Kamis, 25 November 2010

hampa

memasuki ruang benak
: kosong

tak ada lukisan
tak ada catatan
pada dinding-dindingnya.

entah esok atau lusa,
lukisan dan catatan kembali
mengisi dinding-dindingnya.

entah esok atau lusa,
kisah dan percakapan kembali
mengisi jalinan-jalinan hari.




(23 November 2010)

Sabtu, 20 November 2010

elegi pagi

1
mulai belajar menghapus mimpi,
yang datang diam-diam menjelang pagi.
bukan karena takut mimpi itu tak akan terjadi
esok pagi atau suatu hari nanti.

belajar menghapus mimpi.
dan mulai melangkah kaki serta menjentik jemari.
sebelum mentari mengencani pagi.
: mimpi-mimpi itu tak perlu lagi datang diam-diam menjelang pagi.

sebab telah kubakar mimpi-mimpi itu dalam tungku api,
yang baranya dinyalakan dari serpihan-serpihan hati,
yang kau pecahkan kemarin pagi.

2
menghapus abu-abu dari ingatan masa lalu,
yang datang tiba-tiba pada bawah sadarku.
tentangmu, lelaki di simpang tugu.

membuang pahit empedu,
yang masih tertinggal pada pangkal lidahku.
tentangmu, kisah cinta biru.

ah, bukan pekerjaan mudah untukku
meski waktu tak pernah jemu
berjalan satu demi satu.

: tiba-tiba ingin mengadu kepala dengan batu.
hingga segala terlupa dalam amnesia tentangmu.




(20 November 2010)

kisah anak-anak matahari

di rumah, ibu bekerja keras tanpa henti. sejak pagi hingga pagi menyapa kembali. demi sesuap nasi bagi kami, anak-anak matahari. ya, kami adalah anak-anak matahari. sebab kami sering terpanggang matahari di setiap perempatan jalan demi sesuap nasi sekadar penyambung hidup. terkadang orang-orang dalam mobil mengkilat yang banyak melintas di jalanan itu memanggil kami anak-anak trotoar. sebab kami selalu terlelap di atas trotoar-trotoar bila malam telah datang memeluk hari.

di rumah, ibu bekerja keras tanpa henti. menjual apa saja demi penyambung hidup kami. menjual tanah-tanah makam kami. menggadai tanah-tanah warisan bagi anak-cucu kami. tanah-tanah yang tak mungkin kembali pada kami. bahkan ibu harus menjual diri. ibu harus menelan segala caci-maki dari tetangga yang tak tahu diri. seringkali ibu harus membiarkan tubuhnya diinjak kaki-kaki mereka, penjual nurani. semua dilakukan ibu demi kami, anak-anak matahari.

di rumah, ayah tak peduli pada kami. ayah tak pernah peduli meski ibu harus menjual diri demi kami, anak-anak matahari. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus mengorek sampah demi sesuap nasi. ayah tak pernah peduli pada kami, yang harus saling injak demi bisa berdiri tegak hari ini. ya, ayah memang tak pernah peduli kami. meski kami hampir mati karena kekurangan gizi. meski kami hampir mati karena membela kehormatan diri.

di rumah, ayah memang tak peduli pada kami. bagi kami, ayah tak punya nurani. ya, kami memang harus bersikap kurang ajar hari ini. dan kami tak akan minta maaf atas sikap kurang ajar kami. sebab telah begitu lama ayah tak pernah peduli pada kami. ayah tak pernah memberi perlindungan pada kami, anak-anak matahari. dan ayah telah sengaja membiarkan saudara-saudara kami disiksa dan dibunuh tetangga. ayah tak punya nyali untuk memberi pembelaan pada kami. sedang selama ini kami telah memberi segenap jiwa raga kami untuk menjaga nama baikmu, ayah. lantas masihkah kami, anak-anak yang masih tersisa harus tetap memanggilmu ayah? mungkin lebih baik bila kami menjadi durhaka bagimu, ayah. dan esok pagi, kami akan mengadakan kudeta padamu, ayah.



(19 November 2010)

menjelang senja di pelataran

tak perlu mengobral kata cinta, bila itu hanya jadi pemerah bibir semata.
belajarlah dari semesta tentang cinta, maka cinta akan abadi dalam jiwa.
tak akan sirna dalam hitungan masa, ia ada dalam setiap hembus nafas serupa doa.

serupa jingga mencintai senja, ia setia. serupa hitam mencintai malam, ia setia.
serupa embun mencintai pagi, ia setia. serupa duri mencintai mawar, ia setia.
sebab cinta tanpa setia adalah sia-sia. dan sia-sia saja bila tetap bertahan untuknya.


(18 November 2010)

izinkan saya istirah

: untuk kalian, yang enggan berubah



terlalu banyak angka harus diingat. dari nomor-nomor selular tanpa nama, yang diam-diam memenuhi kotak pesan. terlalu banyak aksara harus dibaca. pada lembar-lembar kertas tugas, yang kadang sama serupa tanda malas membaca. terlalu banyak rasa harus dijaga. dalam palung terdalam, yang tak mudah terbaca mata. terlalu banyak simpul harus diurai. dalam perjalanan hidup, yang kadang tak terduga hingga harus mengelus dada.

terlalu banyak. terlalu banyak. terlalu banyak. kejutan yang kalian berikan pada saya. hingga saya hilang kata. kejutan dari kalian benar-benar mengejutkan. kejutan dari kalian, remaja belia yang masih gemar hura-hura. dari kalian, remaja belia yang tak pandai menghargai masa muda.

ah, sepertinya kalian lupa lirik lagu yang pernah diajarkan semasa kanak-kanak dulu. kalian lupa pesan orangtua. kalian lupa menghormati guru. kalian lupa menyayangi teman. kalian lupa, sebab kalian merasa telah dewasa. sekadar merasa dewasa. sebab dewasa bukan sekadar masalah usia, melainkan matang jiwa dan pikiran. sebab dewasa bukan sekadar keberanian semata, melainkan tanggung jawab di atasnya.

ah, saya menyerah. benar-benar menyerah. pada segala tingkah kalian. sebab ruang hati saya telah menjelma remah di ujung jari kalian. juga di ujung lidah kalian. selanjutnya, terserah kalian saja.

izinkan saya istirah. sebab saya tak ingin berserapah atas segala tingkah kalian. sebab saya ingin tetap berada di jalan doa. mengalir bersama cinta dan sayang lewat setiap pesan, yang tak pernah kalian dengar. izinkan saya istirah. sebab saya sungguh lelah menuntun kalian. sedang kalian enggan tetirah, enggan berpindah meski selangkah. izinkan saya istirah. sebab saya benar-benar menyerah.



(13 November 2010)

Selembar Daun

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Bersama perempuan-perempuan daun lain, aku diajari memberi makan pohon besar tempatku tinggal. Aku diajari menerima kunjungan embun setiap pagi. Aku diajari melahirkan bunga-bunga semerbak bila musim semi menyapa. Aku diajari melahirkan buah-buah bila musim tiba. Aku diajari melahirkan pucuk-pucuk daun muda. Aku diajari menjadi legawa bila telah tiba waktu luruh dan kembali ke tanah.

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku menjadi bijak memahami segala gerak. “Bergeraklah selaras dengan angin bila ia menggoyang tubuhmu. Sehingga angin tak akan mampu mematahkan kakimu,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak menjadi congkak dalam bertindak. “Berhembuslah dengan rendah hati dan santun di atas pohon ini. Sehingga kelak bila tiba waktumu luruh, maka kau akan luruh dengan anggun,” begitu Daun Tua Bijak pernah berpesan padaku.

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Beberapa perempuan daun mengajari aku untuk tidak mencela dalam setiap kata. “Berkatalah seperlunya dengan mulutmu. Sebab mulutmu akan lebih berguna untuk mencecap embun pagi dan menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi,” begitu Daun Tua lain pernah berpesan padaku.

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Mencecap embun dan kabut adalah tugasku setiap pagi tiba. Bukan sekadar membuang kata dan suara bila angin mencumbu pohon besar ini. Menghembus udara sejuk bagi penghuni bumi adalah tugasku. Bukan sekadar membuang gerah dengan segala sampah tak berguna.

Di sebuah pohon besar, aku tinggal di sana. Belajar memahami hidup di antara perempuan-perempuan daun lain. Meski tubuh kami sama, tetapi kami tidaklah sama. Daun Hijau Tua adalah namaku. Sebelum waktuku memanggil, aku ingin terus belajar memberi dan bukan meminta kembali. Aku ingin hidupku tetap punya arti, meski aku terlahir sebagai selembar daun di atas pohon besar ini. Aku ingin hidupku tetap punya arti, hingga kelak aku luruh dan meremah. Kembali ke tanah. Sendiri.



(16 November 2010)

Sabtu, 13 November 2010

di jari manis kita

: untukmu, untuk kita.




rajutan cinta sederhana
melingkari sukma
mengikat jiwa
: selamanya



(12 November 2010)

perempuan yang menikahi malam

pagi ini, terlalu banyak janji teringkari. tentang cerita yang ingin kau bagi. tentang tuan puteri yang telah mencuri hatimu. tuan puteri yang pipinya semerah ceri. tuan puteri yang kulitnya seputih padi. tuan puteri yang diam-diam datang dan menghuni palung dalam dirimu. tuan puteri yang kemudian melahirkan peri-peri kecil dari rahim putihnya.

ah, lagi-lagi tentang janji. tentang janji-janji teringkari, yang mungkin akan hilang dalam hembus angin semalam. dan kau tak perlu lagi berjalan untuk menebusnya. sebab aku sudah teramat lelah menunggu bulan menjadi hitam semalam. dan aku terus berjalan mengarungi malam hingga pagi menjemput kembali. pun mengingatkan aku pada janji-janji yang teringkari kemarin pagi.

dan aku terus melangkah. sendiri saja. serupa air sungai, sendiri mengarung riam. meski senja menghadang diam-diam hingga malam memeluk di ujung sana. sebab malam adalah kekasih sejati bagi penyendiri sepertiku. sebab malam tak pernah ingkar janji sepertimu. sebab malam adalah setubuhku dalam sukma. sebab malam adalah nyawa bagiku bila pagi tiba.




(10 November 2010)

sepenggal cerita di beranda

(1)
meski malam telah menua,
masih terlihat sang kunang-kunang terbang
melayang-layang di antara rimbun ilalang
mencari pasangan jiwa yang hilang
ditelan penguasa malam bermata jalang.

(2)
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
bercerita tentang rona merah muda, yang tempias pada kedua pipinya.
pun bercerita tentang lebam kelabu, yang masih tersisa pada rusuk kirinya.
semalam, seekor kunang-kunang mampir di beranda
dan memintaku terbang bersamanya.

(3)
sayang, aku tak ingin terbang
apalagi bersama sang kunang-kunang.
sebab sepasang sayapku pernah hilang
ditebas kunang-kunang betina
dengan api lilin yang masih menyala.




(10 November 2010)

doa di simpang jalan

: untuk mereka, yang terhambur dari punggung Merapi


masih saja tubuh yang satu,
berdiri di simpang jalan yang sama.
menunggu sebuah kabar,
yang mungkin terbawa burung layang-layang
ketika kembali ke sarang bersama petang.
tentang kau dan kotamu, yang masih saja abu-abu.
tentang kau dan kotamu, yang tak pernah lepas dari nafasku.
nafas yang selalu melafalkan doa
: segala abu-abu segera berlalu darimu dan kotamu.



(10 November 2010)

Esok Pagi, Semoga...

: untuk mereka, yang terhambur dari punggung Merapi




menebar rindu pada abu,
yang masih setia luruh pada rambutmu.
menebar cinta pada hujan,
yang masih setia menghapus airmata.
menebar harap pada lanskap,
yang masih setia menunggu jawab
pada cerah mentari kembali
bersama pelangi mewarna bumi.




(10 November 2010)

Jumat, 12 November 2010

Doa Kemarin

Tuhan memang tak pernah tidur, apalagi mendengkur sepertimu.
Bila Ia tak menjawab doamu hari ini, itu bukan karena terlalu sibuk sepertimu.
Ia hanya ingin tahu kesungguhanmu atas segala pinta dalam setiap bait doa.

Tetaplah meminta pada-Nya, meski hari ini tak berjalan sempurna.
seperti sering kau pinta Ia ada menemanimu dalam setiap bait doa.
Sebab Tuhan memang tak pernah tidur, Ia hanya menunda jawab setiap doa.

Dan, pilihanmu hanya dua:
Percaya atau pergi saja dari setiap bait doa,
yang tekun kau lafalkan dalam setiap nafas.




(31 Oktober 2010)

LELAKI AIR

: untuk Pengantinku




Aku bercengkerama bersama teman-temanku dalam sebuah pesta di tepi sungai. Pesta perayaan kedewasaan. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk tinggal terpisah dari orangtua kami. Sebuah pesta penanda bagi kami untuk mulai tinggal di rumah baru, di atas sebuah batu. Batu hitam. Dunia baru bagi kami, lumut-lumut muda.

Ya, Lumut adalah namaku. Rumahku di atas batu di tepi sungai, yang airnya mengalir jernih dari sumber air di atas gunung hijau dari atas sana. Ah, air jernih itu selalu menyapaku. Senyum ramah. Senyum yang mampu membuat hatiku membuncah. Senyum yang mampu menyuburkan tubuh dan jiwaku. Senyum yang selalu menyegarkan penatku.

Aih, ternyata aku jatuh cinta padamu. Pada Air, yang mampu menghapus segala sedih di masa lalu. Ketika aku harus berjuang menghancurkan batu-batu keras di bawah kakiku tanpa tetes-tetes air dari tubuhmu. Kini, ketika aku telah dewasa dan tinggal di atas rumahku sendiri, kau makin sering mengunjungiku. Mengalir di dalam rumahku. Mengalir di atas tubuhku. Hingga pada suatu pagi yang dingin dan berkabut, ketika kau berkunjung ke rumahku, kau tanyakan sesuatu padaku.

“Maukah kau menikah denganku? Bersama kita menaklukkan dunia di bawah kaki kita," tanyamu lugas. Sembari memandang mataku. Pun menggenggam jemari tanganku.

Aku mengangguk. Mataku berbinar. Ya, akhirnya aku menikah denganmu, Air. Pengantin Abadiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menaklukkan dunia di bawah kakiku. Sebab hanya bersamamu, aku mampu menerbangkan spora-spora cinta dari tubuhku.




(22 Oktober 2010)

Ibu

telah begitu lama ibu sakit, hatinya tergigit melihat anak-anak kecil bertengkar sengit. bahkan saling bunuh demi rupiah yang sedikit. saling bunuh untuk mengisi perut-perut kelaparan. sebab semalam, mereka hanya minum air rebusan batu. dan kemarin pagi, mereka makan nasi basi dari tempat pembuangan sampah.

telah begitu lama ibu sedih, hatinya pedih melihat anak-anak tak henti menoreh perih. dan melupakan bahasa kasih ketika mereka berselisih. dan melupakan bahasa kasih menyikapi warna-warni berbeda di atas pangkuan ibu. dan melupakan bahasa kasih bahwa warna-warni itu yang membuat cantik wajah ibu.

telah begitu lama ibu terluka, hatinya merana melihat anak-anak tak henti berduka. ketika satu demi satu tertimpa bencana. sedang yang lain masih saja menutup mata dan telinga. pura-pura tak melihat dan tak mendengar derita saudara-saudaranya. sedang anak-anak tertua masih saja berebut kuasa di atas sana dengan menginjak tubuh adik-adiknya.

telah begitu lama ibu sakit. telah begitu lama ibu sedih. telah begitu lama ibu terluka. lantas apa yang kalian dapat lakukan demi ibu? lantas di mana kalian, anak-anak ibu? anak-anak yang pernah berjanji menjaga ibu dengan segenap jiwa dan raga. anak-anak yang seharusnya menjaga ibu di kala ibu semakin renta.





(20 Oktober 2010)

musim gugur

hendak ke mana kita akan kembali ?
setelah kemarin menghuni pucuk-pucuk pohon
dan menari bersama saat angin menghembus.

hendak ke mana kita akan kembali ?
selain luruh kembali ke tanah
dan lebur bersamanya.




(13 Oktober 2010)

tentangmu, selalu.

tentangmu, yang begitu tekun
mengumpulkan tetes-tetes embun
demi membasuh ngungun
pada tiap-tiap pagiku.

tentangmu, yang begitu teguh
menghapus tetes-tetes peluh
demi menghapus keluh
pada tiap-tiap petangku.

tentangmu, yang begitu tegar
mendengar mulut-mulut mencecar
demi membangun suar
pada tiap-tiap malamku.

tentangmu, yang begitu setia
menunggu langkah-langkah dara
demi melukis cinta
pada tiap-tiap langkahku.





(10 Oktober 2010)

catatan 10.10.2010

pagi ini, bebas menjadi diri sendiri.
berlari di antara hembus angin
dan butir-butir pasir
menari di sela-sela jemari.

pagi ini, melangkah kembali.
melupakan catatan kelabu,
yang pernah jadi belenggu
pada sekujur tubuh dan jiwa.

pagi ini, terlahir kembali.
dan memulai catatan baru
di bawah langit biru
dan hangat mentari pagi.




(10 Oktober 2010)

matahari

esok pagi,
mari menunggu bunga matahari
merekah di halaman.

mungkinkah ?

semoga saja, kau bilang.
dan, semoga matahari di langit biru
tak lagi tertutup mendung kelabu.

ya, semoga matahari itu
bisa mengiringi bulir-bulir keringat
mencuci setiap lubang pori
dan mengamini setiap doa,
yang terucap di awal pagi




(9 Oktober 2010)

balada pohon di tepi jalan

ia tumbuh sendiri
di tepi jalan sunyi
tinggi sekali,
hingga angin gemar menjamahnya
rindang sekali,
hingga banyak yang datang
sekadar berteduh bila terik melanda

ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski tubuhnya tertusuk paku
meski pori-pori terlabur lem-lem bau
demi menempel selebaran-selebaran itu

ia tumbuh
dan terus tumbuh
meski kakinya tersiram kencing anjing
atau lelaki-lelaki mabuk
yang terduduk di pangkuannya

ia tumbuh
dan terus tumbuh
dalam diam,
meski banyak janji dibuat dalam dekapan
pun diingkari diam-diam

ia tumbuh
dan terus tumbuh
hingga kaki-kakinya merapuh
dan tak lagi sanggup menopang tubuh





(29 September 2010)