Mozaik 1
Lelaki itu sungguh hebat. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah tanpa daya, tetapi ia mampu melahap apa saja yang ada di depan matanya. Iya, ia melahap apa saja. Tembok bangunan, meja, kursi, papan tulis, spidol, kertas, uang, bahkan manusia.
Pagi itu masih amat sepi di ruangan kantor. Aku duduk sendiri menghadap laptop, menyelesaikan sebuah laporan yang harus diserahkan pada atasan secepatnya meski tidak harus diserahkan hari ini. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Waktu terus berjalan dan ruang kantor masih saja sepi.
Menjelang tengah hari, lelaki itu masuk ke dalam ruang kantor. Dengan senyum ramah, ia menyapa. Bertanya tentang kabar. Sedikit berbasa-basi padaku. Basa-basi yang juga kubalas dengan basa-basi tanpa memindah pandangan mataku dari laptop. Tanpa memindah jemari yang sedang menari di atas keyboard. Sebab bagiku, basa-basi lelaki itu benar-benar basi. Dan, aku punya panggilan untuknya, Lelaki Basi.
Sejenak kemudian, seorang lelaki lain masuk ke dalam ruang kantor. Lelaki belia, usianya mungkin masih saja belasan. Membawa map dan menyerahkan pada Lelaki Basi itu.
“Bapak, bisa minta tanda tangan? Untuk pengurusan beasiswa.” kata Lelaki belia itu.
“Beasiswa? Memang selama ini Anda termasuk mahasiswa berprestasi? Apa saja prestasi Anda, Saya ingin dengar.” Lelaki Basi itu terlihat angkuh.
Aku melihat lidah Lelaki Basi itu menjulur. Lidahnya bercabang serupa lidah ular. Aku melihat lidahnya mulai menjilati keringat Lelaki belia yang sedang menjelaskan prestasinya selama ini. Lelaki belia itu pun sedang menjelaskan bahwa dirinya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sebab ayahnya hanya bekerja sebagai buruh tani di sebuah desa di daerah pantai utara. Sebab ibunya hanya bekerja di rumah sebagai pembuat gorengan yang dijual keliling kampung. Sebab ia masih memiliki dua orang adik yang masih perlu disuapi. Sebab ia sendiri harus bekerja sembari kuliah untuk membayar uang kos dan kebutuhan kuliah lainnya.
“Prestasi Anda, bolehlah. Bagus itu, tetapi apakah Anda selama ini dekat dengan Saya?” Lelaki Basi itu bertanya lagi.
“Apakah pengurusan beasiswa itu juga mensyaratkan kedekatan antara mahasiswa dengan Bapak?” Lelaki belia itu balik bertanya pada Lelaki Basi.
“Jelas itu. Anda boleh dikatakan cerdas secara intelektual, tetapi di mata saya Anda tidak cukup cerdas sebab Anda tidak pandai mengambil hati Saya. Tidak pandai menyenangkan saya.” Lelaki Basi itu masih saja terlihat angkuh.
Aku melihat lidah Lelaki Basi itu mulai menjilati kertas di atas mejanya. Kertas formulir beasiswa yang seharusnya ditandatangani agar mahasiswa itu bisa mendapat beasiswa yang menjadi haknya, sebab ia memang berprestasi akademik bagus dan ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kertas itu basah. Huruf-huruf di atas kertas itu meleleh memenuhi meja. Dan, Lelaki Basi itu memunguti lelehan huruf-huruf itu dengan lidahnya. Lidah bercabang serupa ular.
“Anda boleh kembali pada saya tahun depan untuk tanda tangan saya. Dan, selama setahun penantian itu, Anda tunjukkan pada Saya bagaimana menyenangkan Saya.” Lelaki Basi itu mengakhiri pembicaraan.
Lelaki belia itu meninggalkan ruang kantor dengan lunglai. Pupus sudah harapan untuk mendapatkan beasiswa tahun ini. Sebab ia tidak cukup pandai menyenangkan hati Lelaki Basi selama ini.
Aku melihat Lelaki Basi itu mulai menjilati meja dan kursi. Menelannya. Masing-masing satu. Menjilati tumpukan kertas di atas meja. Menelannya. Selembar demi selembar. Ketika seorang Lelaki setengah baya memasuki ruang kantor, ia menghentikan aktivitasnya menjilati segala isi ruangan. Lelaki setengah baya itu atasanku. Atasan Lelaki Basi itu. Atasan kita yang bekerja di ruang kantor ini.
“Bagaimana persiapan penyambutan tamu dari Jakarta minggu depan?” tanya Atasanku itu padaku.
“Tinggal beberapa hal saja, Bapak. Semua sudah beres.” jawabku singkat.
Aku menyerahkan beberapa lembar kertas pada Bapak Atasan. Ia membaca dengan cepat dan membubuhkan beberapa tanda tangan di atas beberapa lembar kertas. Beberapa lembar kertas hasil kerja kami, aku dan beberapa teman lain yang sampai harus bermalam di kantor ini, minus Lelaki Basi itu tentunya.
“Oya, Pak. Tolong diatur penjemputan tamu dari Jakarta minggu depan ya.” Bapak Atasan meminta Lelaki Basi itu menjemput tamu agung dari Jakarta yang akan datang berkunjung minggu depan.
Ya, kunjungan tamu agung. Bagaimana tidak agung bila kelangsungan kantor ini ditentukan oleh hasil kunjungan minggu depan atau kami semua akan mendapat malu atas kinerja yang telah terbangun selama ini. Kinerja pendidik yang seharusnya mencerdaskan anak-anak bangsa dengan baik. Kinerja pendidik yang seharusnya tidak bercampur dengan kepentingan politik. Kinerja pendidik yang seharusnya tidak dipenuhi bermacam intrik.
*****
(688 kata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar