Sabtu, 05 September 2009

senyum lelaki tua

berputar-putar di taman pintar
memandang senyum-senyum tawar
pun tatapan-tatapan nanar
terlukis di wajah-wajah hambar

dan, mataku terpaku pada trotoar
tempatku melintas dari pintu keluar
pada seraut wajah tua
dengan senyum bahagia

ah, senyum lelaki tua begitu menggoda
di tangan rentanya hanya sebuah sapu lidi tua
dan karung plastik terikat di pinggang kirinya
jemari tangannya begitu lincah memunguti sampah
terhambur di sepanjang trotoar itu

daun-daun kering meranggas
di penghujung kemarau
tetap dipungutnya tanpa risau
sampah-sampah plastik
dari jemari-jemari lentik
pun dipungutnya tanpa jijik

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
senyumnya begitu menggoda
dan, tugasnya usai menjelang senja

memandangnya terduduk di tepi trotoar
mengatur hela demi hela nafas
menyapu bulir demi bulir keringat
tampias senja begitu indah di wajahnya

aku mendekat, duduk tanpa suara
memberi senyum dan sapa padanya
lelaki tua yang ramah, itu kesan pertama
dan, kami berbincang setelahnya

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
mungkin usianya sebaya
dengan usia kakek bila ia masih ada

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
dan, kami menghabiskan senja bersama
hingga waktu berbuka tiba
di sebuah angkringan sederhana

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
sebelum malam menelannya, ia berpamitan
"nduk, maturnuwun, mugi Gusti paring piwales"
sembari tangannya mengusap lembut kepalaku
serupa kakekku dulu
dan, aku hanya bisa mengangguk lugu
serupa masa kanak-kanakku

ah, lelaki tua itu begitu bersahaja
tubuhnya hilang ditelan malam
di tikungan jalan itu
dan, aku kembali menyusuri trotoar
di antara wajah-wajah hambar










(5 September 2009)

Tidak ada komentar: