hingar-bingar segala sudut kota. warna-warni lampu di mana-mana. riuh terompet memekak telinga. ada pestapora rupanya. kata orang-orang, tahun baru telah tiba. sedang bagiku, tetaplah sama. sebab orang-orang itu masih terlihat sama di mataku. tak ada yang berubah dari tahun lalu. mungkin dengan tambahan uban di kepala. atau garis kerutan di lingkaran mata jadi pembeda.
biarlah, mereka berpesta dengan sukacita. sebab malam ini akan berlalu. seperti malam-malam lain, jarum jam tetap menunjuk angka-angka yang sama. meski kalender lama telah berganti baru, di sudut rumah yang masih sama dengan tahun lalu. dan memang hanya kalender yang berganti baru di rumah, yang masih saja biru.
biarlah, mereka berpesta dengan sukacita. sedang aku memilih menjalani malam dalam diam. seperti malam-malam lain, menyiapkan langkah untuk esok pagi. merajut mimpi yang tak kunjung basi. tentang rumah berpagar putih dengan rumput hijau dan ayunan di halaman depan. tentang rumah merah jambu, tanpa setitik biru di dalamnya.
(31 Desember 2010)
Hidup itu pilihan, bergantung pada isi kepala dan hati Anda dalam menjalaninya (Ririe Rengganis).
Jumat, 31 Desember 2010
di ladang sunyi
pernah suatu hari seorang petani
datang menebar benih-benih mimpi
di ladang milikku, yang telah lama sunyi.
dengan tekun ia kunjungi,
menyirami serupa embun di embun kala pagi
menyinari serupa mentari di siang hari
menghembus sejuk serupa angin senja hari
dengan tekun ia kunjungi,
hingga pada suatu pagi ia lupa diri
dan menebar garam di sebuah lubang pori,
yang pernah tertusuk ujung belati.
dan tanpa disadari,
bunga-bunga mimpi mulai mati.
satu demi satu, setiap pagi.
dan ladang milikku, kembali sunyi.
(26 Desember 2010)
datang menebar benih-benih mimpi
di ladang milikku, yang telah lama sunyi.
dengan tekun ia kunjungi,
menyirami serupa embun di embun kala pagi
menyinari serupa mentari di siang hari
menghembus sejuk serupa angin senja hari
dengan tekun ia kunjungi,
hingga pada suatu pagi ia lupa diri
dan menebar garam di sebuah lubang pori,
yang pernah tertusuk ujung belati.
dan tanpa disadari,
bunga-bunga mimpi mulai mati.
satu demi satu, setiap pagi.
dan ladang milikku, kembali sunyi.
(26 Desember 2010)
-senyum pembunuh-
bila kau pikir aku lemah,
itu pikiran yang salah.
teramat salah.
bila kau pikir aku dungu,
itu pikiran yang keliru.
teramat keliru.
sebab pada senyumku,
aku pun sanggup
menjelma pembunuhmu.
(24 Desember 2010)
itu pikiran yang salah.
teramat salah.
bila kau pikir aku dungu,
itu pikiran yang keliru.
teramat keliru.
sebab pada senyumku,
aku pun sanggup
menjelma pembunuhmu.
(24 Desember 2010)
-malin kundang-
menghapus lagi,
sebuah nama
dari sederet nama.
maafkan aku,
tak lagi menyebut namamu
pada puja malamku.
sebab di mataku,
kau adalah ular
pemakan rahim ibumu.
(24 Desember 2010)
sebuah nama
dari sederet nama.
maafkan aku,
tak lagi menyebut namamu
pada puja malamku.
sebab di mataku,
kau adalah ular
pemakan rahim ibumu.
(24 Desember 2010)
sepiring maki
lagi
dan lagi
terjadi.
pagi ini,
sepiring maki
singgah di beranda.
ah, biar saja …
sebab setiap hari, lima kali sehari
sepiring maki sebagai makanan hati.
menu wajib, tidak pernah diganti.
itu sebab hanya maki,
yang selalu terlontar
dari mulut-mulut berbisa.
(24 Desember 2010)
dan lagi
terjadi.
pagi ini,
sepiring maki
singgah di beranda.
ah, biar saja …
sebab setiap hari, lima kali sehari
sepiring maki sebagai makanan hati.
menu wajib, tidak pernah diganti.
itu sebab hanya maki,
yang selalu terlontar
dari mulut-mulut berbisa.
(24 Desember 2010)
dalam langkah-langkah kecil kakiku
hari ini, seluruh negeri sedang berpuisi. puisi-puisi tentang ibu sedang berlari di seluruh negeri. di layar televisi. di koran pagi. di siaran radio. di sepanjang jalan. di baliho-baliho iklan. juga di catatan-catatan facebook. ya, seluruh negeri sedang mempestakan ibu. mengenang jasa-jasa ibu. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi.
hari ini, aku melihat seluruh negeri sedang merayakan melankoli. ya, hanya melihat. sebab aku tak ingin terlibat. apalagi hanya untuk hari ini. mengenang jasa-jasa ibu hari ini. sedang esok melupakannya. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi hari ini. sedang esok menyumpahinya. mempestakan ibu hari ini. sedang esok meninggalkannya dalam sendiri. maaf, aku tidak ingin terbawa melankoli hari ini.
hari ini, aku memilih jauh dari pelukan ibu. melangkahkan kaki demi membangun mimpi. mimpi untuk memberi senyum pada ibu. memenuhi segala doa ibu dalam setiap nafasnya. membayar semua lelah karena mengandungku, meski aku tidak pernah mampu. membayar semua sakit karena melahirkanku, meski aku tidak akan sanggup. membayar semua tetes darah dan keringat karena membesarkanku, meski aku tidak pernah bisa melunasi.
hari ini, aku memilih berjalan dalam sepi. membangun mimpi untuk memberi senyum pada ibu, meski dengan caraku sendiri. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mulut meludahi punggungku. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mata menatapku hina. sebab aku terlahir sebagai perempuan di negeri ini. biarlah, sebab aku telah begitu tuli atas segala caci-maki atau sanjung puji. sebab hanya doa ibu yang terdengar sampai di telinga hati. dan langkah-langkah kecil kakiku yang selalu mengamini doa ibu setiap hari.
(22 Desember 2010)
hari ini, aku melihat seluruh negeri sedang merayakan melankoli. ya, hanya melihat. sebab aku tak ingin terlibat. apalagi hanya untuk hari ini. mengenang jasa-jasa ibu hari ini. sedang esok melupakannya. mendoakan ibu dalam bait-bait puisi hari ini. sedang esok menyumpahinya. mempestakan ibu hari ini. sedang esok meninggalkannya dalam sendiri. maaf, aku tidak ingin terbawa melankoli hari ini.
hari ini, aku memilih jauh dari pelukan ibu. melangkahkan kaki demi membangun mimpi. mimpi untuk memberi senyum pada ibu. memenuhi segala doa ibu dalam setiap nafasnya. membayar semua lelah karena mengandungku, meski aku tidak pernah mampu. membayar semua sakit karena melahirkanku, meski aku tidak akan sanggup. membayar semua tetes darah dan keringat karena membesarkanku, meski aku tidak pernah bisa melunasi.
hari ini, aku memilih berjalan dalam sepi. membangun mimpi untuk memberi senyum pada ibu, meski dengan caraku sendiri. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mulut meludahi punggungku. membangun mimpi yang telah kupilih sendiri, meski banyak mata menatapku hina. sebab aku terlahir sebagai perempuan di negeri ini. biarlah, sebab aku telah begitu tuli atas segala caci-maki atau sanjung puji. sebab hanya doa ibu yang terdengar sampai di telinga hati. dan langkah-langkah kecil kakiku yang selalu mengamini doa ibu setiap hari.
(22 Desember 2010)
desember ketiga
roti tanpa ragi
tetes-tetes air suci
jadi doa untukku
dari tanganmu
(15 Desember 2010)
tetes-tetes air suci
jadi doa untukku
dari tanganmu
(15 Desember 2010)
pengantin mawar dan bunga ilalang
aku tak terlahir sebagai mawar,
berduri demi mencuri hatimu.
biarlah, sang mawar jadi pengantin
di jendela rumahmu.
sebab aku bangga terlahir
sebagai bunga ilalang,
yang selalu menari riang
bersama penghuni sabana
sebab aku bunga ilalang,
yang mengayun tenang
menebar spora cinta
bagi anak-anak semesta.
(11 Desember 2010)
berduri demi mencuri hatimu.
biarlah, sang mawar jadi pengantin
di jendela rumahmu.
sebab aku bangga terlahir
sebagai bunga ilalang,
yang selalu menari riang
bersama penghuni sabana
sebab aku bunga ilalang,
yang mengayun tenang
menebar spora cinta
bagi anak-anak semesta.
(11 Desember 2010)
waktu
(1)
melipat waktu
dalam lembar-lembar buku
sebagai jejak masa lalu.
(2)
biar saja terkubur
pada nisan-nisan batu
segala kisahmu.
(3)
di atasnya,
kuncup-kuncup bunga
menunggu mekar.
(8 Desember 2010)
melipat waktu
dalam lembar-lembar buku
sebagai jejak masa lalu.
(2)
biar saja terkubur
pada nisan-nisan batu
segala kisahmu.
(3)
di atasnya,
kuncup-kuncup bunga
menunggu mekar.
(8 Desember 2010)
pelajaran dari kupu-kupu
tak perlu mengejar waktu
sebab ia tak akan mampu kau kejar,
meski kau pelari hebat.
berjalan saja bersamanya
menikmati setiap langkah perjalanan
tanpa henti meski kau berdiri di persimpangan.
terus saja berjalan bersamanya
kelak kau akan bahagia bersamanya.
(7 Desember 2010)
sebab ia tak akan mampu kau kejar,
meski kau pelari hebat.
berjalan saja bersamanya
menikmati setiap langkah perjalanan
tanpa henti meski kau berdiri di persimpangan.
terus saja berjalan bersamanya
kelak kau akan bahagia bersamanya.
(7 Desember 2010)
Sebab Aku Masih Memiliki Impian, Meski Tanpamu
Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.
Ganang & Frida. Begitulah bunyi tulisan dengan tinta emas di atas sebuah kertas tebal berwarna merah marun. Sebuah undangan pernikahan. Baru saja sampai di tangan diantar seorang kurir tadi. Sedikit terkejut menerimanya, tetapi sudah ada pertanda sebelumnya. Beberapa pesan pendek memenuhi kotak pesan dalam telepon selularku seminggu lalu. Dari seorang perempuan bernama Frida. Perempuan yang akan dinikahi lelaki bernama Ganang. Lelaki yang pernah memberiku segenggam impian tentang membangun rumah harapan.
Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Setelah membaca undangan pernikahanmu. Bulan depan, tepat ketika aku harus memulai konsentrasi belajar di kampus biru. Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Sebab ia telah longsor bersama tetes-tetes airmata yang kian menderas dalam diam. Tanpa suara. Sebab ia telah dibongkar paksa tanpa pemberitahuan dari pemberinya.
***
Dingin masih menusuk tulang. Embun masih merangkai rayuan pada ujung-ujung daun di reranting pohon di depan kamar asrama. Tetangga kamar mungkin saja masih merangkai mimpi di peraduan, sedang aku masih terjaga di depan layar monitor. Ada banyak kertas yang harus dibereskan sebelum ayam jantan berkokok pagi ini. Tugas ini dan itu wajib diserahkan lengkap pada Ibu Dosen pagi ini. Tanpa alibi sedang patah hati.
Jemari tangan masih saja sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptop. Sementara mata masih sibuk mencari kata demi kata yang terselip di antara literatur-literatur bertumpuk di sisi lain meja. Setelah seluruh kata terangkai sempurna di atas kertas kerja, tiba saatnya untuk mengguyur tubuh. Mengguyur segala keluh tentang harapan yang luluh. Sedang di luar sana, sayup-sayup berkumandang azan Subuh.
***
Langkah kaki tergesa di atas trotoar sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Menunggu bus kota yang tak kunjung tiba. Ah, semoga tak terlambat, gumamku. Lima menit kemudian, sebuah bus kota berhenti di depan mata menyambut lambaian tanganku. Sepi. Hanya berdua dengan sopir bus yang memperlambat laju kendaraan. Bangku-bangku bus kota kosong. Lumayan, masih ada cukup waktu untuk menertawakan kebodohan diri di bus kota. Cukup sepuluh menit saja, sebelum bus berhenti di depan kampus.
Dan langkah kaki kembali tergesa. Menyusuri koridor gedung menuju ruang kuliah. Ah, untung belum terlambat, gumamku lagi. Masuk kelas bersama dengan Ibu Dosen yang membawa beberapa tas berisi buku-buku tebal bahan kuliah hari ini. Sementara melupakan ruang hati yang melompong akibat bualan omong kosong. Menyimak kuliah dengan seksama. Meluruskan kesalahpahaman hasil belajar semalam dalam diskusi bersama teman-teman di kelas. Menyenangkan. Pengetahuan baru yang kelak akan mengisi kekosongan-kekosongan di ruang kepala.
***
Hari-hari di kampus biru berjalan satu demi satu. Melupakan bilur-bilur biru yang sempat memenuhi ruang hati. Biar saja itu adalah salah satu bagian perjalanan menuju dewasa. Melupakan segala kelu, tetapi tidak melupakanmu. Bukan karena masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Bukan karena tidak bisa memaafkan kesalahanmu karena meninggalkanku tanpa pesan, kecuali pesan dari perempuanmu. Perempuan yang pernah menguji kesabaranku dengan pesan-pesan pendek yang memenuhi kotak pesan telepon selularku setiap pukul dua pagi. Pesan-pesan pendek yang serupa teror bagi kemanusiaanku. Perempuan yang kini mungkin telah menjadi ibu bagi anak-anakmu.
Bulan demi bulan hingga dua tahun berlalu. Aku masih di berdiri di sini. Di kampus biru. Di atas kedua kakiku. Merangkai kembali keping-keping mimpi yang sempat porak-poranda setelah pergimu. Dua tahun berlalu. Aku masih berdiri di sini. Di dunia baruku. Membangun mimpiku, meski tanpamu. Sebab di luar sana, masih ada begitu banyak hati yang menantiku ketika aku pulang. Masih banyak hati yang tulus mencintaiku di luar sana. Mencintai tanpa karena.
***
(2 Desember 2010)
Ganang & Frida. Begitulah bunyi tulisan dengan tinta emas di atas sebuah kertas tebal berwarna merah marun. Sebuah undangan pernikahan. Baru saja sampai di tangan diantar seorang kurir tadi. Sedikit terkejut menerimanya, tetapi sudah ada pertanda sebelumnya. Beberapa pesan pendek memenuhi kotak pesan dalam telepon selularku seminggu lalu. Dari seorang perempuan bernama Frida. Perempuan yang akan dinikahi lelaki bernama Ganang. Lelaki yang pernah memberiku segenggam impian tentang membangun rumah harapan.
Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Setelah membaca undangan pernikahanmu. Bulan depan, tepat ketika aku harus memulai konsentrasi belajar di kampus biru. Rumah harapan yang hanya tinggal harapan semata. Sebab ia telah longsor bersama tetes-tetes airmata yang kian menderas dalam diam. Tanpa suara. Sebab ia telah dibongkar paksa tanpa pemberitahuan dari pemberinya.
***
Dingin masih menusuk tulang. Embun masih merangkai rayuan pada ujung-ujung daun di reranting pohon di depan kamar asrama. Tetangga kamar mungkin saja masih merangkai mimpi di peraduan, sedang aku masih terjaga di depan layar monitor. Ada banyak kertas yang harus dibereskan sebelum ayam jantan berkokok pagi ini. Tugas ini dan itu wajib diserahkan lengkap pada Ibu Dosen pagi ini. Tanpa alibi sedang patah hati.
Jemari tangan masih saja sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptop. Sementara mata masih sibuk mencari kata demi kata yang terselip di antara literatur-literatur bertumpuk di sisi lain meja. Setelah seluruh kata terangkai sempurna di atas kertas kerja, tiba saatnya untuk mengguyur tubuh. Mengguyur segala keluh tentang harapan yang luluh. Sedang di luar sana, sayup-sayup berkumandang azan Subuh.
***
Langkah kaki tergesa di atas trotoar sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte. Menunggu bus kota yang tak kunjung tiba. Ah, semoga tak terlambat, gumamku. Lima menit kemudian, sebuah bus kota berhenti di depan mata menyambut lambaian tanganku. Sepi. Hanya berdua dengan sopir bus yang memperlambat laju kendaraan. Bangku-bangku bus kota kosong. Lumayan, masih ada cukup waktu untuk menertawakan kebodohan diri di bus kota. Cukup sepuluh menit saja, sebelum bus berhenti di depan kampus.
Dan langkah kaki kembali tergesa. Menyusuri koridor gedung menuju ruang kuliah. Ah, untung belum terlambat, gumamku lagi. Masuk kelas bersama dengan Ibu Dosen yang membawa beberapa tas berisi buku-buku tebal bahan kuliah hari ini. Sementara melupakan ruang hati yang melompong akibat bualan omong kosong. Menyimak kuliah dengan seksama. Meluruskan kesalahpahaman hasil belajar semalam dalam diskusi bersama teman-teman di kelas. Menyenangkan. Pengetahuan baru yang kelak akan mengisi kekosongan-kekosongan di ruang kepala.
***
Hari-hari di kampus biru berjalan satu demi satu. Melupakan bilur-bilur biru yang sempat memenuhi ruang hati. Biar saja itu adalah salah satu bagian perjalanan menuju dewasa. Melupakan segala kelu, tetapi tidak melupakanmu. Bukan karena masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Bukan karena tidak bisa memaafkan kesalahanmu karena meninggalkanku tanpa pesan, kecuali pesan dari perempuanmu. Perempuan yang pernah menguji kesabaranku dengan pesan-pesan pendek yang memenuhi kotak pesan telepon selularku setiap pukul dua pagi. Pesan-pesan pendek yang serupa teror bagi kemanusiaanku. Perempuan yang kini mungkin telah menjadi ibu bagi anak-anakmu.
Bulan demi bulan hingga dua tahun berlalu. Aku masih di berdiri di sini. Di kampus biru. Di atas kedua kakiku. Merangkai kembali keping-keping mimpi yang sempat porak-poranda setelah pergimu. Dua tahun berlalu. Aku masih berdiri di sini. Di dunia baruku. Membangun mimpiku, meski tanpamu. Sebab di luar sana, masih ada begitu banyak hati yang menantiku ketika aku pulang. Masih banyak hati yang tulus mencintaiku di luar sana. Mencintai tanpa karena.
***
(2 Desember 2010)
perempuan hujan
semalam hujan begitu mesra
mendekap kaca jendela
riuh sepasang kuda memekik di telinga
malam yang sempurna,
sembari menunggu hujan reda
di pelupuk mata
(2 Desember 2010)
mendekap kaca jendela
riuh sepasang kuda memekik di telinga
malam yang sempurna,
sembari menunggu hujan reda
di pelupuk mata
(2 Desember 2010)
perempuan mawar
kelopak-kelopak mawar
merebah di atas tanah basah
dalam istirah memerah
bersama tetes-tetes darah
(1 Desember 2010)
merebah di atas tanah basah
dalam istirah memerah
bersama tetes-tetes darah
(1 Desember 2010)
ruang ingatan
ada banyak cerita berlarian dalam ruang ingatan. tentang episode-episode biru dan kelabu di pelataran rindu. tentang episode-episode lila dan jingga di kebun bunga menjelang senja. kadang aku melipat cerita itu satu demi satu. dan menyimpannya dalam lembar-lembar ingatan. kadang aku mengajak mereka tertawa bersama di beranda, selepas senja. kadang aku meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. ketika malam telah memelukku diam-diam.
ah, terlalu susah meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. mereka berlarian. mereka berlompatan. saling berlomba unjuk diri. bahkan ketika malam telah memelukku diam-diam. mereka masih saja menjengukku. satu demi satu. episode biru bergandeng tangan dengan episode jingga. ah, mereka begitu mesra. hingga mata tak mampu terpejam. meski hitam telah bercumbu dengan malam.
sebentar pagi tiba, episode lila bercinta dengan episode kelabu. tersenyum dalam bayangan cermin. mengganggu pagi yang mungkin telah layu. sebab hujan telah lama tak menjenguk pagi. sebab hujan telah memilih berselingkuh dengan siang. ketika episode hijau datang diam-diam memagut sunyi langkah-langkah kaki. sebab telah lama mereka berjalan sendiri di antara debu-debu yang mencumbu ujung sepatu.
ketika senja kembali bercengkerama, mereka masih saja berlompatan. mereka masih saja berlarian. bahkan ketika busur melepaskan panah waktu, mereka masih setia menghuni ruang ingatan. bermain ayunan dan luncuran serupa anak-anak bermain di taman. anak-anak yang enggan menjadi dewasa. ah, biarlah mereka enggan menjadi dewasa. sebab mereka adalah tunas diri hari ini. terus tumbuh meski harus berpeluh-peluh mengejar mentari, yang juga tak lelah berlari. dari pagi hingga pagi menjenguk kembali. lagi dan lagi.
(30 November 2010)
ah, terlalu susah meminta mereka duduk tenang di ruang ingatan. mereka berlarian. mereka berlompatan. saling berlomba unjuk diri. bahkan ketika malam telah memelukku diam-diam. mereka masih saja menjengukku. satu demi satu. episode biru bergandeng tangan dengan episode jingga. ah, mereka begitu mesra. hingga mata tak mampu terpejam. meski hitam telah bercumbu dengan malam.
sebentar pagi tiba, episode lila bercinta dengan episode kelabu. tersenyum dalam bayangan cermin. mengganggu pagi yang mungkin telah layu. sebab hujan telah lama tak menjenguk pagi. sebab hujan telah memilih berselingkuh dengan siang. ketika episode hijau datang diam-diam memagut sunyi langkah-langkah kaki. sebab telah lama mereka berjalan sendiri di antara debu-debu yang mencumbu ujung sepatu.
ketika senja kembali bercengkerama, mereka masih saja berlompatan. mereka masih saja berlarian. bahkan ketika busur melepaskan panah waktu, mereka masih setia menghuni ruang ingatan. bermain ayunan dan luncuran serupa anak-anak bermain di taman. anak-anak yang enggan menjadi dewasa. ah, biarlah mereka enggan menjadi dewasa. sebab mereka adalah tunas diri hari ini. terus tumbuh meski harus berpeluh-peluh mengejar mentari, yang juga tak lelah berlari. dari pagi hingga pagi menjenguk kembali. lagi dan lagi.
(30 November 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)