berpuluh tahun lalu, aku mulai mengenalmu
belajar mengejamu
dan masih saja belajar mengejamu
hingga usia tak lagi kanak-kanak
mengutak-atik dirimu
jika dirimu sendiri, kau hanyalah bunyi tanpa arti
jika dirimu bergabung beberapa, kau menjelma kata
dirimu itu sakti
mampu mengubah suasana hati
mampu mempengaruhi diri
mampu menggambar citra diri
pun mampu membunuh diri
ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia
di dalamnya ku temukan rupa-rupa
fonem, morfem, dan leksem
sintaksis, semantik, dan pragmatik
hingga tata bahasa
ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia
karena logika berawal dari bahasa
itu menurutku, entah menurutmu
hingga seorang teman mencecarku, dulu
berapa harga sekilo fonem?
ada kenaikan harga morfem minggu ini?
aku tak ambil peduli
kami pun tak ambil peduli
karena kau pun makhluk berbahasa
karena kalian pun makhluk berbahasa
ketika usia beranjak
aku lebih memilih belajar tentangmu
membedah anatomi kata
dibanding anatomi manusia
sayang, aku tak mahir dalam tata bahasa
profesorku selalu membuatku melilit di kelas pagi
dengan tatapan dingin dan suara nyaring
meski aku telah belajar keras, amat keras
dan aku memang tak mampu jadi dokter kulit
begitu kata profesorku
iya, aku tak mahir dalam tata bahasa
dan profesorku yang lain berkata
bahwa aku lebih berbakat menjadi dokter jiwa
mengobati jiwa-jiwa terluka
dengan puisi-puisi cinta
atau menjadi dokter jantung
mengembalikan kembali denyut jantung
jiwa-jiwa murung yang terpasung
(20 September 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar