Selasa, 24 November 2009

sandiwara yang tak pernah usai

: untuk pedagang gula-gula



dalam diamku, telah ku jenguk satu demi satu ruang dalam jiwa-jiwamu. ternyata benar, tak pernah salah tanda-tandamu ku maknai. tak terlewat sebuah titik. tak terlewat sebaris garis. tak terlewat sebentuk aksara. segala jujur termuntahkan dalam dinding-dinding hatimu. tinggal menunggu waktu berbicara. tinggal menunggu kejujuranmu atas aksara-aksara tereja dari mulutmu.

sayang, kejujuran itu tak pernah terucap dari bibirmu. bibir yang selalu kau lumasi madu. bibir yang selalu kau lapisi gula-gula. bibir yang selalu fasih mengucapkan maaf, meski tangan dan kaki tetap melakukan salah yang sama. bibir yang selalu fasih mengucapkan maaf, meski hati tetap saja dipenuhi belatung-belatung gemuk.

sayang, kau tak perlu kau minta maaf. bila maafmu hanya semu. maaf yang bersemir madu dan manis gula-gula itu. maafmu palsu, serupa aspartam dan sakarin meninggalkan pahit di ujung lidah. pun bibir bersemir madu dan manis gula-gulamu itu meninggalkan pahit di ujung hati yang basah.

bagiku, kau hebat dalam membawa peranmu di muka bumi ini. bila kau tetap ingin berpura-pura, silakan saja. asah bakatmu sebaik mungkin, menjadi orang suci atau apapun namanya. aku tak akan pernah peduli. aku memilih pergi, karena aku telah benar-benar muak melihat sandiwaramu.




(24 November 2009)

Tidak ada komentar: