Minggu, 25 Desember 2011

Januari50K: Pelahap

Ririe Rengganis

Sinopsis


Aku terlahir sebagai manusia. Ibu dan Ayahku pun manusia, yang mengajarkan banyak sekali tentang nilai-nilai kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Sayangnya, suatu ketika aku mesti masuk ke dalam sebuah dunia yang begitu ajaib di mataku. Bagaimana tidak ajaib? Ketika aku melihat seorang manusia melahap meja, kursi, lembaran uang, gedung, bahkan manusia lainnya.

Aku terlahir sebagai manusia dan kini aku terjebak dalam sebuah dunia ajaib. Aku mesti bertahan untuk tetap menjadi manusia. Aku mesti bertahan dan menyelamatkan mereka, embrio-embrio manusia yang baru saja belajar menjadi manusia. Aku mesti bertahan, meski kadang tubuhku dijilat manusia-manusia berkepala besar dan berperut buncit itu. Aku mesti bertahan, meski kadang butir-butir keringatku disedot manusia-manusia bermulut lebar itu.

Aku terlahir sebagai manusia. Ketika aku terjebak dalam sebuah dunia ajaib, aku bertahan untuk tetap menjadi manusia. Mampukah aku berjuang sendiri dalam menyelamatkan embrio-embrio manusia yang baru belajar menjadi manusia itu? Mampukah aku tetap menjadi manusia yang memanusiakan manusia di antara manusia-manusia pelahap itu?



(155 kata)

Sabtu, 24 Desember 2011

Malam Natal yang Lain




Oleh: Ririe Rengganis



Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Malam ini aku melihatmu kembali memimpin misa di gereja kecil di pinggir kota. Tatapan mata yang sama dengan belasan tahun lalu. Bahkan aku masih dapat melihat tatapan mata itu dari bangku paling belakang di gereja.

Lepas misa, beberapa gadis belia menghampirimu. Bahasa tubuh yang terbaca dari mata ini: mereka datang untuk menggodamu dengan alasan ingin diberkati olehmu. Aku tersenyum melihat mereka. Aku tersenyum melihatmu melayani mereka dengan sopan. Memang begitulah seharusnya, menggembalakan mereka memang memerlukan kesabaran lebih.

Lepas misa, kita pulang bersama. Menyusuri jalan itu. Jalan yang masih sama dengan belasan tahun lalu. Aku melihat tatapan mata itu, harapan itu masih ada. Entah kapan harap itu bukan sekadar harap. Kita saling bicara, meski mulut kita tidak pernah terbuka.

Negeri ini masih saja menolak jalan kita. Haruskah kita terbang ke negeri tetangga untuk menyatukan mimpi?

Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Itu saja. Lantas mengapa kita mesti peduli pada negeri ini? Negeri yang mengajari mencaci yang lain, tetapi sering kali melupakan daki di tengkuk sendiri.

Tuhan itu satu. Cara kita menemuinya itu yang berbeda. Tidak ada yang salah. Biarkan saja mulut-mulut mereka berserapah. Toh, kita tidak akan menyerah. Pada segala yang telah tersimpan di dalam hati selama belasan tahun ini. Belasan tahun selanjutnya. Pun puluhan tahun mendatang. Hingga kita berdua menutup mata bersama.

:Bahwa Tuhan itu satu.



(24 Desember 2011)

Sabtu, 17 Desember 2011

ketika hujan tiba senja




Oleh: Ririe Rengganis



hujan menangis.
airmata mengalir
pada jendela.

dalam tangis,
aku merapal
entah doa atau mantra.

tiada beda.
dengan satu harap,
esok kau tersenyum.

dalam sejuk embun,
hangat mentari pagi.
itu saja.



15 Desember 2011

Rabu, 07 Desember 2011

kemarin, hari ini, dan esok.




Oleh: Ririe Rengganis



kemarin, aku mesti belajar berbesar hati. ketika semua caci dilempar ke wajah tanpa henti. ketika semua usahaku mewujudkan mimpi anak-anakku mesti dijegal kata berbelati. ketika semua kataku dianggap sebagai pembelaan diri. ketika semua argumenku mesti berhadapan dengan manusia-manusia tanpa hati dan akal budi. ketika lidah-lidah itu tidak pernah henti menguliti hati.

hari ini, aku mesti belajar berbesar hati. ketika ternyata keringatku tidak pernah cukup memberi minum atas haus anak-anakku. ketika ternyata hela nafasku tidak pernah cukup memberi makan atas lapar anak-anakku. ketika semua lelah langkahku mesti berujung protes ketidakpuasan atas keingintahuan anak-anakku.

esok, aku mesti belajar berbesar hati. untuk sekian ribu ketidakpuasan lain. untuk sekian ribu keinginan. untuk sekian ribu makian. untuk sekian ribu entah.



(8 Desember 2011)

Minggu, 04 Desember 2011

kisah bulan merah




Oleh: Ririe Rengganis



sssttt ….
bulan merah
merekah
di ujung jendela.

cantik dan memikat.
mengundang
bintang-bintang
mendekat. memeluk erat.

satu, dua, tiga
hingga ribuan bintang.
memeluk bulan merah
begitu rupa.

dalam diam, pecah tangis
bulan merah. runtuh
bersama jatuh
sang embun.



(28 November 2011)

Selasa, 15 November 2011

Selagriya

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Kris Budiman




meniti
alur menghijau. demi
bersua paras cantikmu.

mencumbu masa lalu
dalam catatan kisah
: tentangmu.


(15 November 2011)



Minggu, 13 November 2011

setengah hati




Oleh: Ririe Rengganis



hidupmu terlihat membosankan, sayang. bagaimana tidak? setiap hari aku mesti mendengarmu merajuk tentang rasa masakan yang kurang garam. setiap hari aku mesti mendengarmu merajuk tentang rasa kopi yang kurang gula. hidup itu bukan hanya tentang asin dan manis semata, sayang.

hidupmu terlihat membosankan, sayang. bagaimana tidak? setiap hari aku mesti mendengarmu mencela pakaian yang kupakai, yang kau bilang membuat tubuhku terlihat lebih gendut. setiap hari aku mesti mendengarmu mencela kerapianku dalam bersikap, yang kau bilang terlihat murahan. hidup itu bukan hanya tentang kepantasan dan kerapian, sayang.

ketika aku bangun pagi ini dengan setengah hati, aku pun mesti mendengar rajukanmu, tentang ini-itu. rajukan yang serupa angin puting beliung, memporakporandakan isi kepalaku.

pagi ini, aku ingin pergi bersama setengah hatiku, yang masih tersimpan rapi di lemari. sebab aku teramat lelah mendengar segala rajukmu.

pagi ini, biarkan aku menepi. setelah beberapa pagi angin tidak pernah berhenti menghembusku.



(13 November 2011)

Sabtu, 12 November 2011

bukan kisah Jocasta dan Oedipus




Oleh: Ririe Rengganis


aku bukan Jocasta yang menikah dengan Laius, ayahmu. kau bukan pula Oedipus yang terlahir dari rahimku. lantas mengapa sekat itu masih saja kau buat? sedang aku berkali telah melipat sekat itu dan menyimpannya di bawah ranjangku.

biarkan aku menjelma Medusa dengan ribuan ular di kepalaku.

biarkan aku jadi penggoda bagi pertapa yang begitu taat sepertimu.

biarkan aku jadi bunga di antara pucuk-pucuk cemara yang menghijau di matamu.

biarkan aku seperti purnama malam ini, yang tertelan pesonamu.

biarkan saja sekat itu tetap terlipat di bawah ranjang. sebab aku bukan Jocasta yang menikah dengan Laius, ayahmu. sebab kau bukan pula Oedipus yang terlahir dari rahimku.

biarkan aku mengucap selamat malam padamu dan mengecup keningmu sebelum kau jatuh tertidur.

biarkan aku jadi embun yang membasuh lelah semalam dan mengantar harimu menuju senja.

biarkan aku jadi senja yang menemanimu bercanda di beranda dan menunggu malam menidurkan kita.

sebab kau bukan Oedipus yang terlahir dari rahimku dan aku bukan Jocasta, ibumu. biarkan sekat itu tetap terlipat di bawah ranjang. mari melewati hari serupa nafas, yang menghidupi raga. mari melewati hari serupa doa, yang menghidupi jiwa.

mari menghitung mentari setiap pagi, hingga waktu itu tiba.

mari  melewati setiap senja, hingga batas itu bukan lagi batas.

mari menikmati malam dalam kidung-kidung syahdu, hingga satu tertemukan.

sebab aku bukan Jocasta, ibumu dan kau bukan Oedipus, yang terlahir dari rahimku. sebab kau lebih menawan dibanding purnama, yang tenggelam di langit semalam.



(11 November 2011)

Sabtu, 05 November 2011

Kolaborasi November

sore sebelum hujan

Lirik: Kris Budiman & Ririe Rengganis
Gambar: Kris Budiman




jemari angin
runtuhkan daun-daun
di aspal jalan

engkau membaca
kuning wajahnya
pada gugur cuaca

semuram kelabu
rona langit
di ubun hari

menunggu tangis
runtuh. menghapus
galau kemarau.



(Yogyakarta-Surabaya, 2-5 November 2011)

Selasa, 25 Oktober 2011

sebuah kisah cinta: senja

Oleh: Ririe Rengganis



aku jatuh cinta
pada senja.
sebab ia amat tampan
dengan kulit jingga.

aku setia
pada senja.
aku selalu menunggu
datangnya, di berandaku.

aku menikah
pada senja.
sebab bersamanya,
bintang-bintang lahir dari rahimku.

aku dan senja
saling setia.
hingga malam mendekap
: lelap.



(25 Oktober 2011)


pesan untuk kekasihku, senja.

Oleh: Ririe Rengganis


(1)
mari bicara berdua.
di beranda,
sembari menatap
jingga senja.

(2)
mari menatap,
burung-burung
mengepak.
kembali pulang.

(3)
adakah malam
membenamkan mimpi?
biarkan saja,
sebab kita adalah kita.

(4)
biarkan embun,
mengalir esok pagi.
sebab kita tetap
saling memeluk, diam.


(25 Oktober 2011)

Jumat, 14 Oktober 2011

senja

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Edy Hamzah



nak, hidup itu serupa senja.
indah. sayang, mampir sekejap di pelupuk mata.
sebelum malam menidurkanmu.

ketika burung-burung kembali ke sarang,
setelah sehari menghidupi diri
di antara pepohonan padi.

nak, terbanglah serupa burung-burung itu.
mengejar indahnya senja,
yang mampir sekejap di pelupuk mata.



14 Oktober 2011

rindu ciuman hujan

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: http://portibionline.com




hujan,
bila kau datang?
aku rindu
mencium peluhmu.



(14 Oktober 2011)

Minggu, 09 Oktober 2011

jejak rindu (2)

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Kris Budiman




membaca kisahmu
di antara rimbun lumut
dan bebatu.

menemu jejakmu,
menuntas rindu
: padamu.



(10 Oktober 2011)

senandung sunyi

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Zumrotul Mufidah




biarkan aku
sendiri,
kukuh pada tempa
hujan atau terik.

biarkan aku,
jadi senandung
dalam gelapmu
: cinta.



(9 Oktober 2011)


Selasa, 04 Oktober 2011

perempuan yang gemar mengaduk cangkir kopiku

Lirik: Ririe Rengganis
Foto: ladeva.wordpress.com




maaf, marahku tak serupa kopi instan
yang tak menyisakan ampas di dasar cangkir
bila kau menenggak isinya hingga tandas.

maaf, marahku lebih serupa kopi tubruk
yang mampu mengganggu kerongkonganmu
bila tanganmu kembali sibuk mengaduk.

sayang, kau tak pernah belajar dari lidahmu di masa lalu.
pagi ini kulihat kau kembali sibuk mengaduk
marahku. dengan segala pesan yang kau tulis
di dinding kamarku. entah apa lagi tujuanmu.

apakah diamku tak pernah cukup untukmu?
apakah pergiku tak memuaskanmu?
apakah sendiriku masih menggelitikmu?
maaf, hidupku bukan urusanmu.

pergi saja bersama lelakimu
hidup tenang bersamanya.
aku memilih pergi dalam diam
mengendapkan segala marah dalam cangkirku.

satu pintaku padamu
dan juga pada lelakimu
: tolong jangan kembali mengaduk isi cangkirku!



(4 Oktober 2011)

Jumat, 30 September 2011

menuntas rindu

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Mahatma Anto






pada cangkir terakhir
di bibir jendela.
biarkan rindu menuntas
: padamu.



(30 September 2011)

musim gugur mampir di beranda

Lirik: Ririe Rengganis
Gambar: Greg Wuryanto




(1)
lembar-lembar rindu
memerah. luruh di beranda,
terserak. serupa pelukku,
tak mampu merengkuhmu.




(2)
semilir angin senja
membelai. lembut menyapa,
duh. serupa suaramu
pada setiap pagiku.




(3)
biarkan ia meluruh,
biarkan. tak perlu ragu.
sebab rindu ini tak lagi hijau
: padamu.




(4)
meremah rinduku
padamu. menunggu waktu
membiarkanku kembali
memelukmu.



(30 September 2011)

Rabu, 14 September 2011

rumah

rumah bukanlah rumah,
bila ia tak mampu memberi makanan jiwa bagi setiap penghuninya.
rumah yang demikian bukanlah sebuah rumah,
melainkan hanya sebuah tempat singgah.



(6 September 2011)

Sabtu, 20 Agustus 2011

aku, kau, dan perempuan kita.





(1)
mari kita bicara sebagai sesama lelaki tentang perempuan yang satu. perempuan yang sama menghuni bilik jantungku. pun bilik jantungmu. entah cinta macam apa yang kau punya ketika kau merenggutnya dari pelukanku. sebab perempuan yang satu memilih pergi bersamamu kala itu.

perempuan yang satu, tetap menghuni bilik jantungku. sebab dia adalah denyut jantungku. sebab dia adalah aku.

ketika kau memeluknya erat di ranjangmu setiap malam pekat. mungkin saja kau sibuk bercinta dengannya. melampiaskan rindu yang telah begitu tua menghuni usia. sedang aku menghitung doa di bilik putihku. menunggu Tuhan mengirimmu kembali dalam pelukanku.

(2)
pada sebuah senja yang ungu, perempuan yang satu datang kembali padaku. dalam bening matanya, kulihat biru yang begitu haru. dia bertutur tentang bagianmu yang tumbuh dalam tubuhnya. sedang kau tak punya cukup nyali memenuhi janjimu. janji yang pernah kau ucap ketika kau merenggutnya dari pelukanku.

lelaki macam apa kau ini?

tak mengapa bagiku. mengurus perempuan yang satu dan bagianmu yang tumbuh di tubuhnya. sebab cinta yang kupunya tak seperti cintamu. aku mengasihinya. teramat sangat. dan tak akan pernah kuizinkan airmata menetes, meski aku tahu airmata itu berasal dari lelaki-lelaki sepertimu.

(3)
pada sebuah pagi yang putih, aku dan perempuan yang satu di depan sebuah altar. mengikat janji sederhana untuk bersama selamanya. janji sederhana untuk saling menjaga. teramat sederhana. sebab hanya ada kami berdua.

hanya aku dan perempuan yang satu. menuruni altar. berjalan lurus. tak perlu kembali menengok punggung. sebab kami telah memilih pergi meninggalkan segala yang pernah membesarkan kami.

hanya aku dan perempuan yang satu. masih saja berjalan lurus. meski kadang kerikil-kerikil tajam melukai kaki. tak mengapa, kami saling menjaga. saling menguatkan. hingga hari jatuh menguning kami tetap bersama. menunggu jingga singgah di peraduan.



(20 Agustus 2011)



Kamis, 18 Agustus 2011

Kembali





Pagi ini, aku melihatmu duduk berdua bersama istrimu. Di beranda rumahmu, menikmati kopi pagi dan beberapa potong roti. Koran pagi terbuka di tanganmu, sedang istrimu sibuk mengaduk kopi untukmu. Kalian berdua begitu bahagia di mataku, pagi ini. Aku pun berlalu dari depan rumahmu dalam langkah-langkah kecil setengah berlari menuju tempat belajarku.

Tuhan Maha Baik. Dia tidak membiarkanku terlambat masuk kelas hari ini. Kelas telah penuh terisi, delapan orang telah duduk di bangku masing-masing termasuk aku. Menunggu Sang Guru yang belum kunjung tiba. Aku harus belajar dengan tekun mulai pagi ini. Mengejar ketinggalan kemarin sebab aku tidak mampu berdamai dengan diri sendiri. Sebab aku tidak mampu berdamai dengan hatiku sendiri.

Ketika tiba-tiba bayanganmu dan istrimu di beranda menikmati kopi pagi ini melintas tanpa permisi di ruang benak, aku segera menghalaunya pergi. You were my past, this class is my future. Meski Yogyakarta tidak lagi senyaman dulu untuk ditinggali menurutku. Aku mesti bertahan menghirup oksigen yang sama denganmu setiap detik, hingga waktu itu tiba: Selamat tinggal, Yogyakarta.

Tuhan Maha Baik. Sebab Dia menguatkanku setiap pagi, ketika perjalananku menuju kelas mesti melewati beranda rumahmu. Tuhan menguatkanku lewat rute itu sebab tidak ada jalan lain bagiku, kecuali melewatinya dan menjadi lebih kuat setiap hari. Tuhan Maha Baik dengan segala rencana terbaik yang telah Dia tuliskan dalam catatan hidupku. Aku tinggal menjalani skenario-Nya dengan bersyukur dan tanpa mengeluh. Ya, Tuhan Maha Baik. Sebab Dia telah membiarkanku bernafas hingga pagi ini. Sebab Dia masih menuntunku menuju titik akhir yang entah kapan aku sampai padanya.

Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, aku harus terbiasa melihat kalian berdua duduk di beranda. Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, doa sederhana untuk kalian: semoga selalu bersama dalam suka dan duka hingga ajal Tuhan memisahkan. Pagi ini dan pagi-pagi selanjutnya, aku harus kembali menekuni lembar-lembar pustaka demi melanjutkan cita-cita yang sempat tertunda. Bersama-Mu, Tuhan yang Maha Baik.




19 Agustus 2011





Sabtu, 13 Agustus 2011

pada sisa malam




aku telungkup.
menikmati belai jemarimu,
meniti garis punggung.
hingga terjatuh aku pada lelapku
dan melupakan nyeri
menusuk di sepanjang alur.



13 Agustus 2011







Senin, 08 Agustus 2011

Buku Baru - Antologi Karya Bersama

Cuplikan Kisah dalam Janji Dewa & Puan dalam A Cup of Tea for Complicated Relationship:

Ya, malam ini adalah natal ketiga belas. Aku masih menemaninya dan itu bukan masalah. Seperti halnya, malaikat berbaju putih itu tidak pernah berkeberatan menemaniku makan sahur setiap Ramadan tiba. Justru dia yang menyiapkan menu makan sahur setiap malam, membangunkanku dari tidur, dan menemaniku hingga waktu Subuh tiba selama tiga belas Ramadan. Tanpa sedikit keluh keluar dari bibirnya. Sebab kami mengimani Tuhan yang Satu, Tuhan Pencipta Semesta. Meski cara kami bertemu Tuhan memang berbeda, tetapi kami tidak pernah memandang perbedaan itu sebagai sebuah masalah.




COMING SOON...!!! Terbit mulai 18 Agustus 2011


Judul : A Cup Of Tea For Complicated Relationship
Desain Cover : Ike Rosana & Felix Rubenta
Penyunting : Lygia Pecanduhujan & Herlina P. Dewi
Layout Is i : Diandra Creative Design
Harga : Rp40.000,-
Ketebalan : 210 halaman

Kontributor : Angeline Julia - Archa Bella - Dieta Aditya Dewi - Eva Sri Rahayu - Harlis Setyowati – Ichi Aulia Insani - Kiandra Aesha - Lucya Chriz - Mpok Mercy Sitanggang - Mukti A. Farid - Nannet - Nita Tjindarbumi - Oci YM - Puput Happy - Rachmi Rosanti Arifianto - Ririe Rengganis - Yazmin Aisyah - Yuska Vonita

Sinopsis:
Setiap manusia tentunya berharap ingin memiliki cinta yang indah dan abadi. Namun, bagaimana jika cinta yang ada di hadapan kita menjadi begitu rumit? Mulai dari cinta beda agama, cinta segitiga, cinta sesama jenis, sampai dengan poligami dan poliandri.

Bersama buku ini, Anda seperti menemukan teman untuk saling berbagi, betapa cinta memang layak kita perjuangkan. Kalaupun langkah kita mesti terhenti, bukan berarti dunia kita telah berakhir. Mungkin, Tuhan telah menyiapkan sebentuk cinta lain untuk Anda.

Mari, duduklah sejenak. Biarkan hal lain yang harus Anda lakukan menunggu sebentar. Nikmatilah secangkir teh Anda bersama 20 kisah nyata yang ditulis dengan jujur ini, Anda akan menemukan banyak cinta, semangat dan harapan di dalamnya.

----------

“A Cup Of Tea for Complicated Relationship bagi saya adalah sebuah buku yang mampu menjadi refleksi akan kehidupan percintaan anak manusia yang penuh dengan rasa: suka, duka, gembira, kecewa, bahagia dan putus asa.. Buku ini informatif karena memberikan contoh hal-hal yang harus dihindari dalam "bercinta" dan inspiratif karena buku ini juga menyuguhkan nilai-nilai positif dalam "bercinta". Word of advice: just sit back, relax and enjoy your cup of tea!”
(Olla Ramlan – Artis, Model, Socialite)

Buku ini ibarat sungai yang gak akan membuat kita terlarut seperti gula yang lebur jadi manis dalam aliran ceritanya. Kita akan jadi sosok utuh yang dibawa mengaliri setiap arus dan jeram cerita yang memiliki liku dan panorama yang berbeda. 20 hulu yang berakhir di satu titik hilir, cinta. Tentunya semuanya menarik dengan arus dan likunya masing-masing. Nikmati setiap ceritanya.
(Fitri Tropica - Artis, Host dan Penulis Buku "Kening")

"Membaca cerita-cerita dalam buku ini membuat saya teringat dengan kisah-kisah saya sendiri, dan tersadar, cinta tidak melulu soal bahagia, tapi bisa jadi pelajaran berharga yang dititipkan melalui orang yang pernah singgah di hati kita. Jangan putus asa dengan cinta!"
(Ollie - Penulis dan Founder online self publishing NulisBuku.com)

“Membaca buku ini kita merasa tidak sendiri, serasa ada sahabat yang hangat dihati, yang penuh semangat membantu mengambil pilihan untuk keluar dari masalah”
(Ninuk Retno Raras – Penulis dan Pemerhati Perempuan)

"Dengan membaca kisah-kisah di novel ini, kita akan merasa bahagia dan bersyukur dalam waktu bersamaan. Bahagia karena ternyata kita tidak sendirian yang punya kisah cinta menyakitkan. Bersyukur karena apa yang sudah kita punya sekarang sangat luar biasa!! This book makes you feel in good”
(Manik, Vocalist La Luna, Penyiar Hardrock FM Bandung)

-------------
Pre-Order:
Melalui Stiletto Book

Minggu, 07 Agustus 2011

Surat untuk Vyta

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pernah merasakan ketakutan itu. Melintas di depan rumahnya, meski itu tanpa sengaja dalam sebuah bus kota. Degup jantung berlarian tanpa jeda. Memandang fotonya tanpa sengaja ketika membuka berkas-berkas lama, masih saja menyisakan perih luka yang sama.

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pun belum mampu berdamai dengan ketakutanku. Ketakutan yang telah mengirimku pada jurang terdalam. Ketakutan yang telah membuatku jadi pendosa tak terampuni di mata kalian, manusia. Ketakutan yang telah membuatku enggan kembali ke kota itu, meski masih ada janji yang harus dilunasi.

Aku pahami ketakutanmu. Sebab aku pun masih menyimpan ketakutan itu pada bagian terdalam diriku. Ia pun enggan keluar dari ruang gelapnya. Melekat pada setiap pori dindingnya.

Aku pahami ketakutanmu, sungguh. Izinkan aku memelukmu. Meleburkan segala ketakutan kita. Mengubahnya menjadi sebuah keberanian untuk kembali berjalan di atas dunia yang tak pernah bersahabat pada kita.




(7 Agustus 2011)


Sabtu, 06 Agustus 2011

menjelang magrib

Memandangmu mengenakan baju koko lengkap dengan kain sarung terlilit di pinggang dan peci putih di kepalamu. Bersiap menuju masjid. Mengingatkanku pada sosok Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami karya AA. Navis.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihatmu mengenakan baju koko lengkap dengan kain sarung terlilit di pinggang dan peci putih di kepalamu. Bersiap menuju masjid. Lima kali sehari. Bahkan lebih dari lima kali sehari bila Ramadan tiba. Sebab kau akan lebih memilih bermalam di masjid hingga waktu sahur tiba. Tidak jarang pula kau akan tiba di rumah ketika matahari sudah tersenyum di ufuk timur.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihatmu pergi meninggalkan rumah dan menuju masjid. Bagaimana tidak? Sebab bagimu, berkencan dengan Sang Pencipta di rumah-Nya jauh lebih penting daripada berkencan dengan istri dan anak-anakmu di rumah sendiri.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihat dahimu yang keras menghitam bekas sujud pada sajadahmu. Bekas yang bisa terbentuk sebab ketekunan ibadahmu. Bekas yang konon bisa menjauhkanmu dari dosa dan siksa neraka.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Setiap melihat anak-anakmu menangis kelaparan di rumahmu. Setiap melihat istrimu harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anak yang terlahir dari benihmu.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Tentangmu, yang begitu tekun dalam ibadahmu, tetapi melupakan manusia-manusia yang bernafas dalam rumahmu.

Ya, sosok itu yang muncul dalam memori otakku. Pun sejumlah tanya di kepala yang mungkin harus aku cari sendiri jawabnya kelak bila aku bertemu Tuhan.




(7 Agustus 2011)



Jumat, 05 Agustus 2011

Buku Puisi Terbaru - Ririe Rengganis




Endorsemen Buku Puisi Biji Bunga Matahari - Ririe Rengganis

Aku tercekat dan lantas tercenung.
Mengeja Biji Bunga Matahari adalah membaca penggalan kisah tentang hati yang biru.
Adalah membaca Ririe Rengganis yang menyukai sunyi tak terpahami.
Sunyi, biru, dan kelu. (Nusya Kuswantin, penulis novel Lasmi)


Kekauan, keakuan, dan kekitaan yang mengembang dalam dua kumpulan sajak yang disatukan menjadi Biji Bunga Matahari ini terasa nyalang di pigura dialektika. Kendati suatu dialektika telah banyak digarap penyajak, senantiasa ada ruang untuk menjejak dan menyatakan suatu sikap, meski tidak perlu dengan berteriak. Justru dengan komposisi lirih dan cenderung tidak menyentak, sajak-sajak dalam kumpulan ini mempunyai daya untuk membuka selubung rahasia, seberapa pun tipis dan tirusnya. Adanya ajakan untuk merenungkan lagi rahasia sejumlah relasi kemanusiaan inilah yang saya kira menjadi salah satu kekuatan sajak-sajak Ririe Rengganis di sini. (Ibnu Wahyudi, peminat puisi dan pengajar FIB UI)



Puisi-puisi Ririe Rengganis mengajak kita bagaimana mengelola kekecewaan, kepedihan, dan keterbatasan individual, dan menyiasatinya secara substansial. Puisi-puisinya juga bisa menjadi salah satu strategi bagaimana menawar luka dan kelam terhadap ranggasnya kehidupan dan kemanusiaan. (Dr. Aprinus Salam, dosen Pascasarjana Prodi Sastra FIB UGM)


Membaca buku Ririe Rengganis saya tak merasa membaca puisi yang ditulis oleh penyair yang kebetulan berjenis kelamin perempuan, melainkan saya menemukan jagad dan carapandang perempuan yang senantiasa dibekap luka, dipinggirkan, dan banyak diatur atau dikonstruksikan sedemikian rupa dalam kaitannya dengan relasi perempuan-lelaki. Ririe Rengganis menolak menjadi penunggu hasil buruan sang pemburu, karena sesungguhnya dia bukan saja mampu melainkan juga berhak memanggul panah untuk berburu. Ririe Rengganis dilingkup luka justru karena menggugat konstruksi, dan dia tak menyesalinya jika luka demi luka, kegetiran demi kegetiran, dan celaan demi celaan harus dia sandang. Ya, kenapa mesti berkompromi pada konstruksi jika konstruksi bukanlah guratan takdir Ilahi.... (Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa)

Jumat, 22 Juli 2011

mendut

aroma dupa
mengantarmu pada senja
demi cintamu,
yang begitu purba.



(22 Juli 2011)

Minggu, 17 Juli 2011

ketika senja beranjak malam

melankoli merayap diam-diam
ketika sebuah tanya menikam rasa.
air mata deras berjatuhan di beranda
argh!

Tuhan, aku ingin amnesia.
dan melupakan segala luka dan tawa,
yang pernah ada di jalan kita.




(17 Juli 2011)

Minggu, 03 Juli 2011

dermaga tua

membuang segala keluh
dalam dingin Subuh.
pun tentangmu,
yang kemarin sempat singgah
menitip sauh pada dermaga tua.

berlayarlah kembali.
sebab dermaga ini terlalu renta
bagi persinggahan sauh cantikmu.

berlayarlah kembali
dalam senandung Cinta,
yang terhembus lirih dari daratan.



(4 Juli 2011)

Sabtu, 02 Juli 2011

menikmati sejengkal sepi

jejak-jejak kaki
masih saja tertinggal
di sepanjang hati
kemarin pagi.

pada sejengkal sepi,
aku hapus satu demi satu
sebab badai pun enggan
menghapusnya pergi.

pergilah, pergi!
bawa saja jejakmu pergi
bersama badai,
yang kau semai beribu pagi lalu.

biarkan aku nikmati
secangkir kopi bersama tempias senja
pada ujung-ujung rambutku
: sendiri





(2 Juli 2011)

Kamis, 16 Juni 2011

pagi ini….

hari masih pagi.
cangkir kopi bahkan belum terisi,
sedang kau telah riuh di ujung teleponmu
tentang segala sumpah-janjimu.

hari masih pagi.
maaf, aku tak ingin dengar apapun lagi
dari mulutmu yang mengunyah janji
dan membuangnya dalam kloset esok pagi.

hari masih pagi.
aku sedang membangun mimpi
tentang rumah berpagar putih
milikku sendiri.

hari masih pagi.
lebih baik kau enyah dari pandang mataku
sebab aku tak hendak merindumu lagi.
tak akan pernah!




(17 Juni 2011)

Rabu, 15 Juni 2011

gigil

pada sebuah lubang, aku bertanya. tentangmu dan tentang Tuhanmu, yang selalu kau sapa lima kali dalam sehari. tentang Tuhanmu, yang kau sembah hingga jidatmu menghitam. tentang Tuhanmu, yang pada-Nya setiap doamu kau tujukan. tentang Tuhanmu, yang mengajarkanmu untuk tidak mengurangi timbangan.

pada sebuah lubang, aku bertanya. tentangmu, yang lupa pada Tuhanmu. tentangmu, yang mengurangi timbangan. tentangmu, yang menggores luka di dinding-dinding hatiku. tentangmu, yang pahit lidah dalam wujud setangkai kembang gula.

pada sebuah lubang, akhirnya aku terdiam. tanpa tanya. sebab luka-luka itu telah menjelma jawab atas segala tanya tentangmu. tentangmu, yang menurutmu telah berjalan lurus. tentangmu, yang telah mengirim gigil ke seluruh aliran darahku.

aku diam. menyimpan kembali pistol itu di bawah bantal tidurku. dan mengurungkan segala niatku membunuhmu.

dalam gigil, aku meredam marahku. kembali menyusuri jalan sunyi. sendiri.




(13 Juni 2011)


Senin, 06 Juni 2011

pecundang

kau bilang hidup ini serupa undian berhadiah.
kadang beruntung. kadang buntung.
hmmm….

lantas ketika kau pergi setelah menabur badai
di pelataran rumahku. ingin aku memaki
dasar pecundang tak punya nyali!

aku buntung pernah mengenalmu.
sebab badai yang keluar dari mulutmu
telah menghancurkan taman bungaku.

aku beruntung pernah mengenalmu.
sebab badai yang keluar dari mulutmu
telah mengajarku jadi lebih tangguh
melawan pecundang sepertimu.





(6 Juni 2011)


seikat belukar di beranda

kisah itu tertulis kembali dalam buku catatanmu. ah, mengapa? terulang kisah yang sama padamu, pada kita. aku mencari jawab pada butir-butir matamu. kisah itu, selalu saja terjadi. atas nama bakti dan mukti, meski berujung nyeri. seikat mawar itu, ternyata belukar yang menikam ulu. dan menusuki langkah-langkah kaki.

ya, seikat mawar itu ternyata belukar. tertinggal di beranda.

belukar yang tertinggal di berandaku telah kubuang beberapa tahun lalu. meninggalkan bekas luka. luka yang membuatku ingat mawar itu bukan belukar. pun luka yang membuatku ingat mawar dan belukar punya persamaan. duri-durinya kelak menggores luka dalam buku catatan.

buang saja belukar di berandamu. sekarang. jangan lagi menunggunya tumbuh besar dan membuatmu terkurung dalam belukar. terbunuh, meski kau sadar.

buang saja belukar di berandamu. sekarang. sebab aku sayang padamu.




(5 Juni 2011)

Kamis, 26 Mei 2011

flamboyan di beranda

pada sebuah beranda,
satu-satu kisah melintas
di putaran ingat.

kelopak-kelopak flamboyan
terbang bersama angan
di pelataran senja.

magenta,
padamu pernah tersemat
kisah tentang luka.

biru,
padamu segala luka
tertumpah satu.

cokelat,
padamu sebuah cita
berujung buntu.

hijau,
padamu sebuah harap
sempat bertunas.

putih,
padamu segala aku
kembali berpeluk.



(26 Mei 2011)

Senin, 23 Mei 2011

padamu yang begitu duri

: ditulis dari gambar Durian Boy karya Juma Adi (Sidney, Australia)


langkah-langkah kecil
sesaat terhenti. nyeri tertinggal
di penjuru hati.

nafas terhenti sesaat,
ketika bayangmu begitu lekat.
tentang kisah tanpa ujung.

padamu yang begitu duri,
biar aku memelukmu sekali lagi.
erat, hingga duri tak mampu menyakiti.




(23 Mei 2011)

Sabtu, 21 Mei 2011

Selamat Tinggal

api cemburu telah menjilat mata hatimu,
membuat segala langkahku tanpa arti dalam catatanmu.
pun ketika api itu telah membuat ragu langkahmu
pada setiap hela nafasku.

haruskah aku membakar diriku
serupa Sita di tungku api Rama di hadapanmu?
maafkan aku, Sayangku.
sebab aku tidak terlahir sebagai Sita ke duniamu.

bila kau masih saja terbakar dalam apimu,
pun ketika kau masih ragu pada hatiku.
biarkan aku mengatakan satu hal terakhir padamu
: maaf, kau bukan lagi kekasihku.







(11 Mei 2011)

amnesia

: B




menghapus bintang,
satu demi satu
dari langit malam.

mengubur angan,
langkah demi langkah
di sudut rumah.

menguburmu,
remah demi remah
di lubang kloset rumahku.




(13 Mei 2011)

Senin, 09 Mei 2011

pada mata kekasihku

matamu begitu
hujan. menawan batinku
berlagu di pangkuan.

hujan, peluk aku.
sebab dalam dekapmu,
rindu tak pernah tabu.





(10 Mei 2011)

The Story of The Shape of My Heart: Sebuah Karya Kolaborasi

The Story of …

(Narasi ditulis oleh Ririe Rengganis dari sebuah karya desain grafis berjudul The Shape of My Heart karya Tri Cahyo Kusumandyoko untuk Gelar Karya di House of Sampoerna, 10 Juni-4 Juli 2011)




pada ruang hatiku ingin kubangun sebuah rumah baru. tempat cerita segala rasa menyatu dalam syahdu. tempat mewujudkan perjalanan garis-garis menjadi sebuah lukisan manis. tempat menyatukan titik-titik menjadi sebuah impian yang tak akan pernah berhenti berdetik, serupa denyut nadi. tempat mewujudkan segala angan yang tergantung pada bidang langit-langit.

pada ruang hatiku ingin kubangun sebuah rumah baru. tempat kau dan aku berjalan pada garis yang sama. tempat kau dan aku membangun bidang yang sama. tempat kau dan aku menuju sebentuk harapan. tempat kau dan aku menunjukkan seraut wajah dengan senyum tersungging di bibir masing-masing. tempat kau dan aku meletakkan sebuah lukisan cinta yang berbeda. Cinta untuk semua. Cinta bagi semesta.

pada ruang hatiku ingin kubangun sebuah rumah baru. sebuah rumah dengan warna-warni pelangi yang mendasari. sebuah rumah dengan tarian mega yang menaungi. sebuah rumah dengan lukisan-lukisan cinta yang menghiasi. sebuah rumah dengan mimpi-mimpi yang terpenuhi. sebuah rumah nyaman, tempat hatiku dan hatimu melihat dunia begitu penuh warna, bukan sekadar hitam-putih semata. sebuah rumah, tempat kau dan aku melihat dunia dengan cara yang baru.




(May 2011)


Jumat, 06 Mei 2011

madu di bibirmu

pada madu yang kau semat
di bibirku dengan bibirmu,
aku telan pahit empedu.
tak pernah aku mengeja
keluh di telingamu.


pada seluruh madumu,
aku menelan pahit empedu.
: tentang bintang kecilku.







(30 April 2011)

Sabtu, 23 April 2011

senyum keabadian

pagi ini aku terbangun dari mimpi. meninggalkan sebuah rumah yang begitu nyaman. berjalan sendiri di lorong panjang dan gelap. tunggu dulu, di depan sana ada sebuah cahaya terang. dan serupa kanak-kanak, aku berlari menuju itu cahaya. aku melihat begitu banyak sekali manusia dengan berbagai bentuk wajah. oval. persegi. bulat. segitiga. dengan satu persamaan: senyum tersungging di bibir mereka. senyum yang begitu mengkilat. serupa mata pisau yang siap menjilat urat leher.

aku tersenyum pada si wajah bulat dan berkulit coklat. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba kulihat darah mengalir dari lenganku. darah yang begitu lekat. ternyata senyum itu menggores lenganku.

aku tersenyum pada si wajah oval dan berkulit putih. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari pelipisku. darah yang begitu beku. ternyata senyum itu menusuk pelipisku.

aku tersenyum pada si wajah persegi dan berkulit kuning. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari mataku. darah yang begitu mengucur. ternyata senyum itu membutakan mataku.

aku tersenyum pada si wajah segitiga dan berkulit hitam. dan senyumku pun dibalas senyum olehnya. zrink! tiba-tiba darah mengalir dari ulu hatiku. darah yang begitu merdu. ternyata senyum itu menikamku. tepat sasaran. membuatku rebah tanpa nyawa di sebuah beranda.

aku melihat tubuhku tersungkur di depan kalian. si oval. si persegi. si bulat, si segitiga. aku melihat kalian tertawa di atas kematian tubuhku. aku menunggu kalian datang. satu demi satu di pintu rumahku. aku menunggu kalian mendapat satu senyum. senyum keabadian.





(20 April 2011)

kisahmu, yang lupa menjadi manusia.

ini kisahmu. terlahir sebagai belut dari rahim ibumu. licin dan licik. pandai mengelak. pandai menipu. kadang kau pun serupa biawak, yang lidahnya bercabang banyak. pandai menjilat demi posisi yang nikmat.

ini kisahmu. pemakan bangkai sesamamu. pemerkosa hak-hak sesamamu. mencatut nama lain demi membersihkan citramu yang terlanjur busuk di mataku. pun di mata sesamamu. kenyangkah perutmu? puaskah syahwatmu?

ini kisahmu. seorang bajingan dalam tubuh dewa, yang menyandang keris di balik punggungmu. keris yang kau pakai membunuhku dan sesamamu. demi rupiah memenuhi kantongmu. demi kilau namamu, yang sekemilau jidatmu.

ini kisahmu. meski aku harus meninggalkan nyawa setelah berkisah, bukan masalah. sebab kesadaran itu selalu ada dalam kepala. melawanmu, yang lupa pada nurani. melawanmu, yang lupa menjadi manusia.




(5 April 2011)

karya kolaborasi

menyimpan kelabu di sudut waktu yang rapuh



Kris Budiman & Ririe Rengganis





(1)
menghitung lupa
di pucuk-pucuk cemara
pada jejak langkahmu.

menunggu embun
menetes satu-satu
di sudut mataku.


(2)
reranting hijau berangsur
kelabu. mengabur
rapuh. jejarumnya
menusuk-nusuk masa lalumu
entah di mana.


(3)
menyimpan kelabu
padamu. diam-diam
di sudut ingatku.

menunggu hujan
pecah. menghapus debu
di ujung-ujung sepatu.




(penghujung maret 2011)



Jumat, 18 Maret 2011

pada lorong rumahmu

: Kris Budiman




ubin-ubin batu
riang mencumbu. ujung kakiku
berjalan beku.

ubin-ubin batu
mengetuk ingatku. pada kelabu
rambutmu.






(18 Maret 2011)


Minggu, 13 Maret 2011

cemburu pada hujan

: tribute to Mas Ayu Kumala Yulia




sebab kau bebas menangis sesukamu.
bebas menghapus segala debu,
yang menyentuh tubuhmu.

tanpa seru,
dan kadang tanpa kelabu.
sungguh, aku cemburu padamu.






(13 Maret 2011)


Sabtu, 05 Maret 2011

senyum kekasihku

- another tribute to BOL BRUTU -






menunggu
diam. geliat cumbu
senyummu
dalam rekah ungu.

menunggu
bisu. musnah amarah
dalam rekah tawa
kekasihku.







(14 Maret 2011)



bukan. kau bukan.

kau bukan matahari,
yang menyinari
sejak aku tumbuh di bumi.

bukan. kau bukan
matahari. sayang, lidahmu
setajam belati.

kau bukan pula rembulan,
yang menemani
aku membunuh sepi.

bukan. kau bukan
rembulan. sayang, benakmu
sekelam malam.

jalan, terus berjalan.
biarkan.
sebab bagiku,
kau hanya pedagang lidah
pun ludah dengan harga murah.









(4 Maret 2011)

Janji Tara

Namaku Tara. Aku gemar sekali duduk di balik jendela sembari memandang langit di atas sana. Bila siang tiba, aku gemar sekali menggambar awan-awan putih dengan aneka rupa. Dan bila malam tiba, aku gemar berbicara pada bulan dan bintang di atas sana. Sebab aku tidak punya teman yang bisa menyimpan rahasia dan cerita. Aku selalu merasa nyaman duduk di balik jendela. Bahkan ketika musim hujan tiba. Memandangi tetes-tetes air yang menempel di kaca jendela selalu menyenangkan. Meski kadang-kadang aku juga gemar bermain di bawah hujan, bila Ibu tidak sedang berada di rumah. Dan Ibu memang sering tidak ada di rumah. Sebab Ibuku sedang sibuk bekerja di luar sana. Ya, Ibuku memang harus bekerja demi menghidupiku. Sebab Ayahku entah berada di mana sejak aku dilahirkan ke dunia.

“Ayahmu entah ada di mana sekarang. Tolong jangan tanya-tanya soal Ayahmu pada Ibumu ini kalau Tara memang sayang pada Ibu ya?” pinta Ibu suatu hari sembari memelukku. Ketika mulut kecilku bertanya tentang Ayah sepulang dari sekolah. Sebab setiap hari kulihat teman-teman sekelasku selalu dijemput ayah-ayah mereka. Teman-teman selalu mendapat pelukan dari ayah-ayah mereka. Pun pujian dan ciuman jika hari itu mereka telah melakukan hal yang hebat di sekolah.

Malamnya, setelah siang itu, kudengar Ibu menangis di kamarnya. Tangisan lirih dan menyayat, tangisan yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Sebab selama ini memang tidak pernah kulihat Ibu meneteskan airmata di depanku. Masih terngiang di telingaku kata-kata Ibu tadi siang. Tolong jangan tanya-tanya soal Ayahmu pada Ibumu ini kalau Tara memang sayang pada Ibu ya? Aku berlalu dari depan kamar Ibu menuju ke kamarku. Duduk meringkuk di bawah jendela dengan memeluk lutut. Aku menangis tanpa suara hingga tertidur dalam posisi yang sama, duduk memeluk lutut. Usiaku baru 10 tahun waktu itu.

*****

Hari ini, usiaku genap 30 tahun. Ibu sedang duduk merajut di ruang tengah. Ia tidak lagi harus bekerja keras untuk menghidupiku. Kini, giliranku untuk mengambil alih tanggung jawab menghidupi keluarga ini, aku dan Ibuku. Ya, sampai hari ini, kami masih tetap hidup berdua di sebuah rumah kecil di pinggir kota. Pekerjaanku sebagai editor di sebuah majalah mingguan mode dan perempuan memang tidak akan menghasilkan banyak uang, tetapi cukuplah untuk tidak membuat kami berdua kelaparan setiap hari selama sebulan, sebelum uang gaji bulan depan mampir ke dalam dompetku.

Ya, aku telah berusia 30 tahun hari ini. Selama itu pula hidup berdua hanya dengan Ibu, tanpa mengenal siapa Ayahku dan bagaimana wajah Ayahku. Hidup berdua dengan Ibu membuatku tumbuh menjadi perempuan yang tidak cengeng dalam menghadapi hidup. Ibu telah berhasil untuk mendidikku dengan tegas, menjadi Ibu sekaligus Ayah memang tidak pernah mudah untuknya.

Pernah seorang perempuan tetangga sebelah bertanya tentang Ayah pada Ibu dan Ibu hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu sembari berlalu. Aku masih menyimpan dalam ruang ingatanku, bagaimana perempuan-perempuan tetanggaku itu begitu nyinyir menanyakan lelaki yang seharusnya berada di rumah dan melengkapi sebuah keluarga. Dan, memang lelaki itu tidak pernah hadir di sana, lelaki yang seharusnya menjadi kepala keluarga, suami, dan ayah. Sayangnya, Ibu tidak pernah merasa terganggu oleh kenyinyiran perempuan-perempuan tuna kegiatan itu. Waktu itu, Ibuku sibuk bekerja untuk menghidupiku dan dirinya sendiri.

Ya, kebiasaan Ibu yang tidak banyak bicara itu menurun padaku. Aku termasuk perempuan yang tidak banyak bicara di mana saja. Semasa sekolah dan kuliah, aku tidak punya banyak teman. Hanya mereka yang mendapat julukan kutu buku dari teman-teman lain, yang betah menjadi temanku. Sekarang di kantor pun, aku tidak terlalu banyak bicara. Lagipula tujuanku datang ke kantor untuk bekerja, bukan untuk bicara, itu menjadi prinsipku. Dan, prinsip itu yang membuatku tidak memiliki teman dekat di kantor. Bukan sebuah masalah besar untukku.

Hingga suatu pagi, aku mendapat kiriman bunga di atas meja kerjaku. Sebuah pot mungil yang ditumbuhi bunga krisan putih bertengger di sebelah monitor komputer kerjaku. Ada sebuah kartu mungil terselip di antara rimbun bunga-bunga putih itu bertuliskan kalimat singkat, semoga senyummu selalu secantik krisan ini. Tidak ada nama pengirim. Aku menengok kiri-kanan dari dalam bilik kerjaku. Kantor masih sepi, belum ada orang yang bisa ditanya perihal pot bunga krisan putih ini.

Setelah menyingkirkan pot bunga krisan putih dari sisi monitor komputer, aku mulai bersiap untuk bekerja. Ada begitu banyak rubrik dan artikel yang menunggu diedit hari ini, sebab mereka sudah harus masuk ke ruang cetak besok pagi. Sebentar kemudian, aku sudah tenggelam dalam pekerjaanku. Mencermati huruf, tanda baca, dan tata letak setiap rubrik dan artikel.

Diam-diam ada sepasang mata memperhatikan Tara bekerja dari sudut ruangan.

Pagi ini, Tara sarapan dengan buru-buru. Ibu sedang menyiapkan bekal makan siang untuknya di seberang meja. Tara harus segera ke bandara sebelum tertinggal pesawat yang akan membawanya ke Jakarta. Ya, seminggu ke depan, Tara mendapat tugas untuk mewakili kantor mengikuti pelatihan peningkatan mutu perusahaan.

Setelah menyelesaikan sarapan, Tara berpamitan pada Ibu. Sebuah taksi sudah menunggu di depan rumah dan siap mengantarnya ke bandara.

“Hati-hati di Jakarta. Jaga diri baik-baik dan jangan sampai terlambat makan,” begitu pesan Ibu sebelum Tara menutup pintu pagar dari luar.

“Iya,” jawab Tara pendek. Sopir taksi membantu memasukkan koper Tara ke dalam bagasi mobil. Tara sudah duduk manis di jok belakang, ketika sopir itu baru kembali duduk di jok depan.

“Selamat pagi, Ibu. Hendak diantar ke mana?” tanya sopir itu dengan sopan.

“Ke bandara, Pak.”

Dan, taksi itu pun segera melesat di jalan raya. Menuju bandara.

Satu jam kemudian, Tara sudah menginjakkan kaki di Jakarta. Seorang sopir taksi lain mengantar ke alamat yang disodorkannya. Hingga akhirnya, Tara sampai di depan sebuah gedung, tempat sebuah media cetak nasional berkantor.

“Terima kasih, Pak,” ucap Tara seraya mengangsurkan uang pada sopir sebelum ia keluar dari pintu belakang taksi.

Tara berjalan memasuki gedung dan menemui seorang resepsionis yang tersenyum ramah padanya. Tara menyerahkan selembar amplop berisi surat penugasan dari kantornya pada resepsionis itu. Sebentar kemudian, resepsionis itu menelepon setelah membaca surat dari Tara dan meminta Tara menunggu di lobby kantor untuk sesaat.

Tidak lama kemudian, seorang lelaki setengah baya datang menghampiri Tara yang sedang menunggu. Dia berbasa-basi sebentar sebelum mengajak Tara naik ke ruangan di lantai lima gedung ini.

*****

Hampir seminggu Tara berada di Jakarta. Sebab besok ia sudah harus kembali ke Yogyakarta, kota tempatnya lahir dan dibesarkan. Hari terakhir di Jakarta, ia menghabiskan waktu di kafetaria gedung kantor sebab hari ini memang hari bebas tanpa kerja. Tara menghadapi secangkir kopi dan sepotong croissant di mejanya, sedang matanya menyapu seluruh ruangan. Sepi. Masih terlalu pagi untuk makan siang, meski jam dinding sudah menunjuk angka 11.30. Belum ada pegawai kantor yang turun untuk makan siang. Hanya ada beberapa orang luar yang tampak sedang melakukan meeting-meeting kecil di beberapa sudut ruangan.

Tara melangkah menuju buffet berniat mengambil sepiring salad buah di sana. Baru beberapa langkah meninggalkan mejanya, Tara menabrak seorang lelaki setengah baya. Beberapa kertas kerja di tangannya jatuh berantakan di atas lantai.

“Maaf, Pak. Saya tidak melihat Bapak melintas tadi.” Tara meminta maaf sembari membantu Bapak itu membenahi kertas kerja yang berantakan.

“Tidak apa-apa, Mbak. Saya juga ceroboh tadi.” Bapak itu tersenyum pada Tara.

Wajah lelaki itu masih terlihat menarik, meski keriput sudah menggarisi beberapa bagian wajahnya. Tara masih membantu membereskan beberapa lembar kertas terakhir di atas lantai sampai jemari tangannya menyentuh anyaman simpul tali tua. Simpul tali yang digunakan sebagai tali pengikat flashdisk milik Bapak setengah baya di depan Tara. Warnanya sudah kusam, tetapi Tara mengenali simpul tali itu. Ya, simpul tali itu seperti buatan Ibunya. Ibu selalu memiliki ciri khas dalam membuat simpul tali. Sebab simpul-simpul tali itulah yang menghidupi Tara hingga dewasa dan simpul tali seperti itu hanya dibuat Ibu untuknya.

“Maaf, Bapak. Dari mana Bapak mendapatkan simpul tali seperti itu?” tanya Tara penasaran.

“Ooo, itu dari seorang teman lama saya. Dia menghilang, ketika saya menikah dengan istri saya. Kejadiannya sudah lewat dari 30 tahun lalu.” lelaki itu menjawab pertanyaan Tara. Matanya menerawang. Raut mukanya mendadak terlihat sedih.

“Maaf, saya tidak ingin mengungkit masa lalu Bapak.” Tara berdiri setelah selesai membantu membereskan kertas-kertas di lantai. Dan, Tara memang selalu tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.

“Oh, tidak mengapa. Terima kasih sudah membantu saya.” Bapak itu berusaha mengubah ekspresi sedih di wajahnya.

Tara mengangguk dan tersenyum. Semenit kemudian, ia kembali melangkah menuju buffet. Kembali pada niat semula mengambil sepiring salad buah di sana. Meski di kepalanya masih tersimpan tanda tanya besar tentang simpul tali itu.

Tara kembali ke mejanya, menikmati salad dan croissant dengan bergegas. Menghabiskan kopi di cangkir dengan segera. Pergi ke kasir dan membayar. Sebab ia sudah tidak merasa nyaman duduk berlama-lama di kafetaria. Lelaki setengah baya yang ditabraknya tadi memandanginya dengan curiga dari meja sebelah.

Malam terakhir di Jakarta, Tara mengikuti evaluasi kerja di lantai lima. Setelahnya, acara makan malam bersama di hall gedung ini. Dan, lelaki yang ditabraknya tadi siang ada di antara para undangan. Menghampirinya dan mengajukan beberapa pertanyaan pada Tara.

“Maaf, Mbak. Apakah Mbak juga dikirim sebagai peserta pelatihan di sini?” tanya lelaki itu. Pertanyaan pertama yang belum mengejutkan bagi Tara.

“Iya, Pak.” Jawab Tara singkat. Ia tidak nyaman dipandangi lelaki itu. Pandangan nakal dari seorang lelaki setengah baya.

“Maaf, kalau boleh tahu siapa nama Mbak?” tanya lelaki itu lagi.

“Tara. Memang ada masalah dengan saya, Pak?” tanya Tara balik pada lelaki itu. Ditentangnya pandangan nakal lelaki di depannya.

“Tidak. Wajah Mbak mengingatkan pada wajah teman saya di Yogyakarta semasa kuliah dulu. Namanya Saraswati. Dia cantik dan pandai seperti Mbak. Dia juga yang membuatkan simpul tali yang tadi siang Mbak tanyakan.” Lelaki itu menjelaskan agak panjang. Lelaki itu tersenyum nakal pada Tara.

Deg. Jantung Tara berdetak lebih kencang setelah mendengar penjelasan lelaki itu. Saraswati adalah nama Ibunya. Saraswati, si penyimpul tali dari Yogyakarta. Inikah lelaki yang pernah diceritakan Ibunya setahun lalu? Lelaki biadab yang telah mencampur obat tidur pada minuman Ibunya dan memperkosanya. Lelaki biadab yang meninggalkan Ibunya dan benih dalam kandungannya demi menikahi perempuan yang lebih kaya untuk sebuah pekerjaan dan jabatan hebat di sebuah departemen hebat di negeri ini. Tubuh Tara serasa terpaku di lantai. Dingin mengalir di sekujur tubuhnya.

“Dan, Anda pastilah Rahmat Malik. Orang yang telah memperkosa Saraswati si penyimpul tali dan meninggalkannya demi perempuan lain yang bisa memberi Anda uang dan jabatan.” Tara mengatakan dengan nada amat tegas. Ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya.

“Jadi, Mbak ini anak dari Saraswati?” lelaki itu yang selanjutnya terkejut.

“Iya, saya adalah anak Saraswati. Dan secara biologis, Anda adalah ayah saya. Sayangnya, saya tidak pernah meminta pada Tuhan untuk punya seorang ayah yang biadab seperti Anda.” Tara berusaha meredam emosinya.

Ya, sejak setahun lalu ketika Ibu bercerita siapa Ayahnya. Tara sudah tidak lagi punya keinginan mencari Ayah. Sebab lelaki itu yang telah merusak masa depan Ibu. Membuat Ibu diusir dari rumah orangtuanya. Membuat Ibu harus menyendiri ke Yogyakarta dan memulai hidup baru demi janin dalam kandungannya. Demi dirinya bisa hadir ke dunia. Sebab Ibu menolak untuk melakukan aborsi seperti permintaan kedua orangtuanya.

“Maafkan saya, Tara. Saya tidak bermaksud meninggalkan Saraswati waktu itu….” Lelaki itu belum menyelesaikan penjelasannya ketika Tara memotong kata-katanya.

“Tidak perlu minta maaf pada saya. Minta maaflah pada Ibu saya. Itu pun bila Ibu saya masih punya maaf untuk Anda. Lagipula saya juga tidak butuh seorang ayah. Sebab bagi saya, ayah selalu memberi air mata pada saya dan Ibu saya. Sepanjang usia saya, saya memang tidak akan memerlukan Anda sebagai ayah saya.”

“Tara, saya sudah menerima hukuman Tuhan. Perempuan yang saya nikahi memang bisa memberi saya uang dan jabatan, tetapi ia tidak bisa memberikan saya keturunan. Tidak bisa memberikan saya seorang anak.”

“Itu urusan Anda. Bukan urusan saya.” Tara melangkah pergi. Langkahnya panjang-panjang dan cepat. Ia keluar dari hall dan naik ke lantai tujuh. Mengemasi barang-barangnya dan bergegas menuju bandara.

Sesampai di bandara, Tara menukarkan tiket yang dimilikinya dengan tiket penerbangan terakhir malam ini. Ya, Tara ingin segera kembali ke Yogyakarta. Tara ingin segera pulang ke rumah. Tara ingin segera kembali ke dalam kamarnya. Kembali ke dalam dunia kecilnya yang nyaman.

Perjalanan satu jam menuju Yogyakarta malam ini terasa begitu amat lama. Pandangan mata itu hampa. Tidak ada lagi cahaya seperti biasa. Cahaya yang bisa membuat Radityo rajin mengiriminya bunga setiap pagi selama setahun ini. Sayangnya, bunga-bunga itu tidak pernah bisa membuat Tara membuka pintu hatinya untuk Radityo. Sebab Tara tidak ingin mengulangi cerita hidup Ibunya. Sebab Tara tidak ingin memberi luka pada anak-anaknya kelak. Sebab Tara ingin menjalani lingkaran hidupnya sendiri, tanpa lelaki.







─Februari 2011─

mengecup embun

menghitung lamun
pada tetes-tetes embun.

menunggumu,
rekah. entah memerah
atau magenta merona
di ujung senja.

menunggu,
hati. membuka pintu
atau sekadar jendela
di ujung nanti.

mengecup embun
pada ngungun di matamu.

menunggu,
pagi. melebur risaumu
pada tetes-tetes air mataku.





(26 Februari 2011)



Jumat, 18 Februari 2011

sssttt, dengarkan hujan…

hujan pecah di atap rumah
menunggu entah.

sssttt…
dengarkan ia mengetuk jendela
satu-satu dalam irama merdu
menghapus jelaga
pada kelabu rambutmu.

hujan berteriak di beranda
mengirim luka.

sssttt…
dengarkan ia membakar marah
diam-diam dalam pejam
menghitung lelah
pada matamu menghitam



(11 Februari 2011)


enyah !

pagi yang salah
siang yang marah
malam yang entah

sumpah,
aku ingin kau enyah
bawa bibirmu yang basah

sebab airmata terlalu sering tumpah
oleh lidah dan langkah,
yang enggan berubah.



(10 Februari 2011)

tentang cinta yang berbeda

pada sebuah jalan sunyi, aku melangkah kaki. sendiri. tanpa peduli kanan-kiri. hingga sepasang kaki ini melewati kompleks pertokoan yang masih saja ramai. meski ini sudah dini hari. sebentar lagi pasti terbit mentari di ujung langit sana. orang-orang sedang sibuk mempersiapkan pesta rupanya. sebuah pesta hura-hura di mataku. sebuah pesta cinta katamu.

ya, kau dan teman-temanmu sedang sibuk dalam duniamu. demi sebuah pesta merah jambu. demi sebuah pesta cinta bersama kekasihmu. demi sebuah pesta semalam dengan cumbu-rayu sebagai menu utama. hingga kau lupa dengan orang-orang di sekitarmu seolah dunia ini hanya milik kalian saja. hingga kau lupa bila ada yang berduka, sedang kau sibuk hura-hura. hingga kau lupa makna menjadi manusia.

kau bilang ini adalah perayaan cinta, yang datang hanya setahun sekali saja. kau bilang ini masa muda, yang pantas dinikmati dengan hura-hura dan pesta pora. hmmm, memang benar kau lupa makna dewasa. lupa makna menjadi manusia. sebab cinta tidak hanya dirayakan setahun sekali saja, bila kau memang paham makna dewasa. sebab cinta tidak hanya dirayakan berdua saja, bila kau memang paham makna manusia.

maaf, kau tak perlu mengundangku hadir dalam pestamu. maaf, kau tak perlu mengirim puluhan tangkai mawar ke beranda rumahku. maaf, kau tak perlu mengirim sekotak coklat ke depan hidungku. maaf, sebab aku tak merayakan cinta sepertimu. maaf, sebab aku tak percaya cinta yang tersimpan dalam kepalamu. sebab cinta yang tersimpan dalam kepalaku adalah cinta yang berbeda.

kau tak perlu bertanya atau berbisik-bisik di belakang sana, tentang aku yang betah berjalan sendiri ke mana saja. kau tak perlu ragu tentang cinta yang kupunya. sebab aku pun masih manusia. sebab ini tentang cinta yang berbeda, yang tak pernah bisa kau pahami dengan logika biasa.



(9 Februari 2011)

Sabtu, 05 Februari 2011

perempuan bermulut belati yang datang ke rumahku pagi-pagi

pada sebuah pagi buta, seorang perempuan datang di beranda. mengetuk pintu rumahku, yang biru. perempuan cantik dengan mulut belati. telah datang pagi-pagi. memaki tanpa henti bahwa aku telah merebut lelaki, sang pujaan hati.

SORRY, kataku dengan nada tinggi. siapa yang tidak akan emosi bila mendapat hantaran sepiring maki pagi-pagi. bukan aku yang merebut itu lelaki. sebab aku tidak pernah memberi hati apalagi janji pada itu lelaki. ia datang sendiri tanpa permisi.

kau bilang lelaki itu menyimpanku dalam benaknya. lantas itu salah siapa? kau bilang itu salahku. sebab aku pernah melintas di beranda hatinya. dan bayanganku tertinggal di dalamnya. lantas itu salah siapa? tanya saja pada udara, itu salah siapa.

SORRY, kali ini tidak dengan nada tinggi. aku tidak tertarik pada itu lelaki. apalagi menjadi penghuni benaknya. atau simpanannya. sebab aku bukan siapa-siapa di antara kalian berdua. bila kau masih bertanya itu salah siapa? tanya saja pada udara. mungkin saja ia punya jawabannya.

kau bilang kalian akan menikah bulan depan. dan memintaku enyah dari pandangan kalian. agar bayanganku tidak lagi mengganggu benak lelakimu. sebab ia selalu membandingkanmu dengan diriku. sebab di mata lelakimu, aku selalu lebih baik dari dirimu. aku terbahak mendengar kata-katamu, lantas mengapa kau masih saja mau menikah dengannya? tanyaku, yang kau jawab dengan bisu.

SORRY
, kataku terakhir kali. aku bukan benda, yang bisa kau pindah-pindah. pun bukan sampah, yang bisa kau minta enyah demi sebuah pesta nikah. aku manusia, yang punya rasa dan bebas melangkah ke mana saja, suka-suka. bila kau tidak suka, lebih baik kau yang pergi. dan bawa saja lelakimu dengan rantai anjing, yang tersembunyi di balik kuku-kuku tajammu.

aku berlalu dari hadapanmu. sebab tidak ada lagi yang perlu dibicarakan denganmu, perempuan bermulut belati. aku berlalu dan menutup kembali pintu rumahku, yang biru.



(5 Februari 2011)

padamu yang tuba

pada ludahmu yang tuba
kau mengeja cinta dengan seksama

pada airmatamu yang tuba
kau meminta cinta dengan segala

padamu yang tuba
kau mengharap cinta datang segera

dan aku harus menelan segala tuba,
yang kau antar di depan mata
entah untuk siapa

kau atau ibumu



(31 Januari 2011)

lingkaran

pada perjalanan lalu, aku berjalan pada sebuah jalur melingkar. pada sebuah lingkaran. dan pada setiap lingkaran itu langkah-langkah nafas menjelma nyawa. aku harus terus berjalan, meski kadang kerikil dan batu mencumbu ujung kaki. aku harus terus berjalan, meski kadang beling dan duri menciumi telapak kaki. sebab aku harus menuntaskan perjalananku. mencari ujung lingkaran, yang tak pernah kutemu.

perjalanan hari ini, aku masih saja mencari ujung lingkaran di ujung kaki. kerikil dan batu masih saja setia mencumbu. pun beling dan duri masih gemar menciumi. aku harus tetap berjalan sembari menahan nyeri yang setia. meski terkadang sungai kecil mengalir diam ketika malam menyapa. sering aku bertanya pada kerikil dan batu. pun bertanya pada beling dan duri, mengapa kalian begitu setia mengikuti langkah-langkah kakiku? menunggu sia-sia. tanya tanpa jawab. hingga sebuah suara menyapa dalam gelap, tak perlu mengeluh sebab mereka adalah bagian perjalananmu. bila kau ingin mereka pergi dari jalur perjalananmu, kau harus mencuci darahmu dengan air yang kau temu pada perjalanan ini.

perjalanan hari ini, aku bertemu dengan air di telaga matamu. jernih, sebab ia bersumber dari hati yang bening. setiap pagi, aku meneguk air di telaga matamu. air yang mungkin bisa mencuci darahku. setiap malam, aku membasuh tubuh dengan air di telaga matamu. air yang mungkin bisa menghapus segala nyeriku. hingga suatu pagi, tak lagi kurasa nyeri, meski kerikil dan batu kadang masih teronggok di jalur perjalananku. pun beling dan duri yang masih setia menemani langkah-langkah kaki. sebab air di telaga matamu lebih menenangkan dari segala kerikil dan batu. pun segala beling dan duri.

perjalanan hari ini, biarkan aku tinggal dalam air di telaga matamu. biarlah air di telaga itu mencuci darah di sekujur tubuhku. sebab air di telagamu adalah penghapus nyeri dalam perjalananku. sembari berharap tak akan lagi kutemu segala batu dan kerikil pada perjalanan esok pagi. sembari berharap tak akan lagi kutemu segala beling dan duri pada lingkaran yang lain. pada lingkaran yang akan datang.

perjalanan hari ini, biarkan aku tinggal dalam air di telagamu. sebab di dalamnya segala nyeriku sirna. sebab di mataku, air itu selalu lebih kental dibanding darah. biarkan tubuhku tenggelam dalam air telagamu. pun jangan pernah memintaku pulang pada jejak darahku.




(29 Januari 2011)

jejak luka

(1)
pedang lidahmu
masih saja terus mengunyah
hati yang telah meremah,
menggenang darah.

(2)
oh, inikah buah cinta
yang pernah kau pinta
ketika senja bergantung
di ujung rambut kita?

(3)
biarkan langkah-langkah ini
terus menemu sunyi,
memunguti damai
pada kuncup-kuncup melati.



(28 Januari 2011)

Kamis, 27 Januari 2011

I Love The Way You Lie

“Mulai sekarang kita berteman saja,” itu katamu dalam sebuah pesan singkat. Sebuah pesan singkat yang serupa listrik menyengat sekujur tubuh dan melucuti seluruh tulang di dalamnya. Aku tidak ingin menjawab pesan singkatmu dengan pesan singkat lain. Aku ingin mendengar suaramu menjelaskan semua. Aku meneleponmu dan bertanya mengapa, dan kau jawab, “Tidak ada apa-apa. Aku lebih nyaman kita berteman. Lagipula kita berbeda dalam segala hal. Kamu calon doktor, sedang aku hanya sarjana biasa, yang tidak punya pekerjaan mapan pula.”

Satu alasan yang sepertinya dibuat-buat. Sebab selama ini aku tidak pernah menjadikan perbedaan di antara kita sebagai perbedaan. Sebab selama ini aku menjadikan segala perbedaan itu jalan menuju sebuah tujuan yang sama, membangun impian kita. Sayangnya, impian itu harus buyar siang ini. Aku harus terbangun dari mimpi panjangku selama ini. Mimpi panjang selama tiga tahun tanpa akhir yang manis.

Siang ini, tiba-tiba aku merasa ada lubang besar menganga di ruang hati. Lubang besar, gelap, dan hitam. Mimpi buruk siang ini tidak pernah kupikir akan teralami ketika kau mengajakku berkunjung ke rumahmu dan berkenalan dengan seluruh anggota keluargamu. Dua tahun lalu.

Ya, dua tahun lalu. Pertemuan itu. Kunjungan itu. Seharusnya aku percaya pada indera keenamku waktu itu. Ketika Ibumu tidak menyambut hangat uluran tanganku. Ketika Ibumu yang lain berbicara dengan berbisik di ruang makan, yang berdekatan dengan ruang tamu. Ketika seluruh Ibumu menanyakan asal-usulku. Seharusnya aku percaya pada indera keenamku waktu itu. Keluargamu adalah keturunan darah biru, yang masih memperhitungkan bibit, bebet, dan bobot dalam memilih menantu. Meski selama ini aku tidak pernah membeda-bedakan orang dari bungkusnya, tetapi aku tidak bisa membuat orang lain bersikap sama padaku. Aku berbeda, minimal di matamu. Aku berbeda dalam pandangan keluargamu.

*****

“Apa beda cinta dan cocok?” itu pertanyaan yang kau ajukan lewat surat elektronik. Setelah perbincangan singkat siang itu. Dan, kau jawab sendiri pertanyaanmu dengan penjelasan seluas-luasnya, penjelasan yang tidak kumengerti maksudnya. Sebab aku memang tidak ingin mencerna setiap kalimat dalam surat elektronik itu. Sebab aku sudah tahu simpulan akhirnya, KITA PISAH. Aku sudah cukup paham tanpa harus ada penjelasan panjang. Aku tidak akan bertanya apapun lagi atau berjuang untuk apapun. Sebab aku tahu di mana bibit, bebet, dan bobotku.

Dan, kabar sebulan lalu yang kuterima dari salah seorang Ibumu, amat tidak mengejutkan buatku. Kabar bahwa kau akan menikah tahun ini dengan perempuan ayu pilihan salah satu Ibumu. Perempuan yang pernah dekat denganmu dulu, sebelum kau menebar mimpi di ruang benakku. Perempuan yang lebih tekun mendekat padamu.

Berita yang amat tidak mengejutkan buatku. Dan, salah satu Ibumu memintaku untuk menghubungimu untuk mengucapkan selamat padamu. Baiklah, kalau itu yang diminta. Aku diminta mundur. Sepenuhnya mundur. Aku mundur dengan besar hati. Sebab aku memenuhi permintaan salah satu Ibumu untuk mengucapkan selamat atas rencana pernikahanmu tahun ini.

Dan, salah satu Ibumu bercerita padaku tentang ketekunan perempuan itu mendekatimu kembali. Menceritakan padaku tentang rasa kasihannya pada perempuan itu, yang terlalu sering berkunjung ke rumahmu. Juga keluarga perempuan itu yang sudah menanyakan kesungguhan hubungan kalian selama ini. Salah satu Ibumu pun mencoba menasihatiku untuk bersabar. Mungkin belum jodoh, begitu kata Beliau. Aku mendengar nasihat itu dengan baik. Minimal aku ingin terlihat sopan kali ini. Meski sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa lelaki yang kau panggil anak itu pun pernah menawarkan mimpi yang sama padaku. Berjanji akan datang ke rumah dan melamarku. Sayangnya, aku berbeda. Aku tidak perlu belas kasihan untuk janji yang diingkari itu.

*****

Pagi ini, aku terbangun dari tidur. Dan menemukan sebuah pesan singkat dari salah satu Ibumu. Mengabarkan ini dan itu seperti biasa. Aku masih membalasnya dengan sopan pagi ini. Entah esok atau lusa pagi.

Pagi ini, aku kembali melangkah di atas jalan kerikil itu. Tanpa alas kaki. Aku sedang menikmati segala sakit dan nyeri akibat terlalu banyak bermimpi. Sembari bergumam mengingat wejangan beberapa guruku dahulu, di negeri ini, perempuan tidak boleh sekolah terlalu tinggi. Meski negeri ini sudah menjunjung tinggi emansipasi. Lihat saja, masih ada lelaki yang melarikan diri kan? Kalau kau melanggar tabu, maka kau harus siap hidup dalam penjaramu sendiri.

Ya, sekarang aku sedang membangun penjaraku sendiri. Menjauhkan diri dari segala basa-basi. Dan, tolonglah mengerti bahwa aku memang lebih senang sendiri. Bebas melangkah kaki. Bebas tidak bangun pagi. Bebas tidak mandi pagi. Dan, tolonglah mengerti bahwa aku lebih nyaman sendiri. Dan, tolonglah mengerti dengan berhenti bertanya kapan aku akan mempersunting lelaki.

*****

Pagi ini, bersama secangkir cappuccino dan sebatang rokok putih, aku menikmati setiap kebohongan yang pernah kau ucapkan padaku. Kebohongan yang masih tersimpan rapi dalam ruang benakku. Kebohongan selama tiga tahun tanpa ujung serupa kepulan asap rokok yang menghilang entah.

Pagi ini, aku membuang segala kebohonganmu dalam setiap hembusan asap rokokku. Dan berharap semoga ia benar-benar menghilang dari seluruh ruang benakku. Kebohongan manis yang aku suka sebab ia telah mengajarku menjadi dewasa.





(16 Januari 2011)