu
kau tinggalkan duniamu
kau tinggalkan perempuan-perempuanmu
untuk menjadi milikku

malam itu, aku hanya membisu
entah mengapa
semua kata-kata tertelan di kerongkonganku
ketika kau berlutut di hadapanku

setelah malam itu
kita jalani sebuah kisah abu-abu
demi dirimu, demi diriku

setelah malam itu
kita selalu bertemu di sudut perpustakaan
berbagi cerita tentang dunia kita

setelah malam itu
kita serupa kupu-kupu
terbang bebas ke mana pun kita mau

menjejakkan kaki kembali di kotamu
segalanya masih sama dalam pandanganku
kau masih ada di sana
menjajakan cinta demi mereka
orang-orang yang kau cinta
sepenuh jiwa

menjejakkan kaki kembali di kotamu
dan aku masih bisa memandangmu
dari seberang kamarmu
dengan senyumku






(8 September 2009)

Senin, 07 September 2009

perfect stranger

semusim lalu kita bertemu
menjalani sebuah kisah tanpa ragu
sebuah kisah abu-abu

kau selalu ada di sana untukku
berkicau di setiap pagiku
berhembus di setiap malamku
bersemangat di setiap gundahku

aku selalu ada di sini untukmu
berkicau di setiap malammu
berhembus di setiap pagimu
bersenandung di setiap sepimu

semusim telah berlalu
kau tetap ada di sana untukku
aku pun tetap ada di sini untukmu
dan, kita serupa orang asing
saling memandang, tanpa saling berbincang

ketika segalanya menjadi asing
tak ada lagi bising menemani
hanya ranting-ranting berdenting sepanjang musim










(7 September 2009)

maling sakti

setiap malam, ku kunjungi banjaran sari
taman bunga indah tumbuh dalam hati
ku petiki bungabunga sesuka hati
karena aku penyuka kembang sari
hingga kau meneriaki aku : maling sakti

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
kau sebut namaku dalam sadar dan mimpi
serupa doa
serupa puja
serupa mantra

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
bahwa kau adalah lelaki beristri

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
bahwa aku ini serupa bidadari
menjadi incaran para lelaki

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
membuat para perempuan berhatihati
menjaga para lelaki tetap di sisi

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
dan tetap ku bersenandung kidung Rumi
tetap ku menghibur hatihati yang sunyi

iya, aku ini maling sakti
telah membuatmu jatuh hati
telah membuatmu lupa diri
sayang, ku cari hanya cinta sejati
yang menjagaku tetap suci
hingga di akhir mimpi









(7 September 2009)

labirin

kau dan aku
terjebak dalam labirin
berputar-putar mencari jalan
entah masih adakah itu jalan
menuju : pertemuan

kau dan aku
terjebak dalam labirin
menikmati perjalanan
entah suka, entah duka
entah bahagia, entah luka
menuju : pertemuan

kau dan aku
terjebak dalam labirin
dan, tak lelahku mencari jalan
keluar dari labirin impian
menuju : pertemuan

entah denganmu
aku pun tak pernah tahu
serupa apa labirin, yang mengurungmu
dan, pintaku hanya satu padamu
tetaplah percaya pada hatimu
menuju : pertemuanmu







(7 September 2009)

Minggu, 06 September 2009

Savitri

terlahir sebagai puja pada Sang Dewa
sebagai lelaki penerus tahta sang ayahanda raja
lahirlah dirimu seorang putri jelita dan sempurna

ketika kau beranjak dewasa,
ayah memintamu memilih dewa yang hendak kau puja
dan, kau memilihnya: Satyavan
serta menjalani takdir dari Narada

sebagai istri, kau tunjukkan bakti
mengikuti suami menemui Yamadipati

sebagai istri, kau tunjukkan sakti
mengikuti Yamadipati ke manapun ia pergi
meminta setengah nyawamu kembali

sebagai istri, kau tunjukkan mukti
meminta bahagia tidak semata untuk diri
dan, Yama memberimu hadiah hati
nyawa bagi sang suami kembali,
setengah hati milik Savitri
yang selalu kau ikuti, ke mana pun ia pergi










(6 September 2009)

Sabtu, 05 September 2009

seikat kembang di tepi ranjang

semalam, kau datang kembali dalam mimpiku
lengkap dengan sepasang sayap indahmu
ah, mengapa kau selalu datang ketika gundah menemaniku

pergilah dengan damai
tak perlu menjadi malaikat pelindungku
melihatmu kembali
merapuhkan diri
meski hanya dalam mimpi

kelak, kita akan berjumpa
di dalam Surga
karena aku selalu berdoa
agar Tuhan juga memberiku sepasang sayap indah
serupa milikmu
hingga ku dapat menggapaimu
dan, bersamamu selalu

kau pun tersenyum padaku
senyum yang sama seperti dulu
dan, ku temukan seikat kembang
di tepi ranjang
pagi ini






(5 September 2009)

lelaki kecilku

ku rindukan dirimu, lelaki kecilku
senyummu adalah penghapus penatku
pelukanmu adalah penguat nafasku
dan, celotehmu adalah semangatku

kurindukan dirimu, lelaki kecilku
apakah kau tahu itu ?
dan, kau telah menjelma malaikat kecilku
di dalam Surga
pun di dalam hatiku
selalu






(5 September 2009)

pilihanku

menabung kalsium lebih baik bagiku
dibanding menghirup aroma feromon dari tubuhmu
dan, ini adalah pilihanku

tak perlu lagi kalian bergunjing
tentang sesuatu yang tak penting
karena aku pun tak pernah ambil pusing
dengan urusan kalian masing-masing

menabung kalsium lebih baik bagiku
dibanding menghirup aroma feromon dari tubuhmu
dan, ini adalah pilihanku







(5 September 2009)

senyum lelaki tua

berputar-putar di taman pintar
memandang senyum-senyum tawar
pun tatapan-tatapan nanar
terlukis di wajah-wajah hambar

dan, mataku terpaku pada trotoar
tempatku melintas dari pintu keluar
pada seraut wajah tua
dengan senyum bahagia

ah, senyum lelaki tua begitu menggoda
di tangan rentanya hanya sebuah sapu lidi tua
dan karung plastik terikat di pinggang kirinya
jemari tangannya begitu lincah memunguti sampah
terhambur di sepanjang trotoar itu

daun-daun kering meranggas
di penghujung kemarau
tetap dipungutnya tanpa risau
sampah-sampah plastik
dari jemari-jemari lentik
pun dipungutnya tanpa jijik

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
senyumnya begitu menggoda
dan, tugasnya usai menjelang senja

memandangnya terduduk di tepi trotoar
mengatur hela demi hela nafas
menyapu bulir demi bulir keringat
tampias senja begitu indah di wajahnya

aku mendekat, duduk tanpa suara
memberi senyum dan sapa padanya
lelaki tua yang ramah, itu kesan pertama
dan, kami berbincang setelahnya

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
mungkin usianya sebaya
dengan usia kakek bila ia masih ada

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
dan, kami menghabiskan senja bersama
hingga waktu berbuka tiba
di sebuah angkringan sederhana

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
sebelum malam menelannya, ia berpamitan
"nduk, maturnuwun, mugi Gusti paring piwales"
sembari tangannya mengusap lembut kepalaku
serupa kakekku dulu
dan, aku hanya bisa mengangguk lugu
serupa masa kanak-kanakku

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
tubuhnya hilang ditelan malam
di tikungan jalan itu
dan, aku kembali menyusuri trotoar
di antara wajah-wajah hambar










(5 September 2009)

Jumat, 04 September 2009

surga kita

di dalam hati seluas sabana
telah ku bangun surga kecil milik kita
dindingnya adalah kesetiaan
atapnya adalah kepercayaan
pintu dan jendelanya adalah cinta
dengan perabot kasih sayang

surga kecil milik kita
bukan sebuah istana
hanya sebuah rumah sederhana
dengan halaman seluas lapangan bola
tempat anak-anak kita bermain dan bercengkerama
dan, tempat kita menjalani masa tua bersama

di dalam surga kecil milik kita
kau adalah raja
dan, aku adalah permaisurinya
tinggallah kita di sana
selamanya










(4 September 2009)

istana pasir

istana pasir itu indah
istana pasir itu megah
istana pasir itu lelah
istana pasir itu gundah

tak pernah mudah
membangun istana pasir indah dan megah
pasir itu segera merekah
ketika pasir itu tak lagi basah
dan, angin mudah meniupnya dengan resah

membangunnya
sama saja membangun gundah
tak perlu kau lanjutkan
jika kau tak ingin lelah
jika kau tak ingin resah









(4 September 2009)

Pasar Kembang

di sebuah sudut di jalan itu, ku jumpa dirimu. sekadar untuk berbincang tentang kita.
dan, kita duduk di sebuah beranda rumah tua. sebuah kisah meluncur dari bibir mungilmu.
usia kita mungkin sebaya, tetapi kau tampak lebih tua. ah, bagiku itu bukan masalah

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
ah, mereka begitu rendah menilaimu
meski mereka tak tahu awal kisahmu
dan, lelaki kecil itu menggelayut manja di lenganmu
tampan, mungkin saja setampan ayahnya

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
sembari memandang lelaki kecilmu itu
ah, di mataku kalian begitu hebat
meski mereka menganggapmu bejat

bagiku, mereka yang bejat
sok bermartabat

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
lima tahun lalu, ketika kalian bertemu
di sebuah kampus pinggir kota
kalian adalah mahasiswa dari luar kota
dan, kalian jatuh cinta pada pandang pertama

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
sebuah kisah berjalan atas nama cinta
dan, mereka menyebutnya zina

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
ketika benih cinta mulai tumbuh di rahimmu
lelakimu pergi meninggalkanmu, tanpa pesan

ku dengar kisahmu dengan resah, dengan gundah
kau terusir dari rumah, tak lagi meneruskan kuliah
demi memberi makan dirimu, dan nyawa dalam rahimmu
di salah satu sudut jalan itu

mereka menyebutmu pelacur
dan, ku sebut mereka mulut dubur
mereka hanya bisa menghujat
seolah mereka kaum terhormat
mereka tak punya nurani, tak punya empati apalagi simpati
mereka hanya peduli pada citra diri

apakah kalian lupa ?
ibu kalian perempuan
kakak kalian perempuan
adik kalian perempuan
dan, mungkin diri kalian adalah perempuan
maka berhentilah menghujat perempuan
berhentilah meneriakkan dogma
berhentilah meneriakkan norma
di hadapan perempuan-perempuan di sudut jalan itu

mereka juga manusia, sama seperti kalian
menjual tubuh hanya untuk menyambung hidup
sementara kalian ?
menjual tubuh demi sebuah jabatan
atau sekantong berlian
menjual jiwa demi sebuah kenyamanan
atau kemapanan dengan mengingkari nurani

berhentilah bergunjing atau memandang miring
pada perempuan-perempuan di sudut jalan itu
demi ibumu
demi kakakmu
demi adikmu
demi dirimu










(3 September 2009)

dan, biarlah ku nikmati nyeri

terbangun pagi ini
dengan kepala nyeri
meski mentari telah meninggi

ah, nyeri ini
karena aku terlalu memaksa diri
menghapusmu dari memori

ah, nyeri ini
karena aku terlalu memaksa diri
melupakan semua katakatamu
yang kau muntahkan di hadapanku
dan, aku hanya diam membisu

demi perempuanmu,
kau menuduhku telah mengutukmu
tuduhanmu benarbenar membunuhku
kau menuduhku sebagai teroris
ah, tuduhanmu benarbenar sadis

ah, nyeri ini
karena semalam aku terlalu memaksa diri
menghibur diri bersama para penunggu malam

ah, nyeri ini
setengah mati ku enyahkan dari diri
hingga aku hampir tak sadar diri
dan, minum pil penghilang nyeri

demi perempuanmu,
telah ku maafkan semua katakatamu
dengan sebaris doa di setiap sujudku
dan, bukan mengutukmu
seperti pernah kau lakukan dulu

demi perempuanmu,
telah ku maafkan semua katakata
yang telah kau muntahkan padaku
dan, aku tak pernah menghinamu
meski kau bukan seorang sarjana
seperti tuduhanmu itu

dan, biarlah ku nikmati nyeri ini
bersama sebutir aspirin dan segelas kopi

sendiri
di pagi ini












(3 September 2009)

tak perlu kau memandangku seperti itu

tak perlu kau memandang sinis pada pengemis itu
karena kau pun serupa pengemis dalam pandangan-Ku
mengemis dengan doa-doa miris, terkadang sinis
demi sebuah niat yang kadang amat bengis

tak perlu kau memandang remeh pada pengamen itu
karena kau pun serupa pengamen dalam pandangan-Ku
menyanyikan lagu-lagu dengan suara serupa kaleng rombeng
demi sebuah niat yang kadang melenceng

tak perlu kau memandang hina pada pelacur itu
karena kau pun serupa pelacur dalam pandangan-Ku
menjual tubuhmu, pun menggadaikan jiwamu
demi sebuah niat yang kadang tak menentu

ah, tak perlu kau memandangku seperti itu
seolah kau lebih baik dariku
seolah kau lebih sempurna dariku
karena kau tetaplah kau dalam pandanganku
meski kau tak pernah menganggapku ada dalam duniamu
dan, satu yang selalu menguatkanku
karena aku selalu memandangmu tanpa karena













(3 September 2009)

objektivitas telah mati

jangan bicara tentang objektivitas padaku
ia telah lama mati
terkubur dalam pandangan-pandangan semu
yang kadang tak punya malu
demi kenikmatanmu, demi keinginanmu

tertinggal subjektivitas
suka atau tidak suka
cinta atau tidak cinta
benci atau tidak benci

dan, memang hanya ada subjektivitas
yang kau beri nama objektivitas, jika kau suka dan cinta
yang kau beri nama subjektivitas, jika benci dan tak suka

dan, memang hanya ada subjektivitas
karena kau tak sekadar gunakan otak kananmu, pun otak kirimu
karena kau tak sekadar gunakan rasiomu, pun emosimu
karena kau tak sekadar gunakan akalmu, pun hatimu

dan, memang hanya ada subjektivitas
karena kau memang manusia
bukan Mahadewa
apalagi Sang Maha Sempurna











(3 September 2009)

milikku

kau boleh bergunjing
kau boleh berunding
kau boleh berbicara miring
tentang diriku
tentang jalanku
tentang pilihanku
tentang apapun yang kau mau
tentang apapun yang kau suka
hingga mulutmu berdarah
sekalipun

kecuali satu: memilikiku

tubuhku bukan persembahan untukmu
pun dengan jiwaku

karena tubuhku adalah milikku
begitu pula dengan jiwaku
bukan milik siapapun









(2 September 2009)

kembali

maaf,
aku telah kembali melangkah
meski kaki ini lelah
aku telah kembali menarikan jemari
meski masih terasa nyeri

maaf,
aku telah menyibukkan kembali mataku
mengeja huruf demi huruf
aku telah menyibukkan jemariku
menyusur literatur demi literatur

maaf,
aku telah membutakan mataku
pada pandangan-pandangan sinis
yang tak penting itu
dan, membuka mata hatiku
pada pandangan-pandangan lugu
mereka yang selalu menginginkanku

karena mereka adalah Cintaku

maaf,
aku telah menutup telingaku
pada tuduhan-tuduhan sadis
yang tak penting itu
dan, membuka telinga jiwaku
pada suara-suara jujur
yang tak sudi diri ini hancur

karena mereka adalah Hidupku

maaf,
aku tak ingin kembali ke masa laluku
karena aku telah kembali pada duniaku
bersama Cintaku
dan, Hidupku







(2 September 2009)

hujan teman baikku

hujan adalah teman baikku
setia menemani airmataku
berlindung di bawah dekapan hujan
membuatku nyaman

hujan adalah teman baikku
setia menemani tawaku
bermain di bawah derai hujan
membuatku tenang






(2 September 2009)

Selasa, 01 September 2009

perangkai kata

aku jatuh cinta pada kata
serupa aku jatuh cinta pada cahaya
mengumpulkan serpihan demi serpihan
serupa mengumpulkan serpihan jiwa
merangkai kata demi kata
serupa Bunda memberiku cinta

akulah perangkai kata
serupa perangkai bunga
tak pernah mengharap puji puja
apalagi kata cinta penuh dusta

akulah perangkai kata
serupa pemahat batu
tak pernah mengharap senandung palsu
apalagi kata rindu

akulah perangkai kata
serupa penari telanjang
tak pernah mengharap rasa sayang
apalagi gelimang uang

akulah perangkai kata
bukan untuk merayu
apalagi mencumbu

akulah perangkai kata
merangkai dengan cinta
tanpa dusta

akulah perangkai kata
karena kata adalah laku
karena kata bukan cemburu
karena kata adalah cinta
karena kata adalah nyawa

akulah perangkai kata
bukan penggoda bagi Sang Adam
bukan madu bagi Sang Hawa

akulah perangkai kata
bukan penebar asmara
bukan penebar luka

karena kata adalah nyanyian jiwa
karena kata tak pernah berdusta
dan, aku akan terbang bebas serupa rama-rama

jangan pernah kau rantai kakiku
jangan pernah kau belenggu tanganku
jangan pernah kau patahkan sayapku
jangan pernah kau tawan jiwaku
jangan pernah kau minta hatiku
jangan pernah kau tusuk jantungku

karena akulah perangkai kata
serupa rama-rama di angkasa
biarkanku terbang bebas
menembus segala batas

bebas

menyusuri angkasa luas
dan, samudera tanpa batas











(2 September 2009)

sama saja

aku


kau


dia


kami


kita


kalian


mereka



sama saja
tak ada beda









( 1 September 2009)

tak perlu kau bilang

tak perlu kau bilang sayang
jika akhirnya aku ditendang

tak perlu bilang kagum
jika akhirnya jantungku disetrum

tak perlu kau bilang cinta
jika akhirnya jiwaku terluka

dan, mungkin kau sedang sakaw
ketika kau bilang rindu padaku

ah, dirimu serupa candu
nikmat sesaat
membuatku tersesat
dalam penat

ah, dirimu serupa candu
membuat sekujur jiwaku membiru
dan, jantungku membeku









(1 September 2009)