Rabu, 16 September 2009

Sepotong Kisah di Warung Kopi

Srinthil mengantar kopi pesanan Kang Parman dengan senyum manis terlukis di bibirnya. Ya, Kang Parman adalah pelanggan setia warung kopinya. Juga semua orang yang sedang menikmati kopi di warung ini, sembari ngobrol atau sembari memperhatikan yang lain.

"Buku apa itu, Kang?" tanya Kang Parman pada Kang Sarimin di seberang sudut tempatnya duduk.

"Bukan buku apa-apa," jawabnya singkat sembari tersenyum. Senyum yang lebih mirip dengan seringai. Ada gamang dalam wajahnya.

Kang Parman hanya mengangguk. Menyeruput kopi yang tak seberapa manis itu sedikit demi sedikit. Asap masih mengepul dari dalam gelasnya. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya hingga membentuk lingkaran-lingkaran asap di udara. Binatang-binatang malam telah menyanyikan ode di luar sana. Merdu. Syahdu.

Kenikmatan Kang Parman ini tiba-tiba dikejutkan suara Kang Sarimin yang telah duduk di sebelahnya. "Kang, bagaimana dengan Srinthil?" tanya Kang Sarimin dengan mata memandang Srinthil yang sedang sibuk membuatkan kopi untuk seorang langganan yang baru saja datang dan memesan segelas kopi jahe.

"Kenapa dengan Srinthil?" tanya Kang Parman balik. Tak paham arah pertanyaan Kang Sarimin.

"Dia cantik, supel, dan mandiri. Dibanding perempuanku yang dulu, yang juga cantik itu. Sayangnya, dia selalu membuatku lelah dan jengah. Dia selalu bercerita tentang resah dan gundah. Dia selalu memandangku serupa sampah, Kang." Kang Sarimin akhirnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini disimpannya sendiri.

"Ya, Srinthil memang cantik, supel, dan mandiri. Semua terserah padamu, karena kau yang akan menjalani ini semua selanjutnya. Bukan aku." jawab Kang Parman kemudian. Kopi di gelasnya diseruputnya kembali. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya kembali.

Kang Sarimin terdiam sejenak. Ya, Srinthil memang cantik sama cantiknya dengan perempuannya dulu. Srinthil punya kelebihan yang tak dipunyai perempuannya dulu. Senyumnya tulus pada semua orang, itu yang membuat warung kopinya tak pernah sepi. Sebagai mantan penari, gemulai geraknya masih terlihat hingga kini. Sebagai mantan penari terkenal, sebenarnya dia tak perlu lagi membuka warung kopi ini. Toh, uangnya masih sangat berlimpah, sanggup menghidupi dirinya hingga tua kelak. Srinthil selalu bilang pada pelanggan-pelanggannya, warung kopi ini adalah sarana eksistensinya di masyarakat, begitu katanya sembari senyum manis tetap mengembang di bibirnya.

Kang Parman sepertinya memahami kegundahan Kang Sarimin, sahabatnya itu. "Kang, pertimbangan yang ku berikan selama ini adalah pertimbangan manusia semata. Jika kau ingin pertimbangan yang lebih mantap, pergilah ke musholla, bertanyalah pada Yang Punya Hidupmu."

"Benar, Kang. Terima kasih atas saranmu. Mulai malam ini aku akan menginap di musholla, bertanya pada Yang Punya Hidup," jawab Kang Sarimin. Sisa kopi di gelasnya dihabiskan hingga tandas. Dan, ia mulai beranjak dari tempat duduknya.

"Pamit ke musholla dulu, Kang," kata Kang Sarimin kemudian. Kang Parman hanya mengangguk sembari tersenyum memandang kepergian sahabatnya yang menghilang setelah melewati pintu keluar warung kopi ini.

"Ya, Srinthil memang cantik, supel, dan mandiri," gumam Kang Parman pada diri sendiri. Dan, Kang Parman memainkan kembali asap rokok yang keluar dari mulutnya. Lingkaran-lingkaran asap yang kemudian menghilang ditelan udara malam. Binatang-binatang malam makin merdu bermain musik di luar sana.












(14 September 2009)

[Menjawab Tantangan Iklan Kang Sarimin dalam note Andrean Fahreza Nur Wicaksana]

Tidak ada komentar: