Sabtu, 05 Maret 2011

Janji Tara

Namaku Tara. Aku gemar sekali duduk di balik jendela sembari memandang langit di atas sana. Bila siang tiba, aku gemar sekali menggambar awan-awan putih dengan aneka rupa. Dan bila malam tiba, aku gemar berbicara pada bulan dan bintang di atas sana. Sebab aku tidak punya teman yang bisa menyimpan rahasia dan cerita. Aku selalu merasa nyaman duduk di balik jendela. Bahkan ketika musim hujan tiba. Memandangi tetes-tetes air yang menempel di kaca jendela selalu menyenangkan. Meski kadang-kadang aku juga gemar bermain di bawah hujan, bila Ibu tidak sedang berada di rumah. Dan Ibu memang sering tidak ada di rumah. Sebab Ibuku sedang sibuk bekerja di luar sana. Ya, Ibuku memang harus bekerja demi menghidupiku. Sebab Ayahku entah berada di mana sejak aku dilahirkan ke dunia.

“Ayahmu entah ada di mana sekarang. Tolong jangan tanya-tanya soal Ayahmu pada Ibumu ini kalau Tara memang sayang pada Ibu ya?” pinta Ibu suatu hari sembari memelukku. Ketika mulut kecilku bertanya tentang Ayah sepulang dari sekolah. Sebab setiap hari kulihat teman-teman sekelasku selalu dijemput ayah-ayah mereka. Teman-teman selalu mendapat pelukan dari ayah-ayah mereka. Pun pujian dan ciuman jika hari itu mereka telah melakukan hal yang hebat di sekolah.

Malamnya, setelah siang itu, kudengar Ibu menangis di kamarnya. Tangisan lirih dan menyayat, tangisan yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Sebab selama ini memang tidak pernah kulihat Ibu meneteskan airmata di depanku. Masih terngiang di telingaku kata-kata Ibu tadi siang. Tolong jangan tanya-tanya soal Ayahmu pada Ibumu ini kalau Tara memang sayang pada Ibu ya? Aku berlalu dari depan kamar Ibu menuju ke kamarku. Duduk meringkuk di bawah jendela dengan memeluk lutut. Aku menangis tanpa suara hingga tertidur dalam posisi yang sama, duduk memeluk lutut. Usiaku baru 10 tahun waktu itu.

*****

Hari ini, usiaku genap 30 tahun. Ibu sedang duduk merajut di ruang tengah. Ia tidak lagi harus bekerja keras untuk menghidupiku. Kini, giliranku untuk mengambil alih tanggung jawab menghidupi keluarga ini, aku dan Ibuku. Ya, sampai hari ini, kami masih tetap hidup berdua di sebuah rumah kecil di pinggir kota. Pekerjaanku sebagai editor di sebuah majalah mingguan mode dan perempuan memang tidak akan menghasilkan banyak uang, tetapi cukuplah untuk tidak membuat kami berdua kelaparan setiap hari selama sebulan, sebelum uang gaji bulan depan mampir ke dalam dompetku.

Ya, aku telah berusia 30 tahun hari ini. Selama itu pula hidup berdua hanya dengan Ibu, tanpa mengenal siapa Ayahku dan bagaimana wajah Ayahku. Hidup berdua dengan Ibu membuatku tumbuh menjadi perempuan yang tidak cengeng dalam menghadapi hidup. Ibu telah berhasil untuk mendidikku dengan tegas, menjadi Ibu sekaligus Ayah memang tidak pernah mudah untuknya.

Pernah seorang perempuan tetangga sebelah bertanya tentang Ayah pada Ibu dan Ibu hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu sembari berlalu. Aku masih menyimpan dalam ruang ingatanku, bagaimana perempuan-perempuan tetanggaku itu begitu nyinyir menanyakan lelaki yang seharusnya berada di rumah dan melengkapi sebuah keluarga. Dan, memang lelaki itu tidak pernah hadir di sana, lelaki yang seharusnya menjadi kepala keluarga, suami, dan ayah. Sayangnya, Ibu tidak pernah merasa terganggu oleh kenyinyiran perempuan-perempuan tuna kegiatan itu. Waktu itu, Ibuku sibuk bekerja untuk menghidupiku dan dirinya sendiri.

Ya, kebiasaan Ibu yang tidak banyak bicara itu menurun padaku. Aku termasuk perempuan yang tidak banyak bicara di mana saja. Semasa sekolah dan kuliah, aku tidak punya banyak teman. Hanya mereka yang mendapat julukan kutu buku dari teman-teman lain, yang betah menjadi temanku. Sekarang di kantor pun, aku tidak terlalu banyak bicara. Lagipula tujuanku datang ke kantor untuk bekerja, bukan untuk bicara, itu menjadi prinsipku. Dan, prinsip itu yang membuatku tidak memiliki teman dekat di kantor. Bukan sebuah masalah besar untukku.

Hingga suatu pagi, aku mendapat kiriman bunga di atas meja kerjaku. Sebuah pot mungil yang ditumbuhi bunga krisan putih bertengger di sebelah monitor komputer kerjaku. Ada sebuah kartu mungil terselip di antara rimbun bunga-bunga putih itu bertuliskan kalimat singkat, semoga senyummu selalu secantik krisan ini. Tidak ada nama pengirim. Aku menengok kiri-kanan dari dalam bilik kerjaku. Kantor masih sepi, belum ada orang yang bisa ditanya perihal pot bunga krisan putih ini.

Setelah menyingkirkan pot bunga krisan putih dari sisi monitor komputer, aku mulai bersiap untuk bekerja. Ada begitu banyak rubrik dan artikel yang menunggu diedit hari ini, sebab mereka sudah harus masuk ke ruang cetak besok pagi. Sebentar kemudian, aku sudah tenggelam dalam pekerjaanku. Mencermati huruf, tanda baca, dan tata letak setiap rubrik dan artikel.

Diam-diam ada sepasang mata memperhatikan Tara bekerja dari sudut ruangan.

Pagi ini, Tara sarapan dengan buru-buru. Ibu sedang menyiapkan bekal makan siang untuknya di seberang meja. Tara harus segera ke bandara sebelum tertinggal pesawat yang akan membawanya ke Jakarta. Ya, seminggu ke depan, Tara mendapat tugas untuk mewakili kantor mengikuti pelatihan peningkatan mutu perusahaan.

Setelah menyelesaikan sarapan, Tara berpamitan pada Ibu. Sebuah taksi sudah menunggu di depan rumah dan siap mengantarnya ke bandara.

“Hati-hati di Jakarta. Jaga diri baik-baik dan jangan sampai terlambat makan,” begitu pesan Ibu sebelum Tara menutup pintu pagar dari luar.

“Iya,” jawab Tara pendek. Sopir taksi membantu memasukkan koper Tara ke dalam bagasi mobil. Tara sudah duduk manis di jok belakang, ketika sopir itu baru kembali duduk di jok depan.

“Selamat pagi, Ibu. Hendak diantar ke mana?” tanya sopir itu dengan sopan.

“Ke bandara, Pak.”

Dan, taksi itu pun segera melesat di jalan raya. Menuju bandara.

Satu jam kemudian, Tara sudah menginjakkan kaki di Jakarta. Seorang sopir taksi lain mengantar ke alamat yang disodorkannya. Hingga akhirnya, Tara sampai di depan sebuah gedung, tempat sebuah media cetak nasional berkantor.

“Terima kasih, Pak,” ucap Tara seraya mengangsurkan uang pada sopir sebelum ia keluar dari pintu belakang taksi.

Tara berjalan memasuki gedung dan menemui seorang resepsionis yang tersenyum ramah padanya. Tara menyerahkan selembar amplop berisi surat penugasan dari kantornya pada resepsionis itu. Sebentar kemudian, resepsionis itu menelepon setelah membaca surat dari Tara dan meminta Tara menunggu di lobby kantor untuk sesaat.

Tidak lama kemudian, seorang lelaki setengah baya datang menghampiri Tara yang sedang menunggu. Dia berbasa-basi sebentar sebelum mengajak Tara naik ke ruangan di lantai lima gedung ini.

*****

Hampir seminggu Tara berada di Jakarta. Sebab besok ia sudah harus kembali ke Yogyakarta, kota tempatnya lahir dan dibesarkan. Hari terakhir di Jakarta, ia menghabiskan waktu di kafetaria gedung kantor sebab hari ini memang hari bebas tanpa kerja. Tara menghadapi secangkir kopi dan sepotong croissant di mejanya, sedang matanya menyapu seluruh ruangan. Sepi. Masih terlalu pagi untuk makan siang, meski jam dinding sudah menunjuk angka 11.30. Belum ada pegawai kantor yang turun untuk makan siang. Hanya ada beberapa orang luar yang tampak sedang melakukan meeting-meeting kecil di beberapa sudut ruangan.

Tara melangkah menuju buffet berniat mengambil sepiring salad buah di sana. Baru beberapa langkah meninggalkan mejanya, Tara menabrak seorang lelaki setengah baya. Beberapa kertas kerja di tangannya jatuh berantakan di atas lantai.

“Maaf, Pak. Saya tidak melihat Bapak melintas tadi.” Tara meminta maaf sembari membantu Bapak itu membenahi kertas kerja yang berantakan.

“Tidak apa-apa, Mbak. Saya juga ceroboh tadi.” Bapak itu tersenyum pada Tara.

Wajah lelaki itu masih terlihat menarik, meski keriput sudah menggarisi beberapa bagian wajahnya. Tara masih membantu membereskan beberapa lembar kertas terakhir di atas lantai sampai jemari tangannya menyentuh anyaman simpul tali tua. Simpul tali yang digunakan sebagai tali pengikat flashdisk milik Bapak setengah baya di depan Tara. Warnanya sudah kusam, tetapi Tara mengenali simpul tali itu. Ya, simpul tali itu seperti buatan Ibunya. Ibu selalu memiliki ciri khas dalam membuat simpul tali. Sebab simpul-simpul tali itulah yang menghidupi Tara hingga dewasa dan simpul tali seperti itu hanya dibuat Ibu untuknya.

“Maaf, Bapak. Dari mana Bapak mendapatkan simpul tali seperti itu?” tanya Tara penasaran.

“Ooo, itu dari seorang teman lama saya. Dia menghilang, ketika saya menikah dengan istri saya. Kejadiannya sudah lewat dari 30 tahun lalu.” lelaki itu menjawab pertanyaan Tara. Matanya menerawang. Raut mukanya mendadak terlihat sedih.

“Maaf, saya tidak ingin mengungkit masa lalu Bapak.” Tara berdiri setelah selesai membantu membereskan kertas-kertas di lantai. Dan, Tara memang selalu tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.

“Oh, tidak mengapa. Terima kasih sudah membantu saya.” Bapak itu berusaha mengubah ekspresi sedih di wajahnya.

Tara mengangguk dan tersenyum. Semenit kemudian, ia kembali melangkah menuju buffet. Kembali pada niat semula mengambil sepiring salad buah di sana. Meski di kepalanya masih tersimpan tanda tanya besar tentang simpul tali itu.

Tara kembali ke mejanya, menikmati salad dan croissant dengan bergegas. Menghabiskan kopi di cangkir dengan segera. Pergi ke kasir dan membayar. Sebab ia sudah tidak merasa nyaman duduk berlama-lama di kafetaria. Lelaki setengah baya yang ditabraknya tadi memandanginya dengan curiga dari meja sebelah.

Malam terakhir di Jakarta, Tara mengikuti evaluasi kerja di lantai lima. Setelahnya, acara makan malam bersama di hall gedung ini. Dan, lelaki yang ditabraknya tadi siang ada di antara para undangan. Menghampirinya dan mengajukan beberapa pertanyaan pada Tara.

“Maaf, Mbak. Apakah Mbak juga dikirim sebagai peserta pelatihan di sini?” tanya lelaki itu. Pertanyaan pertama yang belum mengejutkan bagi Tara.

“Iya, Pak.” Jawab Tara singkat. Ia tidak nyaman dipandangi lelaki itu. Pandangan nakal dari seorang lelaki setengah baya.

“Maaf, kalau boleh tahu siapa nama Mbak?” tanya lelaki itu lagi.

“Tara. Memang ada masalah dengan saya, Pak?” tanya Tara balik pada lelaki itu. Ditentangnya pandangan nakal lelaki di depannya.

“Tidak. Wajah Mbak mengingatkan pada wajah teman saya di Yogyakarta semasa kuliah dulu. Namanya Saraswati. Dia cantik dan pandai seperti Mbak. Dia juga yang membuatkan simpul tali yang tadi siang Mbak tanyakan.” Lelaki itu menjelaskan agak panjang. Lelaki itu tersenyum nakal pada Tara.

Deg. Jantung Tara berdetak lebih kencang setelah mendengar penjelasan lelaki itu. Saraswati adalah nama Ibunya. Saraswati, si penyimpul tali dari Yogyakarta. Inikah lelaki yang pernah diceritakan Ibunya setahun lalu? Lelaki biadab yang telah mencampur obat tidur pada minuman Ibunya dan memperkosanya. Lelaki biadab yang meninggalkan Ibunya dan benih dalam kandungannya demi menikahi perempuan yang lebih kaya untuk sebuah pekerjaan dan jabatan hebat di sebuah departemen hebat di negeri ini. Tubuh Tara serasa terpaku di lantai. Dingin mengalir di sekujur tubuhnya.

“Dan, Anda pastilah Rahmat Malik. Orang yang telah memperkosa Saraswati si penyimpul tali dan meninggalkannya demi perempuan lain yang bisa memberi Anda uang dan jabatan.” Tara mengatakan dengan nada amat tegas. Ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya.

“Jadi, Mbak ini anak dari Saraswati?” lelaki itu yang selanjutnya terkejut.

“Iya, saya adalah anak Saraswati. Dan secara biologis, Anda adalah ayah saya. Sayangnya, saya tidak pernah meminta pada Tuhan untuk punya seorang ayah yang biadab seperti Anda.” Tara berusaha meredam emosinya.

Ya, sejak setahun lalu ketika Ibu bercerita siapa Ayahnya. Tara sudah tidak lagi punya keinginan mencari Ayah. Sebab lelaki itu yang telah merusak masa depan Ibu. Membuat Ibu diusir dari rumah orangtuanya. Membuat Ibu harus menyendiri ke Yogyakarta dan memulai hidup baru demi janin dalam kandungannya. Demi dirinya bisa hadir ke dunia. Sebab Ibu menolak untuk melakukan aborsi seperti permintaan kedua orangtuanya.

“Maafkan saya, Tara. Saya tidak bermaksud meninggalkan Saraswati waktu itu….” Lelaki itu belum menyelesaikan penjelasannya ketika Tara memotong kata-katanya.

“Tidak perlu minta maaf pada saya. Minta maaflah pada Ibu saya. Itu pun bila Ibu saya masih punya maaf untuk Anda. Lagipula saya juga tidak butuh seorang ayah. Sebab bagi saya, ayah selalu memberi air mata pada saya dan Ibu saya. Sepanjang usia saya, saya memang tidak akan memerlukan Anda sebagai ayah saya.”

“Tara, saya sudah menerima hukuman Tuhan. Perempuan yang saya nikahi memang bisa memberi saya uang dan jabatan, tetapi ia tidak bisa memberikan saya keturunan. Tidak bisa memberikan saya seorang anak.”

“Itu urusan Anda. Bukan urusan saya.” Tara melangkah pergi. Langkahnya panjang-panjang dan cepat. Ia keluar dari hall dan naik ke lantai tujuh. Mengemasi barang-barangnya dan bergegas menuju bandara.

Sesampai di bandara, Tara menukarkan tiket yang dimilikinya dengan tiket penerbangan terakhir malam ini. Ya, Tara ingin segera kembali ke Yogyakarta. Tara ingin segera pulang ke rumah. Tara ingin segera kembali ke dalam kamarnya. Kembali ke dalam dunia kecilnya yang nyaman.

Perjalanan satu jam menuju Yogyakarta malam ini terasa begitu amat lama. Pandangan mata itu hampa. Tidak ada lagi cahaya seperti biasa. Cahaya yang bisa membuat Radityo rajin mengiriminya bunga setiap pagi selama setahun ini. Sayangnya, bunga-bunga itu tidak pernah bisa membuat Tara membuka pintu hatinya untuk Radityo. Sebab Tara tidak ingin mengulangi cerita hidup Ibunya. Sebab Tara tidak ingin memberi luka pada anak-anaknya kelak. Sebab Tara ingin menjalani lingkaran hidupnya sendiri, tanpa lelaki.







─Februari 2011─

Tidak ada komentar: